tirto.id - Beberapa hari lalu, beredar video berisi intimidasi sekelompok orang kepada perempuan berjilbab yang mengenakan baju #2019GantiPresiden. Dengan nada tinggi, mereka meminta si ibu mencopot pakaiannya. Malah ada seorang pengendara motor yang memberikan bajunya sendiri agar si ibu menuruti kemauan gerombolan.
Si ibu menolak. Tak mungkin dia mencopot pakaiannya di pinggir jalan. Dalam fragmen lain, kasus serupa juga dialami dua orang pengendara sepeda motor yang mengenakan kaos bertuliskan #2019GantiPresiden. Mereka diminta melepas kaosnya di tengah jalan dengan disertai intimidasi. Meski akhirnya kaos mereka dikembalikan, namun kondisinya sudah rusak karena dirobek massa.
Persekusi itu terjadi di Surabaya, Minggu (26/8/2018) kemarin, dan sempat meramaikan lini masa media sosial. Pada hari yang sama, segerombolan orang yang menamai diri Koalisi Elemen Bela NKRI menolak Ahmad Dhani mendeklarasikan gerakan #2019GantiPresiden. Dhani tak bisa keluar dari hotel tempatnya menginap. Acara pun akhirnya dibatalkan.
Kasus seperti ini sudah terjadi berkali-kali. Salah satu yang paling mudah diingat terjadi di Jakarta, Minggu 29 April 2018 meski posisinya terbalik: yang mempersekusi adalah pendukung #2019GantiPresiden. Ketika itu Susi Ferawati, yang mengenakan pakaian bertuliskan "Dia Sibuk Kerja", diolok-olok. Susi disebut "begok", "cebong", hingga "nasi bungkus" di depan anaknya.
Kejadian yang sudah kesekian kali ini membuat banyak pihak mendesak polisi menindak tegas pelaku atau bahkan mencegah persekusi. Pelaku persekusi memang bisa dijadikan tersangka bila penyelidikan yang dilakukan polisi menemukan bukti yang cukup soal pelanggaran tindak pidana.
Desakan misalnya keluar dari mulut Sekjen DPP PKB Abdul Kadir Karding.
"Polisi jangan takut [untuk mencegah dan mengusut], akan banyak orang jadi korban," ujar Karding kepada Tirto, Rabu (29/8/2018).
Karding berpendapat meski harus mendesak polisi mengantisipasi dan mengusut kasus-kasus serupa, namun baik dari pendukung petahana dan oposisi tetap harus tahu diri. Karding menganjurkan orang-orang untuk tidak melakukan kegiatan politik "yang mengundang reaksi sehingga menimbulkan bertrokan."
Hal yang sama diungkapkan politikus PKS Nasir Djamil. Ia menyebut polisi harus tanggap terhadap pengaduan masyarakat.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, juga sama. Tapi dia tak sependapat dengan Karding yang menyarankan orang-orang untuk tidak melakukan deklarasi. Selama tidak melanggar hukum, siapa saja berhak menyampaikan pendapat di muka umum dan mendapat perlindungan.
"Mau ganti presiden atau tetap Jokowi, ya monggo," ucap Dahnil.
Bukan cuma polisi, Danhil merasa Presiden Joko Widodo juga harus bersikap tegas karena persekusi merupakan ancaman bagi demokrasi. "Presiden harus bersikap terang dan tegas," katanya.
Kepala Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia sepakat dengan pernyataan-pernyataan di atas, bahwa polisi harus bersikap tegas. Masalahnya cuma satu, katanya: kadang polisilah pelaku kekerasan itu sendiri.
"Apakah itu [kekerasan polisi] juga melanggar HAM? Tentu saja," katanya kepada Tirto.
Dalam catatan Kontras yang dirilis tengah tahun lalu, ada 60 kasus persekusi terjadi sepanjang Oktober 2016-Juni 2017. Kasus terbanyak terjadi di Jakarta dan Jawa Barat. Diduga, penanganan perkara persekusi yang setengah-setengah menjadi pemicu persekusi terus-menerus terjadi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino