tirto.id - Sehari usai dilantik sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian langsung meminta jajarannya untuk mengecek serapan anggaran di tiap pemerintah daerah.
Instruksi tersebut ia sampaikan saat memimpin apel pagi seluruh pegawai lingkup Kemendagri dan BNPP, di halaman kantor Kemendagri, Kamis (24/10/2019) pagi.
Tujuannya, sambung mantan Kapolri tersebut, agar sisa lebih penggunaan anggaran tidak terlalu besar. "Bukan berarti harus dihabiskan, tapi dievaluasi apa yang sudah diprogramkan,” ucapnya.
Ia juga meminta direktorat keuangan daerah untuk menyisir satu anggaran belanja pemerintah di tiap daerah, mengingat kerja untuk APBD 2019 tinggal dua bulan.
“Masalah anggaran, penyerapan anggaran harus betul-betul efektif, efisien, kita dorong agar penyerapan anggarannya bisa tepat sesuai program, baik lingkungan kita dan di daerah," tegasnya.
Anies Bisa Kena Semprit
Jika penyisiran tersebut benar-benar dilakukan oleh Kemendagri, barangkali Pemprov DKI akan jadi pemerintah daerah pertama yang dievaluasi oleh Kemendagri.
Serapan Anggaran Pemerintah ibu kota baru mencapai 57,12 persen per 25 Oktober 2019. Beradasarkan situsweb Monitoring dan Evaluasi Bappeda DKI Jakarta, serapan Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung baru mencapai Rp44,5 triliun dari total Rp77,8 triliun anggaran yang dialokasikan.
Jika dilihat lebih detail, serapan belanja Langsung yang meliputi biaya pegawai, pengadaan barang dan jasa, hingga modal sendiri baru mencapai Rp21,5 triliun atau 48,8 persen dari alokasi anggaran sebesar Rp44,5 triliun.
Dari total alokasi belanja langsung, serapan paling ekspansif terjadi pada pos belanja pegawai sebesar 71,8 persen. Sementara belanja pengadaan barang dan jasa serta belanja modal masing-masing baru mencapai 61,9 persen dan 26,5 persen.
Artinya, serapan anggaran lebih banyak terpakai untuk gaji pegawai ketimbang realisasi program kerja Pemprov. Hal serupa juga terjadi pada anggaran Belanja Tidak Langsung yang melingkupi biaya pegawai, dana hibah, biaya tak terduga, bunga, subsidi, bantuan sosial, hingga bantuan keuangan.
Hingga saat ini, penyerapan anggarannya masih di angka Rp22,6 triliun atau 68,1 persen dari alokasi anggaran sebesar Rp33,29 triliun.
Serapan terbesar justru terdapat pada pos bantuan keuangan serta belanja tidak langsung pegawai yang masing-masing sebesar 93,1 persen dan 78,2 persen. Sementara subsidi dan bantuan sosial, yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, serapan anggarannya masing-masing cuma 44,1 persen dan 51,7 persen.
Adapun pos belanja hibah baru terealisasi 64,17 persen, belanja bunga sebesar 64 persen serta belanja tak terduga sebesar 0,59 persen.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, mengatakan, lemahnya serapan hingga kuartal empat 2019 membuat Gubernur Anies Baswedan dan jajarannya kena semprit Kemendagri.
Sebab, rendahnya serapan anggaran Pemprov DKI Jakarta menunjukkan lemahnya sistem pengendalian keuangan yang dilakukan.
Dia juga mengingatkan Anies agar lebih berhati-hati dalam penyerapan anggaran yang berpotensi tinggi di akhir tahun. Apalagi, serapan yang menumpuk di akhir tahun tersebut kerap menimbulkan risiko.
"Misalnya, kualitas pekerjaan proyek yang rendah, hingga termasuk potensi korupsi," katanya saat dihubungi Jumat pekan lalu (25/10/2019). "Resiko lain, SILPA tinggi di akhir tahun. Dengan begitu, merugikan masyarakat karena anggaran yang seharusnya mereka nikmati dalam bentuk program dan kegiatan dari masing-masing fasilitas publik tidak terlaksana," lanjutnya..
Menurut Misbah, Anies juga perlu memperbaiki mekanisme pengendalian anggaran agar proses pengadaan barang dan jasa di DKI lebih efektif. Di samping itu, proses lelang untuk program dan kegiatan prioritas, yang menunjang pencapaian target pembangunan DKI, juga harus didahulukan.
"Mendagri dan Menteri Keuangan harus memberikan teguran. Mereka juga harus punya sistem evaluasi juga untuk memaksimalkan serapan anggaran, bukan hanya terserap diakhir tahun anggaran," katanya.
Meski demikian, Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Saefullah, mengklaim serapan anggaran saat ini jauh lebih baik ketimbang periode yang sama di tahun lalu. "Kalau dibandingkan dengan tahun yang lalu DKI Jakarta, bulan ini, tanggal ini, jauh sekali dibandingkan sekarang. Kalau sekarang saya buletin kan sudah 60 persen.
Dari target kita 85 persenan, berarti kan tinggal 25 lagi," kata Saefullah saat ditemui di Balai Kota, Jumat (25/10/2019) sore. Serapan sebesar 25 persen tersebut, klaim Saefulloh, ada pada kegiatan-kegiatan fisik dan infrastruktur yang rencananya baru dibayar 15 Desember mendatang. "Bobotnya kita hitung di situ," lanjutnya.
Bahkan, kata Saefulloh, Pemprov DKI Jakarta sedang melakukan pengendalian ketat terhadap keluar masuknya aliran dana lewat serapan anggaran. Hal tersebut, klaim Saefulloh, dikarenakan pencairan dana bagi hasil dari pemerintah pusat sebesar 6,4 triliun tidak dibayarkan tahun ini.
"Sehingga kita sedang mengatur cash flow kita, ya teman-teman kalau perjalanan dinas dikurangi, makan minum dikurangi, beli ATK dikurangi, kegiatan yang tidak lgsg berdampak di masyarakat dikurangi. Pembelian tanah yang tidak dipake sekarang enggak usah beli dulu," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Hendra Friana