tirto.id - Konflik di Myanmar tak mau mereda sejak junta militer melakukan kudeta pada awal Februari lalu. Dalam berita baru-baru ini, bentrok antara pasukan perlawan bersenjata dengan junta militer telah mendorong gelombang evakuasi baru di wilayah barat laut.
Seperti diwartakan Aljazeera, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet telah memperingatkan tentang bencana hak asasi manusia di bawah kekuasaan militer di Myanmar.
Ia pun mendesak masyarakat internasional untuk segera mencegah konflik sebelum bertambah semakin buruk. “Konsekuensi nasional sangat mengerikan dan tragis, konsekuensi regional juga bisa sangat besar,” kata Bachelet dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis, 23 September 2021.
“Masyarakat internasional harus melipatgandakan upayanya untuk memulihkan demokrasi dan mencegah konflik yang lebih luas sebelum terlambat.”
Situasi Myanmar Terkini
Reuters melaporkan, sekitar 10.000 warga tinggal di Thanlang di Negara Bagian Chin, tetapi sebagian besar dari jumlah itu telah pergi dan mencari perlindungan di daerah sekitarnya termasuk di India. Informasi itu disampaikan oleh pemimpin masyarakat.
Sementara itu, kepala kelompok masyarakat sipil di negara bagian Mizoram, India mengatakan, sekitar 5.500 orang di Myanmar sudah datang di dua distrik selama seminggu terakhir. Hal itu mereka lakukan demi melarikan diri dari tindakan keras militer.
Myanmar berada dalam konflik sejak pemerintah sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi digulingkan pada awal Februari lalu sehingga memicu kemarahan nasional, pemogokan, protes, bahkan muncul pemerintah bayangan yang didominasi anggota parlemen Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Mereka mendeklarasikan perang melawan junta militer.
Setelah deklarasi itu terjadi, bentrok antara pasukan pertahanan rakyat lokal dan militer telah meningkat. Mereka pun menyerang lebih dari selusin menara komunikasi milik tentara, demikian keterangan kelompok anti-junta seperti dilaporkan Bangkok Post.
Menurut PBB, sejak kudeta di Myanmar, lebih dari 1.120 orang tewas. Mayoritas adalah tindakan keras nasional oleh pasukan keamanan pada pemogokan dan protes yang menentang militer berkuasa kembali. Bahkan, ribuan orang ikut ditangkap.
Pada hari Kamis, warga sipil dilaporkan terpaksa meninggalkan desa yang mereka tempati di Wilayah Sagaing. Langkah itu mereka lakukan setelah pasukan keamanan diduga membakar rumah dan menembaki warga.
Kekerasan di Sagaing juga terjadi hanya sehari setelah ribuan orang meninggalkan negara bagian Chin di dekat perbatasan India menyusul pertempuran antara pembangkang anti-kudeta dan militer.
Bachelet mengatakan, pasukan telah menggunakan senjata terhadap warga sipil untuk konflik militer dan melakukan "serangan udara dan serangan artileri tanpa pandang bulu".
Berdasarkan laporan media lokal di Myanmar, kekerasan mematikan di setidaknya lima wilayah dan negara bagian yang berbeda pada hari Kamis, termasuk penggunaan bom rakitan oleh milisi yang bersekutu dengan bayangan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang awal bulan ini menyerukan "perang defensif rakyat" melawan para jenderal.
Militer menyebut NUG dan para pendukungnya sebagai “teroris” yang kampanyenya akan gagal. Akibat pertempuran antara militer dan kelompok anti-junta itu, 20 rumah dibakar, foto-foto di media sosial memperlihatkan bangunan dilalap api.
Berdasarkan laporan Myanmar Now, tentara turut menembak mati seorang pendeta yang mencoba memadamkan api, meskipun media pemerintah telah membantah peristiwa itu. The Global New Light of Myanmar mengatakan, kematian seorang pendeta itu sedang diselidiki. Selain itu, tentara telah disergap sekitar 100 dan kedua belah pihak terlibat baku tembak.
Editor: Iswara N Raditya