tirto.id - Universitas Indonesia (UI) berencana mengubah sistem parkir mereka. Ke depannya, UI akan memasang mesin parkir layaknya yang ada dipusat perbelanjaan. Mesin tersebut akan terpasang di segala titik pintu masuk-keluar kampus jaket kuning itu.
Kepala Hubungan Masyarakat UI, Rifelly Dewi Astuti yang dihubungi reporter Tirto, pada Sabtu (6/7/2019) mengatakan, tujuan penerapan sistem parkir baru tersebut untuk mengendalikan jumlah pengguna kendaraan pribadi.
"Jika kita lebih banyak menggunakan transportasi publik, lingkungan UI akan selalu segar, hijau, dan bersih," kata Dewi.
Dewi menambahkan, bagi para civitas UI bisa menggunakan fasilitas transportasi yang telah disediakan oleh pihak kampus. Ia menyarankan untuk menggunakan bis kuning dan sepeda kuning yang bisa dimanfaatkan gratis.
Sistem parkir berbayar tersebut, menurut Dewi, sebagai upaya untuk mengajak para pengguna kendaraan berkontribusi. “Dalam peraturan pemerintah daerah yang menggunakan lahan parkir itu yang harus berkontribusi pada parkir,” kata dia.
Namun, Dewi belum menjelaskan keterangan lebih lanjut perihal tarif yang akan dipasang dan detail aturannya. Sebab, kata dia, masih menunggu Surat Keputusan (SK) dari pihak rektorat keluar.
“Kami akan segera memberikan update informasi kembali ketika sudah terbit SK resmi dari pimpinan UI,” kata dia.
Lebih lanjut, Dewi berkata, intitusinya akan mulai sosialisasi terlebih dahulu untuk penerapan kebijakan tersebut. Uji coba kebijakan akan dilaksanakan pada 15 hingga 31 Juli 2019.
Ditolak Mahasiswa
Namun, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menyatakan keberatan terhadap rencana penerapan sistem parkir berbayar di kampusnya per 1 Agustus 2019. Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM UI, Elang M. Lazuardi menilai kebijakan itu akan merugikan mahasiswa.
Sebab, kata dia, banyak mahasiswa UI harus sering keluar-masuk kampus untuk beragam kepentingan.
"Ya, kalau kita keluar pagi, lalu keluar sebentar dengan motor atau mobil dan kembali ke UI lagi, pasti kita akan kena [kewajiban] pembayaran [parkir]," kata Elang kepada reporter Tirto, Minggu (7/7/2019).
Elang juga memperkirakan pengoperasian mesin parkir akan memicu kemacetan pada sejumlah jalur akses masuk kampus UI. Sebab, ketika mesin parkir itu belum beroperasi saja, kemacetan karena antrean kendaraan kerap terjadi, terutama di gerbang utama kampus UI.
Kebijakan sistem parkir baru, menurut Elang, juga akan merugikan masyarakat, khususnya para driver ojek daring. Apalagi, UI hanya memberi kelonggaran berupa parkir gratis maksimal 15 menit saja. Sementara, para pengendara ojek daring itu kerap menunggu penumpang dengan durasi tak menentu.
Selain itu, kata Elang, penerapan sistem parkir baru tidak menjamin ada penghijauan lingkungan kampus UI, sebagaimana diklaim pihak rektorat. Menurut dia, pengurangan polusi udara bisa terjadi jika kendaraan umum sudah terintegrasi penuh dengan lingkungan kampus UI.
"Terkait dengan pengadaan alternatif kendaraan, memang benar UI berencana menambah armada bus kuning dan sepeda, namun sampai saat ini belum ada kejelasan. UI justru menyediakan mopet [sepeda listrik], tapi ternyata juga harus bayar," ujar Elang.
BEM UI sudah melakukan audiensi dengan rektorat guna mengetahui kejelasan soal kebijakan sistem parkir baru tersebut secara mendetail. Mereka juga sudah meminta pendapat mahasiswa UI soal hal ini, dan menurut Elang, kebanyakan keberatan dengan rencana penerapan sistem parkir baru.
Ketua BEM Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) Iqbal Fauzan juga menolak rencana parkir baru tersebut. Bersama dengan kawan-kawan mahasiswa lainnya, mereka memboikot mesin parkir dengan rantai dan bentangan spanduk bertuliskan "SEGEL!". Sebab, PNJ yang berada di areal UI merasa dirugikan.
Iqbal dan kawan-kawannya mengaku kecewa lantaran kebijakan itu terlalu sepihak. “Kami menolak kebijakan tarif yang tidak menyesuaikan atau melibatkan kami dalam membuat kebijakan. Kami sangat keberatan,” kata Iqbal.
Menurut Iqbal, apabila parkir berbayar tersebut ditetapkan, maka civitas kampusnya akan merugi. Sebab, PNJ tidak didukung dengan fasilitas yang memadai, laiknya UI.
“Kami menolak kebijakan ini dikarenakan tanpa adanya fasilitas penunjang. Kalau teman UI ada, kayak bus kuning yang ditambah kerja sama dengan Transjakarta dan Spekun ditambah 800 buah, tapi kami enggak ada fasilitas tambahan dan penunjang sama sekali,” kata dia.
Ia juga menampik bahwa pihak kampusnya sudah satu suara dengan pihak UI.
“Kami sudah audiensi dengan pihak PNJ yang berwenang, kepala bagian administrasi dan sarana prasaranan umum ditemani kepolisian Beji, beliau mengatakan sejauh ini tidak menyetujui karena belum ada pembahasan secara lanjut bagi PNJ,” kata dia.
Sebaliknya, Kepala Hubungan Masyarakat UI, Rifelly Dewi Astuti mengklaim sudah melakukan koordinasi dengan pihak kampus Politeknik Negeri Jakarta (PNJ). “Direktur PNJ sudah setuju,” kata dia.
Reporter Tirto berusaha konfirmasi kebenaran tersebut ke pihak PNJ. Namun, mereka enggan berkomentar selain hanya menginformasikan pada Selasa (9/7/2019) mendatang akan melakukan rapat dengan Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Fasilitas Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Fasilitas (DPPF) UI.
Membingungkan Warga
Aturan parkir baru di UI ini juga membuat sejumlah warga kebingungan. Salah satunya Adam (24 tahun), warga Tanah Baru yang rutin lewat UI. Ia mengaku kaget saat mengetahui kampus tersebut sudah memasang mesin parkir di pintu masuk Beji, Depok. Ia menduga, masuk UI akan serupa dengan masuk pusat perbelanjaan.
“Kalau dilihat-lihat sih, mesinnya kayak yang di Margo. Masuk harus bayar dong?" ujarnya ketika ditemui di Jalan Palakali, Beji, Depok, Jumat (5/7/2019).
Adam bekerja di salah satu kios gadget di Kelapa Dua, Depok. Untuk menghemat waktu dan jarak tempuh, UI menjadi alternatif rutenya.
“Kalau lewat [Jalan] Nusantara, mutar-mutar, kan, satu arah juga. Sama juga kalau lewat UP. Dekatan lewat sini ke mana-mana," ujarnya.
Apabila menerapkan sistem parkir baru, Adam berharap UI bisa memberikan kelonggaran bagi masyarakat yang biasanya hanya numpang lewat saja seperti dirinya, untuk tidak dibebankan biaya.
“Kalau kayak di Mal, kan, sekali masuk Rp2 ribu tuh. Nah, kalau saya, kan, bolak-balik, sehari Rp4 ribu cuma untuk numpang lewat doang,” kata dia.
Hal yang sama diungkapkan Aat (34 tahun) warga Kelapa Dua, Depok. Ia menyadari tak punya wewenang untuk mengatur UI. Namun, Aat berharap ada kebijakan yang bisa meringankan masyarakat yang sudah bertahun-tahun menggunakan UI sebagai jalur alternatif.
“Mudah-mudahan saja enggak bayar. Kan, orang lewat sini bukan setahun dua tahun saja. Kalau bisa janganlah [berbayar],” kata dia saat ditemui reporter Tirto, di Pondok Cina, Depok, Jumat kemarin.
Menurut Aat, area UI merupakan jalur alternatif ia berangkat kerja. Ia berprofesi sebagai petugas keamanan perumahan di Curug Agung, Tanah Baru, Depok. Adanya rencananya perubahan sistem parkir tersebut, membuat dirinya harus putar otak lagi untuk berangkat kerja.
“Kalau sekarang jadi bayar, ya bingung juga mau lewat mana. Mutar dah lewat Lenteng Agung. Kagak mau dah lewat Margonda, macet banget. Enggak efisien waktunya,” kata dia.
-------------------
Addendum: artikel ini diupdate per Senin, 8 Juli 2019 dengan tambahan narsum dari BEM Universitas Indonesia
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz