tirto.id - Hari Lahir Pancasila diperingati pada 1 Juni hari ini. Tiga tokoh yang berperan penting merumuskan Pancasila adalah Mohammad Yamin, Soepomo, dan Sukarno. Pidato Sukarno mengenai rumusan lima sila di sidang terakhir BPUKI pada 1 Juni 1945 dikukuhkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
BPUKI sendiri dibentuk atas rekayasa pemerintah Jepang sebagai tindak lanjut "janji kemerdekaan" yang rencananya akan diberikan kepada Indonesia. Janji kemerdekaan sendiri merupakan akal-akalan pemerintah Jepang.
Opsi menjanjikan kemerdekaan dianggap sebagai pilihan paling tepat di masa itu. Kendati usulan Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso tersebut ditentang banyak pihak, namun janji kemerdekaan itu berhasil mencapai kata mufakat pada 7 September 1944 di Tokyo.
Akal-akalan janji kemerdekaan itu disampaikan dengan bertele-tele. Memang, tujuan sebenarnya bukan untuk memberi kemerdekaan, melainkan untuk maksud terselubung. Dalam buku Seribu Tahun Nusantara (2000) yang dieditori J.B. Kristanto dinyatakan tiga tujuan dari janji kemerdekaan Jepang.
Pertama, untuk menarik simpati rakyat. Pasalnya, Jepang mengalami setentetan kekalahan di Perang Asia Timur Raya. Jepang berharap bahwa Indonesia tidak melakukan pemberontakan di tengah situasi politik Jepang yang kacau balau.
Kedua, untuk memperkuat politik "Asia Timur Raya". Melalui janji kemerdekaan, pemerintah Jepang berharap memperoleh dukungan dari rakyat Indonesia. Bagaimanapun juga, jika situasi tidak menentu, maka Indonesia akan menjadi sasaran terkam Sekutu.
Ketiga, untuk mendapatkan keuntungan dari percaturan perang. Jika janji kemerdekaan itu berhasil menarik simpati dan dukungan, pemerintah Jepang berharap bisa mengerahkan rakyat Indonesia untuk menghadang Sekutu jika terdesak, terlebih Jepang sudah membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) di sana.
Artinya, janji kemerdekaan itu hanyalah rekayasa bulus saja. Yang jelas, ada embel-embel bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan Indonesia "kelak di kemudian hari". Hal ini kian menegaskan, Jepang tidak mau kehilangan Indonesia, apalagi menyerahkannya kepada pihak musuh.
Melihat situasi yang tidak menentu dan terkesan bertele-tele itulah, Soekarno yang saat itu bertindak sebagai juru bicara pihak Indonesia mengeluh kepada salah seorang pembesar Jepang.
"Tuan mengatakan seakan-akan kami memerlukan perabotan, radio, dan ini itu sebelum kami kawin. Permintaan kami hanya membuat sebuah rumah dan sehelai tikar."
Tiga Tokoh Pencetus Pancasila
Sambil menunggu situasi politik membaik, pada 1 Maret 1945, Kumakichi Harada selaku Jenderal Dai Nippon yang membawahi Jawa mengumumkan akan dibentuk badan baru dengan nama Dokuritsu Junbi Cosakai atau yang dikenal dengan BPUPKI. Kendati sudah direncanakan sebulan sebelumnya, pada 29 April 1945 barulah BPUPKI diresmikan.
Sejak tanggal itulah, BPUPKI melakukan sidang maraton untuk merumuskan bentuk bangsa, hubungan agama dan negara, syarat kewarganegaraan, Undang-Undang Dasar (UUD) sementara Indonesia, hingga dasar negaranya. Rumusan dasar Pancasila ini lahir dalam tiga sidang BPUPKI, sejak 29 dan 31 Mei, serta 1 Juni 1945.
Pada 29 Mei 1945, Mohammad Yamin sebagai pembicara pertama menjelaskan mengenai "Azas dan Dasar Negara Indonesia Merdeka". Isi pidato Mohammad Yamin ini berisi lima azas yaitu (1) Peri Kebangsaan; (2) Peri Kemanusiaan; (3) Peri Ketuhanan; (4) Peri Keraykyatan; dan (5) Kesejahteraan Rakyat.
Dua hari setelahnya, Soepomo menjelaskan mengenai tindak lanjut "Dasar-dasarnya Negara Indonesia Merdeka" yang disampaikan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Soepomo mengajak peserta sidang untuk menetapkanstaatsidee yang akan dipakai, yang nantinya menentukan dasar negara Indonesia.
Tiga staatsidee yang ditawarkan Soepomo itu adalah (1) Aliran perorangan dari Hobbes; atau (2) Golongan kelas dari Marx; atau (3) Integralistik dari Spinoza. Soepomo condong ke staatsidee integralistik yang berlandaskan persatuan, yang nantinya menjadi perenungan Soekarno untuk menayampaikan pidato pamungkas BPUPKI yang dianggap sebagai momen lahirnya Pancasila.
Pada sidang terakhir BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 itulah, Bung Karno menyampaikan ihwal "Dasar Indonesia Merdeka" dan mengenalkan istilah Pancasila yang berisi lima azas dasar yaitu (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan; (3) Mufakat atau demokrasi; (4) Kesejahteraan sosial; dan (5) Ketuhanan yang Maha Esa.
“Sekarang, banyaknya prinsip kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya,” kata Bung Karno dikutip dari Risalah BPUPKI (1995) terbitan Sekretariat Negara RI.
Selepas pidato tersebut dibentuklah panitia kecil yang dikenal dengan Panitia Delapan, yang kemudian berganti lagi menjadi Panitia Sembilan dengan komposisi anggota yang berbeda, terdiri dari Soekarno (Ketua), Moh. Yamin, K.H Wachid Hasyim, Moh. Hatta, K.H. Abdul Kahar Moezakir, Maramis, Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, dan H. Agus Salim.
Pada sidang 22 Juni 1945, Panitia Sembilan bersepakat mengenai dasar negara Indonesia ke dalam lima rumusan yang dipopulerkan oleh Mohammad Yamin sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
- Kemanusiaan yang adil dan beradab;
- Persatuan Indonesia;
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rapat alot penghapusan tujuh kata itu hanya berlangsung 15 menit, dihadiri oleh Kasman Singodimedjo (utusan Soekarno), Moh. Hatta, Ki Bagus Hadikoesoemo (Ketua Muhammadiyah), Wahid Hasyim, dan Teuku Hasan.
Moh. Hatta menyatakan bahwa “tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka [yang] golongan minoritas.”
Ancamannya sangat serius, tulis Hatta dalam autobiografinya, Mohammad Hatta: Memoir (1979). “Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.”
Kendati ada perubahan sehari selepas kemerdekaan, tokoh-tokoh pencetus Pancasila dikenang abadi sebagai perumus dasar negara Indonesia. Karena itu, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016, Pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus sebagai Hari Libur Nasional.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dipna Videlia Putsanra