tirto.id - Ada hal-hal di dunia ini yang dianggap tidak patut dimaafkan dan karena itu dendam akan selalu berlaku.
Dalam budaya suku Arrernte, salah satu suku dalam habitat Aboriginal di Australia, ada sosok yang ditugaskan menjadi algojo untuk menegakkan keadilan. Sosok itu disebut Kurdaitcha. Ia akan bekerja ketika ada anggota suku Arrernte yang meninggal akibat roh jahat. Salah satu penandanya ketika korban mengucapkan nama seseorang yang dianggap sebagai penyebab kematiannya. Di situ Kurdaitcha melakoni tugasnya sebagai pembalas dendam.
Usai Perang Dunia II, juga terdapat sebuah kisah mengenai dendam kesumat yang begitu menggidikkan dengan melibatkan dua subjek paling penting dalam sejarah: Yahudi versus Nazi. Kisah ini dimulai oleh sebagian kecil bekas tahanan Yahudi yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi. Tidak seperti mayoritas bekas tahanan lain yang kelak hidup berkalang depresi dan ketakutan sepanjang hayat, orang-orang ini merawat baik-baik dendam mereka terhadap Nazi.
Dan dendam tersebutlah yang menjadi bahan bakar utama ketika mereka mendirikan sebuah organisasi teroris bernama Nakam. Istilah Nakam ditakik dari pemeo bahasa Ibrani, "Dam Yisrael Noter", yang kurang lebih berarti: “Darah Israel akan Dibalaskan”. Dengan melihat asal kalimatnya, maka Nakam kurang lebih berarti avengers atau para pembalas.
Nakam dibentuk pada sekitar tahun 1945 oleh Abba Kovner. Ia adalah seorang penyair yang lahir di Belarus sekaligus bekas serdadu United Partisan Organization (Fareynikte Partizaner Organizatsye)--salah satu grup intelijen komunis Lithuania yang berada di pengawasan Uni Soviet. Bersama letnan Vitka Kempner serta Rozka Korczak, Kovner kemudian merekrut sekitar 300 militia Yahudi lain yang selamat dari Holocaust. Mayoritas berasal dari kalangan Yahudi Eropa Timur yang bermukim di Vilnius (Lithuania), Rovno (Ukraina), Częstochowa, dan Kraków (Polandia)
Setelah melatih, menyeleksi, sekaligus mengindoktrinisasi, para militia tersebut diberi sebuah misi kudus: menghabisi anggota Nazi yang masih tersisa dan orang sebanyak mungkin. Targetnya enam juta orang, sama seperti total korban Yahudi yang dibantai. “Misi ini harus mengejutkan. Orang Jerman harus paham, setelah apa yang terjadi di Auschwitz, tidak ada lagi yang namanya normalitas,” demikian ikrar Kovner.
Sejarawan Israel yang juga penulis biografi Kovner, Dina Porat, dalam wawancaranya dengan Fox News mengatakan bahwa apa yang dilakukan Nakam merupakan “sesuatu yang diperlukan”, sebelum mereka yang selamat dari pembantaian Nazi “kembali ke masyarakat”. Ia juga menambahkan:
"Tragedi yang mengerikan itu akan terlupakan, dan jika Anda tidak membalasnya, kelak Anda akan mengalami hal yang sama kelak. Itulah yang mendorong mereka (untuk balas dendam). Tidak hanya demi keadilan, tapi juga untuk peringatan kepada seluruh dunia, bahwa kalian tidak dapat menyakiti kaum Yahudi lalu pergi begitu saja.”
Menelusuri Dendam Nakam
Syahdan, pasukan Nakam berangkat menuju Jerman dari Rumania. Ketika singgah sejenak di Italia, mereka bertemu dengan tentara Brigade Yahudi yang meminta tolong kepada Kovner untuk mengatur Aliyah Bet (kode untuk imigrasi ilegal bangsa Yahudi ke Palestina pada tahun 1934-1948). Kovner menolak permintaan tersebut setelah menjelaskan sedang punya misi khusus. Ia juga mengatakan bahwa misi tersebut telah direstui oleh presiden pertama Israel, Chaim Azriel Weizmann.
Setibanya di Jerman, Kovner dkk. mulai mengembangkan jaringan sel bawah tanah dan segera mengumpulkan uang. Mereka menerima pasokan besar mata uang Inggris yang dipalsukan Jerman dari utusan Hashomer Hatzair, organisasi pemuda sosialis-zionis di Eropa. Bantuan uang juga diperoleh dari simpatisan Brigade Yahudi. Untuk logistik, Nakam juga sempat beberapa kali melakukan pemaksaan kepada para spekulan.
Setelah koordinasi mulai berjalan, Nakam mulai mematangkan rencana. Ada dua rencana yang akan mereka lakukan. Pertama, mereka akan meracuni aliran air yang digunakan oleh warga di sepanjang Munich, Berlin, Weimar, Nuremberg, hingga Hamburg dengan arsenik. Namun, sebelum dieksekusi, rencana tersebut gagal setelah Kovner ditangkap oleh pasukan Inggris dan arsenik yang ia bawa pun terpaksa dibuang ke laut.
Dalam laporan Jweekly yang tayang pada 27 Maret 1998, kegagalan Nakam bermula ketika Haganah--grup paramiliter Yahudi di bawah komando British Mandate of Palestine--memberikan dokumen yang keliru kepada Kovner. Akibatnya, rencana Nakam terungkap dan Kovner dikirim ke penjara. Kendati demikian, misi kudus Nakam tetap berlangsung. Wakil Kovner, Yitzhak Avidav, mengambil alih kepemimpinan dan mereka pun beralih ke rencana kedua: menyusup ke Konsum-Genossenschaftsbäckerei (Consumer Cooperative Bakery) yang berada di Nuremberg, pusat pemasok makanan ke penjara Stalag XIII-D.
Stalag XIII-D adalah tempat di mana bekas serdadu Schutzstaffel (SS) Nazi ditahan di bawah pengawasan Amerika Serikat. Berdasarkan laporan New York Times pada 23 April 1946, Nakam mengincar 15.000 serdadu Nazi di penjara tersebut. Namun, pada praktiknya, “hanya” 2.283 serdadu saja yang terkena racun, dengan 207 di antaranya menderita serius. Catatan ini berbeda dengan keterangan anggota Nakam lain yang menyebut ada 300-400 serdadu Jerman yang tewas.
Hingga kini, tak begitu jelas mengapa rencana kedua Nakam gagal. Seturut ulasan Fox News, seorang ahli kimia menyebut bahwa Nakam telah menyediakan 10 kilogram racun arsenik untuk mengolesi ribuan roti yang ada. Dalam penelitian laboratorium, arsenik dioleskan di bagian bawah, atas dan samping roti, dengan skala 0,2 gram. Jumlah tersebut dalam banyak kasus terhitung mematikan, sebab biasanya, untuk membunuh seseorang menggunakan arsenik cukup dibutuhkan 0,1-0,3 gram saja.
Setelah misi tersebut gagal dilakukan, banyak anggota Nakam yang ditangkap pihak otoritas Jerman. Sebagian dari mereka berhasil kabur dari penjara setelah mendapat bantuan dari French Resistance, kolektif pemuda dari Prancis yang aktif melawan Nazi. Pada periode 1950-1952, sebagian lain kembali ke Israel dengan membawa penyesalan dan dendam yang masih kesumat.
Joseph Harmatz, salah seorang anggota Nakam yang ketika diwawancarai oleh Guardian telah berusia 91 tahun, mengenang kembali kisah pembalasan dendam itu. Usai misinya gagal, ia kabur dari Jerman bersama anggota Nakam lain. Di perbatasan Cekoslowakia, mereka bertemu oleh Yehuda Maimon, seorang Auschwitz yang selamat dari Polandia namun kehilangan orang tuanya di kamp konsentrasi. Ia membantu penyelundupan para anggota Nakam ke Palestina.
Kendati gagal, Harmatz, yang juga menulis pengalamannya tersebut dalam buku berjudul ‘From The Wings’, mengaku puas karena dapat terlibat dengan misi balas dendam Nakam. “Sangat penting untuk membentuk kelompok itu dan menjadi kebanggaan bagi saya. Surga melarang jika setelah perang kita kembali begitu saja ke rutinitas tanpa berpikir untuk mengenyahkan kembali para bajingan itu. Sangat mengerikan jika binatang-binatang tersebut tidak ditumpas,” ujarnya.
Ketika Harmatz meninggal pada 22 September 2016, New York Times sempat menghubungi anaknya yang paling muda, Ronel Harmatz, untuk mengenang kembali kisah keterlibatan sang ayah dengan Nakam. Dalam laporan tersebut, Ronel mengatakan bahwa ayahnya menyadari jika rencana balas dendam tersebut tidak baik dan kelak “akan membuat kaum Yahudi terus dibandingkan dengan kedegilan Jerman”.
Namun, apakah dengan begitu Harmatz menyesal?
“Yang ia sesali mengapa misi tersebut gagal. Ia menginginkan sesuatu yang lebih tragis lagi," ujar sang anak.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti