Menuju konten utama

Sejarah Pemantau Asing di Indonesia: Bermula pada Pemilu 1999

Pemantau asing adalah hal wajar dalam pemilu dan diatur oleh undang-undang. Pemilu 1999 bisa dijadikan contoh terbaik.

Sejarah Pemantau Asing di Indonesia: Bermula pada Pemilu 1999
Pekerja menata kotak suara Pemilu 2019 usai dirakit di Surabaya, Jawa Timur, Senin (18/3/2019). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/aww.

tirto.id - Memasuki minggu-minggu akhir jelang Pemilu 2019, di sejumlah kanal media sosial tersebar dua tagar yang cukup viral, yakni #INAelectionObserverSOS dan #IndonesiaCallsObservers.

Kedua tagar itu ditulis oleh para pendukung capres nomor urut 02. Selain tagar-tagar tersebut, belakangan muncul juga tagar #IndonesiaCallsCarterCenter yang lagi-lagi datang dari pendukung yang sama.

Semua tagar tersebut bertujuan untuk mengundang para pemantau asing dalam pemilu yang akan datang. Pemantau asing yang kehadirannya diharapkan para pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga tak lepas dari semakin tingginya eskalasi pertarungan antarkedua kubu menjelang Pilpres 2019.

Sebagai penantang petahana, pasangan nomor urut 02 yang mereka dukung dianggap rentan dicurangi. Penyelenggara pemilu pun dinilai tidak independen.

Menanggapi hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan pihaknya tak perlu didesak dengan sejumlah tagar. Sebab kehadiran pemantau asing sudah biasa dalam pemilu di Indonesia sejak era Reformasi bergulir.

“Kehadiran pemantau asing sudah menjadi tradisi di semua negara demokrasi yang menggelar pemilu. Jadi tanpa ada SOS atau desakan seperti itu, KPU sudah punya tradisi mengundang kehadiran pemantau asing dan domestik. Bukan hal baru sama sekali,” ucap ujar Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi.

Ia menambahkan, KPU telah mengundang lembaga penyelenggara pemilu dari 33 negara, perwakilan kedutaan 33 negara sahabat, dan 11 lembaga pemantau internasional.

Para pemantau asing itu akan berkumpul pada 15-18 April 2019. Mereka akan diberikan penjelasan tentang sistem dan sejumlah masalah penting dalam pemilu di Indonesia.

“Ada pemantauan ke TPS-TPS dan ada catatan serta masukan dari lembaga-lembaga itu tentang hasil pemantauan TPS,” imbuh Pramono.

Tudingan Kepentingan Politik

Tagar #IndonesiaCallsCarterCentermengacu kepada sebuah lembaga yang pernah memantau pemilu pada 1999. Namanya diambil dari nama Presiden Amerika Serikat ke-39 Jimmy Carter (1977-1981). Bukan hanya itu, Carter pun sempat ikut terlibat langsung dalam pemantauan pemilu di Indonesia.

Menurut laporan Gatra edisi 7 Juni 1999, Carter bersama Rosalynn, istrinya, mengunjungi sebuah TPS di Rempoa, Jakarta Selatan. The Carter Center bukan satu-satunya pemantau asing yang hadir dalam pemilu pertama setelah tumbangnya Orde Baru itu, ada pula beberapa lembaga asing lain.

Dan di luar sejumlah pemantau asing, ada 65 organisasi pemantau lokal yang konon jumlah personelnya mencapai setengah juta orang.

“Ini pemantauan terbesar yang pernah kami ikuti,” ujar Carter.

The Carter Center yang bermarkas di Atlanta, Amerika Serikat datang ke Indonesia atas undangan KPU dan beberapa partai besar. Kepercayaan terhadap lembaga nirlaba ini karena mereka dianggap berpengalaman. Sampai 1999, The Carter Center telah terlibat dalam pemantauan 30 pemilu di lima benua.

Dalam menjalankan tugasnya, mereka berkolaborasi dengan lembaga serupa, yakni National Democratic Institute (NDI) yang saat itu mengerahkan 100 orang yang ditempatkan di seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Timor Timur yang mereka anggap masih masuk koloni Portugal.

Kehadiran pemantau asing, terutama dari Amerika Serikat, saat itu menimbulkan sejumlah tudingan dari dalam negeri bahwa mereka datang demi kepentingan politik AS. Deanna Congileo, yang saat itu menjadi juru bicara The Carter Center, membantahnya seperti dilaporkan Gatra.

“Kepentingan kami hanya sebatas menambah pengalaman dan pengetahuan,” ujarnya.

Kecurigaan publik tanah air terhadap pemantau asing ini bukan tanpa alasan. Pada pemilu awal tahun 1999 di Nigeria, The Carter Center terkena tuduhan berkonspirasi dengan Jenderal Olusegun Obasanjo yang terpilih sebagai presiden dalam pemilu tersebut. Deanna Congileo tentu saja membantah kabar ini.

Pemilu pertama setelah kejatuhan Soeharto memang mengundang rasa penasaran beberapa negara, terutama Eropa, terhadap situasi demokrasi Indonesia. Kala itu tak kurang dari 15 perwakilan negara Eropa seperti Jerman, Inggris, Perancis, Italia, dan Belanda yang tergabung dalam lembaga Observation Unit European Union hadir dalam Pemilu 1999.

“Kami ingin melihat kestabilan di Indonesia,” kata John Wyn Morgan, Ketua Observation Unit European Union yang juga Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia kepada Gatra.

Selain The Carter Certer dan Observation Unit European Union, hadir pula lembaga pemantau asing lainnya, yakni Asian Network For Free Election (ANFREL), National Citizen Movement For Free Elections (NAMFREL), dan International Republican Institute (IRI).

Dalam catatan Tempo edisi 28 Juni 1999, temuan salah satu pemantau asing tersebut, yakni National Democratic Institute, adalah maraknya politik uang dan intimidasi terutama pada masa prapemilu. Tapi secara keseluruhan mereka menilai Pemilu 1999 berjalan dengan baik.

Hal ini sejalan dengan prediksi Jimmy Carter pada saat tukar pendapat dengan Todung Mulya Lubis, koordinator harian Jaringan Perguruan Tinggi untuk Pemilu yang Bebas dan Adil, dua bulan sebelum pemilu digelar.

“Potensi kecurangan tetap terbuka. Apalagi Indonesia adalah negara yang besar dan wilayahnya luas. Kasusnya pasti berbeda dengan Kenya dan Nigeria, misalnya,” kata Carter seperti dikutip Lubis dalam Kompas edisi 1 April 1999.

Pro-Kontra Kehadiran Pemantau Asing

Desakan untuk menghadirkan pemantau asing dalam Pemilu 2019, yang timbul karena perseteruan yang semakin meruncing antarkontestan pilpres, menuai pro dan kontra sejumlah kalangan.

Lestari Nurhayati, pemantau pemilu dari Asian Network For Free Election (ANFREL), berpendapat kehadiran pemantau asing hanya akan membuat dunia internasional menganggap ada yang tidak beres dalam pemilu di Indonesia.

“Implikasinya adalah PBB akan mendatangkan segala perangkatnya untuk ikut campur urusan negara Indonesia. Katanya kita tidak mau orang asing urus dan ikut campur negara Indonesia? Mengapa harus teriak untuk minta bantuan asing?” tulisnya.

Pendapat berbeda disampaikan Sigit Pamungkas, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT). Menurutnya, pemantau pemilu baik asing maupun domestik bukan ancaman terhadap demokrasi karena mereka justru memperkuat legitimasi pemilu.

Infografik Pemantau Asing Pemilu RI

undefined

Di luar pro-kontra tersebut, kehadiran pemantau asing dalam pemilu di Indonesia sebetulnya telah diatur oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ketentuan tentang pemantau pemilu terdapat pada Pasal 351 nomor 6 yang berbunyi:

“Pemantauan pungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang telah diakreditasi oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota.”

Selain itu, pada Pasal 360 nomor 5 yang mengatur pemungutan suara di luar negeri, peraturan tentang pemantau pemilu pun sama, yakni harus terakreditasi oleh Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu).

Ada juga pemantau asing yang diundang KPU tanpa harus melewati proses akreditasi dari Bawaslu. Dan seperti disampaikan Pramono Ubaid Tanthowi selaku Komisioner KPU, April mendatang puluhan pemantau asing akan terlibat dalam pemilu.

Desakan yang kencang untuk menghadirkan pemantau asing yang berseliweran di kanal media sosial lewat pelbagai tagar seolah-olah menafikan peraturan resmi tentang pemantau pemilu yang sebetulnya telah ada.

Gerakan di dunia maya itu akhirnya tak lebih dari sekadar perang urat saraf dalam persaingan yang semakin meruncing. Jika desakan kehadiran pemantau asing adalah bentuk ketidakpercayaan kepada KPU dan Bawaslu, kelak hasil pemilu dengan kehadiran pemantau asing mestinya tidak dijadikan bahan sengketa. Misalnya dipakai sebagai dalih untuk enggan menerima kekalahan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Politik
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan