tirto.id - Kasus Meiliana, yang menerima vonis 18 bulan penjara dari majelis hakim PN Medan karena mengeluhkan volume pengeras suara azan, merupakan potret dari peraturan yang multitafsir
Hal itu disampaikan Melanie Subono dalam acara solidaritas untuk Meiliana yang diadakan di Taman Aspirasi, Jakarta Pusat, Rabu (12/9/18). Ia memandang kasus yang menjerat Meiliana disebabkan banyaknya peraturan yang bersifat 'abu-abu' di Indonesia.
“Pemerintah kita suka sekali buat peraturan seperti itu,” ungkap Melanie.
Ia mencontohkan seperti kasus perbuatan tidak menyenangkan. Pasal tersebut bisa dikenai kepada siapa saja yang merasa tidak senang akibat tindakan atau ucapan seseorang. Terlebih kasus Meiliana, bisa saja menimpa masyarakat Indonesia umumnya.
“Namun hal tersebut sepertinya tidak berlaku bagi pejabat yang bercandaannya lebih parah dari itu, tapi gak pernah ditangkap. Selalu standar ganda. Kalau kena yang ini aman, kalau yang sana amsyong lah,” jelas Melanie.
Ia ingin membantu Meiliana melalui aksi solidaritas ini dengan menyanyi dan menyebarluaskan informasi tentang Meiliana di media sosial.
Komnas Perempuan bahkan sejak 2016 melakukan advokasi, pemantauan dan pendampingan kepada Meiliana. Jauh sebelum kasus inimencuat di media dan ramai dibincangkan masyarakat Indonesia. Komnas Perempuan melihat ini sebagai kasus politis, kasus yang tidak bisa dilihat dari perspektif pidana murni.
Menurut Riri Hariroh, Komisioner Komnas Perempuan, kasus Meiliana hanya pemantik dari potensi ketegangan sosial dan konflik antar kelompok yang sudah akut terjadi di Tanjung Balai.
Bagi Komnas Perempuan, Meiliana adalah potret dari diskriminasi berlapis yang dialami oleh perempuan, kelompok minoritas, dan etnis Tionghoa.
“Diskriminasi berlapis tersebut membuat Meiliana semakin rentan untuk dikriminalisasi dengan dalih penodaan agama,” jelas Riri.
Dalam persidangan bahkan banyak tekanan yang ditujukan baik kepada Meiliana maupun hakim. Komnas Perempuan mendorong pentingnya revisi akan Undang-Undang PNPS No.65 terkait penodaan agama, jika tidak direvisi maka harus dimoratorium sehingga tidak ada lagi korban yang bakal jatuh.
Kedua, Komnas Perempuan menuntut Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial untuk memantau persidangan Meliana nanti saat banding. Ketiga, pemerintah harus menjamin keamanan Meiliana dan keluarganya dari intimidasi yang terjadi. Serta terakhir, pemerintah harus membuat ruang perjumpaan atau ruang dialog agar kasus serupa tidak terjadi lagi di Indonesia
Vonis pada Meiliana adalah Kekeliruan
Amnesty Internasional Indonesia menilai vonis yang dijatuhkan kepada Meiliana—warga Tanjung Balai—keliru. Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia katakan, memenjara Meiliana keliru sebab ia mengeluhkan volume pengeras suara dari masjid yang berjarak enam meter dari rumahnya, bukan memprotes suara azan.
Menurutnya, ketika ada keluhan terkait pengeras suara itu harusnya dimaklumi namun yang terjadi malah sebaliknya. “Meiliana harus berhadapan dengan proses hukum dan bukan itu saja, rumahnya bahkan menjadi objek vandalisme dari kelompok warga setempat,” jelas Usman dalam acara solidaritas terhadap kasus Meiliana.
Tak hanya itu, sekelompok orang yang tak jelas dari mana juga memprovokasi serta membakar vihara setempat. Usman sampaikan bahwa inilah yang justru mencederai keharmonisan umat beragama di Indonesia.
“Sayangnya suara dari mereka ini, yang marah dan ditujukan ke Meiliana malah didengarkan aparat hukum,” ujar Usman. Sejak awal, ada keraguan diantara sesama aparat hukum di Polda Sumatera Utara untuk memproses kasus Meiliana.
“Wakapolda Sumatera Utara sempat mengatakan, Meiliana tidak sebaiknya ditetapkan sebagai tersangka karena perbuatannya tidak mengandung perbuatan kriminal.”
Maka dari itu, Amnesty Internasional Indonesia mengingatkan bahwa pemenjaraan tersebut adalah keliru. Kemudian mendesak agar Meiliana dibebaskan. “Tentu saja bukan hanya Meiliana, tapi juga Basuki Tjahaja Purnama, Ahmad Musadeq, dan semua orang yang terjerat UU penodaan agama. UU ini harus dihapuskan.”
Alif Imam Nurlambang, Ketua Gerakan Indonesia Kita (GITA) berpendapat serupa, pasal penodaan agama dalam undang-undang seharusnya dihapuskan. Agama jelas tidak bisa dinodai. Pasal tersebut merupakan bentuk keangkuhan dari pemeluk agama yang merasa dirinya suci.
“Mengeluhkan bahkan memprotes pengeras suara yang besar itu bukanlah bentuk penodaan agama. Ada standar desible tertentu yang mampu diterima oleh gendang telinga, jika kelewatan maka akan merusak syaraf telinga dan gelombang otak,” jelas Alif.
Menurutnya, Jusuf Kalla yang sampai hari ini masih jadi Ketua Dewan Masjid Indonesia pernah mengusulkan untuk mengatur agar tidak semua masjid menyuarakan azan pada saat salat tiba.
“Siapa yang menghukum dia dengan penodaan agama? Tidak ada, artinya orang yang membakar vihara, melakukan pengrusakan ke rumah Meiliana, bahkan mengancam nyawanya adalah kriminal yang harus dihukum. Bukan sebaliknnya.”
Petisi yang dibuat oleh GITA di change.org hingga hari ini sudah ditandatangani oleh 205 ribu orang, artinya masih ada banyak orang yang ingin merawat pikirannya untuk Indonesia yang berkeadilan.
“Masih banyak orang yang tidak ingin Indonesia menjadi gahar, ganas, dan membuat takut setiap orang berucap karena ucapannya bisa dinilai menodai agama orang lain,” ujar Alif.
Oleh karenanya, aksi solidaritas yang dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat dan organisasi lintas agama ini mengharapkan Meiliana dibebaskan, juga menjaga kemerdekaan berekspresi di Indonesia.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Yantina Debora