tirto.id - Yogyakarta berperan penting dalam sejarah pergerakan keagamaan di Indonesia. Selain sebagai tempat lahir salah satu organisasi Islam terbesar di negeri ini yakni Muhammadiyah, Yogyakarta juga memayungi banyak sekali pusat studi berbagai agama dan kepercayaan. Namun, beberapa tahun terakhir, kerap terjadi aksi vigilante berlatar agama di kota pelajar ini.
Di balik keberagamannya, Yogyakarta ternyata masih menyimpan kisah-kisah aksi kekerasan dan tindakan main hakim sendiri alias vigilantisme, terutama yang menimpa kaum minoritas. Kasus-kasus semacam ini bermunculan setelah rezim Orde Baru runtuh pada 21 Mei 1998.
Semenjak 2000 hingga 2010, dikutip dari Krisis Keistimewaan: Kekerasan Terhadap Minoritas di Yogyakarta (2017) karya Mohammad Iqbal Ahnaf dan Hairus Salim, setidaknya terjadi tiga kasus vigilantisme yang menyasar kelompok minoritas di Yogyakarta.
Setelah itu, dari 2011 sampai dengan 2013, terjadi sekitar 13 aksi kekerasan terhadap golongan minoritas. Sebagian sasarannya antara lain kelompok Syiah, Ahmadiyah, pemeluk agama lain, dan sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan isu LGBT serta komunisme.
Berikutnya, jumlah aksi kekerasan melonjak mencapai rata-rata 10 kasus tiap tahun. Pada 2014, terdapat sedikitnya 14 aksi vigilanstisme. Tahun 2015 menurun menjadi 12 aksi, namun pada 2016 naik kembali menjadi 13 aksi.
Dari Radikal ke Komersial
Merujuk paper Moh. Zaki Arrobi bertajuk “Vigilantism as ‘Twilight Institution’: Islamic Vigilante Groups and the State in Post-Suharto Yogyakarta” yang terhimpun dalam PCD Journal Volume VI No. 2 (2018), keadaan politik pascapemerintahan Soeharto menciptakan lebih banyak kelompok-kelompok militan, vigilante, dan politik jalanan.
Yogyakarta, lanjut Moh. Zaki, sempat menjadi salah satu pusat gerakan Islam radikal. Dalam kondisi demikian, ada beberapa ormas Islam yang kerap kali main hakim sendiri dengan cara-cara intimidatif. Beberapa kali diskusi akademik, bedah buku, atau pemutaran film mendapat hambatan. Juga penolakan terhadap aktivitas agama atau kelompok lain.
Gerakan Islam memang bukan hal yang baru di Yogyakarta. Noorhaidi Hasan dalam Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia (2018) mengungkapkan, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) lahir dari Kongres Mujahidin Nasional Pertama di Yogyakarta pada 5-7 Agustus 2000. MMI, dan Laskar Jihad, berperan penting dalam konflik di Ambon dan Poso pada awal dekade 2000-an.
Dikutip dari situsweb Majelis Mujahidin, gerakan ini bertujuan bersama-sama berjuang menegakkan Syari’ah Islam dalam segala aspek kehidupan, sehingga Syari’ah Islam menjadi rujukan tunggal bagi sistem pemerintahan dan kebijakan kenegaraan secara nasional maupun internasional.
Pada perkembangannya, pola aksi vigilantisme Islam di Yogyakarta tak lagi seradikal pasca-Reformasi 1998. Kelompok yang sebelumnya dikenal beringas lantas beralih kepada upaya mempertahankan stabilitas bisnis dan lapangan pekerjaan di tingkat lokal. Kelompok-kelompok lokal itu di antaranya adalah Gerakan Pemuda Kakbah (GPK), Gerakan Anti Maksiat (GAM), dan Laskar Hizbullah.
Moh. Zaki mewawancarai beberapa anggota gerakan lokal untuk risetnya itu. Dalam wawancara itu terungkap, sejak pertengahan dekade 2000-an, kelompok-kelompok lokal tersebut mulai merambah ke berbagai macam bisnis, terutama terkait industri pariwisata di Yogyakarta.
Beberapa anggota GPK, ungkap Moh. Zaki, mendirikan Serikat Pariwisata Ngabean yang mengorganisir toko, kios, tempat parkir, dan bus pariwisata. Adapun GAM punya usaha travel dan areal parkir. Sedangkan Laskar Hizbullah melalui Masjid Jogokaryan mengembangkan berbagai aktivitas sosial-ekonomi, seperti penerbitan, industri kreatif, dan acara-acara motivasi.
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Iswara N Raditya