tirto.id - Berdasarkan riset Setara Institute, sepanjang 1965 hingga 2017 terdapat 97 kasus penistaan agama. Kasus yang terjadi sebelum reformasi hanya sembilan perkara, namun setelah reformasi jumlahnya membengkak hingga 88 perkara. Kasus terbaru adalah yang menjerat Meiliana, yang divonis menista agama karena memprotes suara toa masjid.
"Kami cermati, kasus penodaan agama sangat sedikit sebelum reformasi salah satunya karena media kurang bebas, sehingga tidak banyak yang terungkap," ujar Ahmad Fanani Rosyidi, peneliti Setara Institute dalam diskusi di Bakoel Koffie, Jumat (21/9/2018).
Dalam laporannya, Setara Institute menyebut korban pasal penistaan agama sebagai penoda dan pelaku yang menggunakan pasal itu sebagai yang dinodai.
Dari 97 Kasus tadi, 63 penoda beragama Islam, 25 beragama Kristen, Katolik dan kelompok afiliasi PKI masing-masing 2, selebihnya aliran agama lain. Sementara itu, kelompok agama yang paling banyak dinodai adalah Islam yakni 88 kasus, Kristen 4 kasus, Katolik 3 kasus, dan Hindu 2 kasus.
"Kalau dilihat kan ternyata agama yang paling banyak dinodai itu Islam, dan yang paling banyak menodai juga Islam," kata Ahmad.
Dari data Setara Institute, kelompok Islam mayoritas adalah pelaku, sedang yang jadi korban adalah kelompok Islam minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, dan lainnya. Kasus penodaan agama yang masuk ke persidangan sebanyak 76, sedangkan yang tidak sampai ke tahap persidangan 21 kasus.
Setara Institute juga mengumpulkan data kasus yang mendapat tekanan massa dan tidak. Hasilnya, tekanan massa memengaruhi hukuman yang diberikan kepada penoda. Jika tanpa tekanan massa, sebanyak 14 kasus tidak masuk persidangan.
"Artinya hanya sampai tahap mediasi atau dialog saja. Bahkan ada juga yang diputus bebas sebanyak 4 kasus," ujar Ahmad.
Jika terdapat tekanan massa, kebanyakan berakhir di persidangan dan penjara. Hanya 7 kasus yang tidak disidang, satu kasus yang diputus bebas itu pun melalui jalur banding.
Direktur Eksekutif Institute for Crime Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan, pengadilan seharusnya menegakkan hukum secara mandiri tanpa ada pengaruh dari tekanan massa.
"Prinsip ini termaktub dalam pasal 14 ayat 1 Konvenan Hak Sipil dan Hak Politik atau ICCPR dan telah dijamin UUD 1945 pasal 24 ayat 2," kata Anggara.
ICJR memandang, dalam konteks kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang harus dilindungi adalah kebebasan untuk melaksanakan kepercayaannya. Pemeluk agama dilindungi dari hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Bukan dalam konteks melindungi agama itu.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra