tirto.id - Eropa goyah kembali pada 1940-an. Manuver Nazi pada Perang Dunia II mengacaukan politik internal di negara-negara sekitarnya. Perancis, misalnya, terbagi menjadi dua kawasan: sebelah utara diduduki pasukan Adolf Hitler, area selatan diberi status merdeka (zona bebas atau zone libre).
Di zone libre itulah rezim Perancis Vichy memulai kekuasaan pada 10 Juli 1940—tepat 79 tahun yang lalu.
Perancis mendeklarasikan perang terhadap Jerman pada 3 September 1939 sebagai respons atas invasi Jerman ke Polandia pada 1 September di tahun yang sama. Delapan bulan berselang Jerman melancarkan serangan militer ke barat.
Jerman teramat tangguh. Hanya selang beberapa hari setelah invasi, Perancis menyadari pertahanan mereka bakal kolaps. Sejumlah elite Republik Ketiga menyarankan agar negara melanjutkan pertarungan. Tapi aspirasi mereka kalah oleh suara mayoritas yang menghendaki sebaliknya.
Perdana Menteri Paul Reynaud termasuk suara minoritas itu. Pada pertengahan 1940 ia mengundurkan diri. Presiden Albert Lebrun menunjuk Marsekal Philippe Petain untuk menggantikan posisinya.
Petain langsung menjajaki kesepakatan dengan Hitler, yang isinya berupa pembagian dua kekuasaan sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya.
Perancis Vichy (selanjutnya disebut Vichy) dipimpin oleh Petain. Secara de jure ibukotanya di Vichy, sebuah kota yang berada 360 kilometer arah selatan Paris. Vichy berkuasa atas administrasi sipil dan imperium kolonial Perancis selama Jerman melakukan pendudukan militer di Perancis bagian utara.
Hitler punya alasan kuat mengapa ia merestui pendirian Vichy. Kala itu Jerman sedang memusatkan kekuatan untuk menyerang Inggris. Usaha menduduki Perancis sepenuhnya akan menjadi beban dalam mencapai misi tersebut.
Pembentukan pemerintahan mandiri dipandang sebagai strategi yang lebih ringan. Tugas Hitler hanya memastikan bahwa rezim Vichy tunduk kepadanya. Atau setidaknya dilemahkan secara militer agar Vichy tidak memiliki kemampuan menyerang Jerman.
Di atas kertas rezim Patein tidak pernah masuk Blok Poros. Mereka ingin mengesankan status netral. Meski demikian para sejarawan mencatat bagaimana Vichy pada dasarnya rezim kolaborator Nazi.
New York Times menyebut Robert O. Paxton, melalui bukunya Vichy France: Old Guard and New Order 1940-1944 (1973) sebagai yang pertama mengungkap bahwa rezim Vichy bukan korban Nazi, melainkan salah satu instrumen yang bertindak bak negara boneka.
Paxton mencatat rezim Vichy menganut ideologi konservatif-tradisionalis-sayap kanan. Patein berkuasa secara otoriter, juga anti-Semit. Gaya ini amat menguntungkan Nazi terutama untuk proyek genosidanya.
Golongan Yahudi menjadi salah satu pihak yang dicap sebagai musuh negara sejak rezim Vichy berdiri. Lainnya mulai dari imigran negara-negara Mediterania, pengikut organisasi Freemason, kaum Gipsi, homoseksual, kelompok komunis, dan aktivis sayap kiri lain.
Pada Juli 1940 Vichy mendirikan komisi khusus untuk mengubah aturan kewarganegaraan. Sepanjang bulan Juni 1940 hingga Agustus 1944, hukum baru ini menghapuskan status kewarganegaraan (denaturalisasi) 15.000 warga Vichy, sebagian besarnya orang Yahudi .
Kemudian pada Oktober 1940 pemerintahan Vichy mengumumkan statuta Yahudi pertama yang membuat orang Yahudi di Vichy tidak diperbolehkan berakvitas di bidang kemiliteran, media massa, komersil, dan industrial.
Statuta kedua diloloskan pada Juli 1941. Isinya mewajibkan pebisnis Yahudi untuk mendaftarkan usahanya sekaligus membatasi karier warga Yahudi di bidang apapun—komersial maupun industrial.
Puncaknya adalah praktik penangkapan dan penahanan warga Yahudi di kamp-kamp yang oleh rezim sebelumnya dipakai untuk menahan tawanan Perang Dunia I. Targetnya bukan hanya warga Yahudi di dalam negeri, tapi juga para pendatang.
Setelah pasukan Sekutu mendarat di Afrika Utara (wilayah jajahan Perancis) pada November 1942, Jerman bersama Italia menginvasi Vichy. Sejak saat itu Blok Poros menguasai Perancis seutuhnya dengan tujuan mengamankan pesisir pantai Mediterania.
Sejak saat itu pula Jerman mulai menjalankan holokaus: pembunuhan sistematis terhadap orang-orang Yahudi yang telah ditahan di kamp-kamp konsenstrasi. Akademisi University of Victoria, Stephanie Kates, pernah membahasnya dalam analisis bertajuk "Vichy France’s Collaboration with Nazi Germany" (2017).
Menurut Kates penangkapan-penangkapan di Vichy makin giat dilakukan oleh polisi yang mendapat perintah langsung dari otoritas Jerman. Nama programnya: Penangkapan Vel' d'Hiv (Rafle du Vel' d'Hiv).
Mereka menangkap lebih dari 13 ribu warga Yahudi, termasuk lebih dari empat ribu anak-anak (yang sebenarnya tidak diminta oleh polisi Jerman, Gestapo) dan lebih dari lima ribu perempuan.
Mereka ditahan di kamp Drancy, Perancis bagian utara, lalu dibawa ke kamp penjagalan di Auschwitz. Mayoritas tahanan meninggal sepanjang perjalanan karena nyaris nihilnya makanan dan minuman. Sisanya menemui ajal di kamar-kamar gas. Mereka yang kembali setelah perang berakhir hanya berjumlah 811 orang.
Pada awal 1943 otoritas Vichy kembali menangkapi warga Yahudi di Marseilles. Lebih dari 2 ribuan orang yang dibawa ke kereta menuju penjagalan. Jumlah ini terus bertambah dari penangkapan-penangkapan di kota-kota besar lainnya.
Paxton menyatakan ada total 76 ribu warga Yahudi Perancis yang dibantai melalui holokaus. BBC History melaporkan angka pastinya 75.721 orang. Hanya dua ribu orang yang mampu selamat dari tragedi tersebut.
Mulai tahun 1944 dukungan publik kepada pemerintahan Vichy menurun drastis sementara gerakan perlawanan dari berbagai faksi ideologis menguat. Muncul pula Charles de Gaulle, pemimpin gerakan perlawanan yang sekaligus mengetuai Pemerintah Sementara Republik Perancis atau GPRF.
GPRF didirikan setelah keberhasilan invasi Sekutu di Pantai Normandy, Perancis, pada bulan Juni 1944. Hingga dua tahun setelahnya Vichy kian kehilangan kontrol atas wilayah kekuasaannya. Secara berangsur-angsur pula GPRF memulihkan kontinuitas Republik Ketiga.
Perang Dunia II berakhir pada September 1945. Lima bulan sebelumnya Vichy sudah benar-benar habis. Para pemimpinnya diadili GPRF atas dasar kejahatan kemanusiaan. Sisanya, yang melarikan diri ke ibukota pengasingan di Sigmaringen, Jerman selatan, juga ditangkapi.
Hingga berdekade-dekade setelahnya rezim Vichy masih menjadi stigma negatif bagi rakyat Perancis. Muncul pula perdebatan bahwa pemerintah mesti meminta maaf atas pelanggaran HAM yang terjadi, meski otoritas Perancis berkata pada saat itu “pemerintah” yang dimaksud sedang tidak aktif.
Pengakuan resmi pertama oleh pemerintah Perancis atas pendeportasian 76 ribu warga Yahudi ke Jerman dilakukan oleh Presiden Jacques Chirac pada 1995. Mengutip BBC News, ia mengungkapkannya saat mengunjungi Velodrome d’Hiver, tempat 13 ribu warga Yahudi dideportasi menuju kamp konsentrasi pada Juli 1942.
Kemajuan lain dicapai pada Desember 2015. France24 melaporkan kala itu pemerintah Perancis membuka 200 ribu dokumen negara periode 1940-1944 atau era kepemimpinan Petain.
Dokumen-dokumen ini berasal dari kementerian dalam negeri, kementerian luar negeri dan kepolisian masa perang. Beberapa di antaranya menyangkut investigasi kejahatan perang yang dilakukan GPRF pasca-kekalahan Nazi.
Lalu pada Juli 2017 Presiden Emanuel Macron menyatakan kecaman pada peran negara (rezim Vichy) dalam holokaus di Perancis. Seperti Chirac, Macron juga mengungkapkannya di Velodrome d’Hiver.
“Memang Perancis yang mengatur (pendeportasian) out. Tidak satupun orang Jerman yang terlibat langsung. Memang nyaman untuk menganggap rezim Vichy tidak pernah ada. Ya, nyaman, tapi itu tindakan yang salah. Kita tidak dapat membangun kebanggaan atas kebohongan,” kutip Guardian.
Editor: Nuran Wibisono