tirto.id - Sejak awal bulan Februari 2021 silam, junta militer Myanmar, yang dikenal pula dengan sebutan Tatmadaw, mengambil alih pemerintahan di Myanmar setelah mengetahui bahwa kubu mereka kalah dalam pemilihan umum.
Tatmadaw, yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing, menangkap Presiden Myanmar U Win Myint, Aung San Suu Kyi, anggota-anggota partai National League for Democracy (NLD), serta para aktivis anti-junta. Hingga sekarang, 7 bulan setelah kudeta militer itu, sebagian rakyat Myanmar sedang mati-matian melawan kekuasaan Tatmadaw demi memperjuangkan pemerintahan yang demokratis.
Perlawanan sipil di Myanmar ini pun dibalas dengan ancaman dan Kekerasan oleh Tatmadaw. Enam bulan usai kudeta militer itu, Human Rights Watch merekam tindakan-tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh junta militer untuk mempertahankan kekuasaannya.
Human Rights Watch menuding Tatmadaw telah melakukan aksi-aksi teror terhadap musuh-musuh politik mereka, termasuk dalam bentuk pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, perampasan kebebasan, serta tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Sebagai gambaran, pada tanggal 23 Agustus 2021, Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) Burma mencatat 5.821 orang telah ditangkap dan dijadikan tahanan politik oleh rezim junta militer Myanmad.
Selain itu, AAPP juga mencatat, sejak awal Februari hingga Agustus 2021, sebanyak 1.013 korban telah tewas dan diduga dibunuh oleh aparat Tatmadaw.
Di sisi lain, krisis politik berkepanjangan dan kemunduran demokrasi di Myanmar saat ini menjadi bukti "impotennya" komunitas internasional dalam menyikapi situasi di negara Asia Tenggara itu.
Komunitas internasional seperti ASEAN maupun PBB belum melakukan hal yang signifikan untuk meredakan kekerasan di Myanmar. Dewan Keamanan PBB gagal membentuk pernyataan bersama untuk merespons isu Myanmar karena veto Rusia dan Tiongkok.
ASEAN pun gagal mencapai kesepahaman. Doktrin non-intervensi yang diterapkan oleh organisasi regional ini mempersulit tercapainya kesepakatan yang tegas untuk menekan rezim junta militer di Myanmar. ASEAN belum mengakui NUG sebagai otoritas resmi di Myanmar dan menolak mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh junta.
Bagaimana kondisi Myanmar terkini setelah 7 bulan kudeta militer dilancarkan oleh Tatmadaw di negara tersebut? Berikut gambaran situasi di Myanmar seperti dinukil dari berbagai sumber.
Sektor Kesehatan Kolaps
Myanmar pun tak terkecualikan dari krisis pandemi yang menyerang dunia saat ini. Namun, krisis kesehatan ini diperparah oleh krisis pemerintahan dan politik yang sedang berlangsung. Kalangan tenaga kesehatan juga menolak untuk bekerja sama dengan Tatmadaw, dan ikut turun ke jalan untuk memprotes kudeta.
Salah satu artikel The Guardian memperingatkan bahwa Myanmar dapat menjadi negara super-spreaderCovid-19 jika penanganan pandemi di negara itu tidak segera dibenahi.
Rezim junta militer terbukti mengalami kesulitan dalam mengelola layanan kesehatan masyarakat di tengah pandemi ini. Program vaksinasi covid-19 masih berlaku dengan sangat terbatas. Bahkan komunitas Rohingya dikecualikan dari program vaksinasi oleh pemerintah Myanmar.
Untuk menangani angka kematian yang tinggi akibat covid-19, pemerintah junta membangun 10 krematorium baru di kota Yangon. Berdasarkan data resmi pemerintah negara itu, hingga 3 September 2021, angka kematian akibat Covid-19 di Myanmar telah mencapai sekitar 15.693 jiwa. Namun, angka kematian yang tidak dikabarkan pemerintah junta bisa jadi jauh lebih besar lagi.
Sulitnya Akses Pendidikan
Rakyat Myanmar juga mengalami kesulitan mengakses layanan pendidikan. Laporan dari Insecurity Insights mengungkapkan bahwa penangkapan, penyiksaan, serta kekerasan dialami banyak guru dan pelajar di Myanmar. Ada sekitar 102 insiden yang menghambat akses pendidikan, termasuk satu sekolah di negara bagian Karen yang dirusak oleh aparat Tatmadaw dengan bom dan peluru.
Kekerasan yang dialami oleh para guru dan pelajar itu membuat banyak orang tua enggan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Malu dengan jumlah murid yang sedikit di sekolah, junta militer pun sampai harus mengancam para orang tua, guru, serta pelajar untuk datang ke sekolah.
Munculnya Perlawanan Sipil Senjata
Rakyat Myanmar di berbagai wilayah ikut dalam perlawanan anti junta militer dengan cara protes damai hingga lewat jalur bersenjata. Pada saat kelompok demonstran damai masih terus menekan rezim junta, sebagian aktivi pro-demokrasi di Myanmar beralih ke jalur perlawanan senjata karena menilai kurang efektifnya perlawanan tanpa kekerasan.
Merespons tumbuhnya kelompok perlawanan bersenjata lokal itu, pemerintah junta melakukan serangan darat dan udara secara serampangan. Serangan ini menyebabkan kematian warga sipil dan bagi yang selamat untuk mengungsi ke wilayah-wilayah perbatasan negara tetangga.
National Unity Government (NUG), sebagai pemerintah bayangan yang tediri dari para politisi NLD, mengumumkan rencana terbentuknya People's Defense Force (PDF) sebagai cikal bakal tentara federal yang inklusif pada 5 Mei 2021 lalu. Chin merupakan salah satu kelompok etnik yang menyatukan kekuatan bersenjatanya dengan NUG untuk melawan junta militer Myanmar.
Saat perlawanan senjata mulai tumbuh, sejumlah pihak khawatir akan pecahnya perang saudara di Myanmar. Proyeksi krisis ini menunjukkan perlunya intervensi serta bantuan internasional untuk menekan pemerintahan junta agar bersedia mendukung pemulihan demokrasi di Myanmar.
Penulis: Stanislaus Axel Paskalis
Editor: Addi M Idhom