tirto.id - Kiai Haji Masjkur memenuhi panggilan Presiden Sukarno ke istana negara menjelang Pemilu 1955. Ia tak sendiri, ada pula K.H. Zainul Arifin yang juga mendapat undangan serupa. Dua ulama besar Nahdlatul Ulama (NU) ini memang dipanggil secara khusus oleh presiden.
Kala itu Masjkur menjabat sebagai Menteri Agama RI, sedangkan Zainul Arifin adalah Wakil Perdana Menteri di Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Bung Karno meminta kedua kiai NU ini melakukan pendekatan terhadap Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
DI/TII, terutama yang bermarkas di Jawa Barat pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo—yang juga sahabat lama Bung Karno—memang sempat menebar ancaman bakal mengacaukan Pemilu 1955. Presiden tidak ingin pesta demokrasi pertama di Indonesia itu diusik.
Zainul Arifin dan Masjkur menyatakan siap melaksanakan perintah presiden. Kedua kiai ini, tulis Ario Helmy lewat artikel “Gelar Pahlawan Layak bagi KH Masykur” dalam portal nu.or.id, kemudian menyebarkan selebaran dari pesawat ke segala penjuru wilayah Jawa Barat yang berisi imbauan untuk menjaga suasana aman dan tertib selama pemilu.
Meskipun terjadi sejumlah insiden yang diduga dilakukan DI/TII, secara umum Pemilu 1955 berlangsung tertib dan lancar. Setelah pesta demokrasi usai dan terjadi pergantian susunan pemerintahan, berakhir pula tugas K.H. Masjkur sebagai menteri agama, jabatan yang sudah diembannya dalam 5 kabinet berbeda.
Sang Kiai & Panglima Santri
Dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1984) disebutkan, Masjkur lahir di Desa Pagetan, Singosari, Malang, Jawa Timur, pada 30 Desember 1902. Ketika berusia 9 tahun, ia diajak orang tuanya berhaji ke Makkah. Sepulang dari tanah suci, Masjkur belajar di sejumlah pondok pesantren untuk memperdalam ilmu agamanya.
Salah satu pesantren yang menempa Masjkur adalah Ponpes Tebuireng di Jombang pimpinan K.H. Hasyim Asya’ri. Dari Tebuireng, Masjkur lalu berguru kepada K.H. Kholil al-Bangkalani di Madura, kemudian berlanjut ke Pesantren Jamsaren di Solo, Jawa Tengah.
Setelah lama nyantri dari pondok ke pondok, Masjkur akhirnya kembali ke Singosari pada 1923. Di kampung halamannya ini, tulis Dukut Imam Widodo dalam Malang Tempo Doeloe (2006), ia mendirikan pesantren sekaligus madrasah bernama Mishbahul Wathan yang berarti Pelita Tanah Air.
Masjkur juga aktif sebagai pengurus NU di daerahnya. Pada 1926 ia terpilih sebagai Ketua NU cabang Malang. Empat tahun berselang, Masjkur sudah masuk jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan turut memperjuangkan kepentingan umat Islam pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengambilalih wilayah Indonesia dari Belanda sejak 1942, Masjkur bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA). Ini merupakan organisasi paramiliter bentukan pemerintah Dai Nippon dan nantinya menjadi salah satu unsur utama yang membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Semasa era pendudukan Jepang, Masjkur sempat menjadi anggota Syou Sangkai atau semacam parlemen di daerah. Menjelang Indonesia merdeka, ia turut terlibat dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Masjkur juga anggota Partai Masyumi.
Setelah Indonesia merdeka, Belanda datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu. Pada 22 Oktober 1945 K.H. Hasyim Asy'ari menyerukan Resolusi Jihad untuk melawan pendudukan pasukan Belanda. Berbekal keahlian dan pengalaman militer yang diperoleh dari PETA, Masjkur pun turut dalam perjuangan ini.
Dalam Gerakan Pemuda Ansor: Dari Era Kolonial hingga Pascareformasi (2018) suntingan Bayu A. Yulianto disebutkan, Masjkur bertindak sebagai panglima tertinggi barisan perjuangan yang terdiri dari para santri yakni Laskar Hizbullah. Ada pula gerakan serupa bernama Laskar Fisabilillah yang dipimpin Zainul Arifin.
Dua laskar umat Islam ini terlibat aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, termasuk Pertempuran Surabaya yang berpuncak pada 10 November 1945. Laskar Hizbullah dan Fisabilillah nantinya melebur dengan angkatan perang RI sebelum menjadi TNI.
Menteri Agama Lima Kabinet
K.H. Masjkur pernah menjadi anggota Dewan Pertahanan Nasional yang dibentuk tak lama setelah kemerdekaan. Soebagijo I.N. dalam K.H. Masjkur: Sebuah Biografi (1982) memaparkan, Presiden Sukarno memerintahkan pembentukan institusi lantaran negara dalam keadaan bahaya.
Dewan Pertahanan Nasional terdiri dari perdana menteri dan sejumlah menteri, panglima besar angkatan perang, serta tiga orang wakil dari organisasi rakyat. Masjkur mewakili Masyumi.
Pada November 1947 Masjkur mendapat panggilan dari presiden untuk segera datang ke Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota RI. Dari rekan-rekannya di Masyumi, Masjkur memperoleh kabar bahwa ia akan diikutsertakan ke dalam kabinet.
Dan benar. Masjkur kemudian menjadi menteri, bahkan nantinya menjabat menteri agama dalam lima babak pemerintahan. Masjkur merupakan tokoh NU ke-3 yang mengemban amanat sebagai menteri agama setelah K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Fathurrahman Kafrawi.
Masjkur pertama kali menempati kursi menteri agama pada Kabinet Amir Syarifuddin II sejak 11 November 1947 hingga 29 Januari 1948. Kabinet ini tidak berumur panjang karena Amir Syarifuddin mengundurkan diri setelah polemik internal akibat Perjanjian Renville.
Dalam tempo singkat ini, Masjkur menghasilkan Peraturan Menteri Agama Nomor 5/1947 tentang biaya perkara pengadilan agama yang harus disetor ke kas negara. Selain itu, dikutip dari buku Menteri-Menteri Agama RI (1967) suntingan Azyumardi Azra & Saiful Umam, digelar Konferensi Agama dengan Jawatan-Jawatan Agama seluruh Indonesia pada 13-16 November 1947.
Selanjutnya dibentuk Kabinet Hatta I sejak 29 Januari 1948, Masjkur tetap menjabat menteri agama. Ia memberlakukan Undang-Undang Nomor 19/1948 yang salah satu pasalnya mengatur tentang pemutusan perkara-perkara perdata antar umat Islam menurut hukum Islam. Selain itu, Masjkur adalah menteri agama pertama yang menggagas dibentuknya Kantor Urusan Agama (KUA) di daerah-daerah.
Pada masa ini pula pemerintah menugaskan Masjkur untuk menemui teman lamanya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang telah keluar dari Masyumi dan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Barat. Namun pertemuan ini gagal karena Kartosoewirjo selalu menghindar.
Setelah terjadinya Madiun Affair pada 18 September 1948, Masjkur membentuk tim penyelidik untuk mencatat jumlah penghulu, naib, dan alim-ulama yang menjadi korban, serta pesantren yang mengalami kerusakan. Masjkur dan tim Kementerian Agama juga berkeliling ke berbagai daerah untuk memberikan pencerahan dan menguatkan mental rakyat.
Kabinet Hatta I terhenti pada 4 Desember 1948 lantaran Agresi Militer Belanda dan ditangkapnya para pemimpin republik. Masjkur lolos dari penangkapan, kemudian ikut bergerilya, dari Yogyakarta, Solo, Ponorogo, dan akhirnya bertemu dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman di Trenggalek.
Untuk sementara dalam situasi ini, kendali negara dijalankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Kursi menteri agama dipercayakan kepada kader Muhammadiyah, Tengku Mohammad Hassan.
Pemerintahan republik akhirnya dipulihkan dengan terbentuknya Kabinet Hatta II sejak 4 Agustus 1949. Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990) menuliskan, Masjkur tetap dipercaya menjadi menteri agama.
Pada 20 Desember 1949 atau setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, dibentuklah kabinet peralihan. Soesanto Tirtoprodjo bertindak sebagai pejabat sementara perdana menteri dan Masjkur tetap menempati posisi menteri agama.
Masuk Parlemen, Pulang ke NU
Masa bakti Masjkur sebagai menteri agama di kabinet peralihan berlangsung empat pekan saja, hingga 21 Januari 1950 atau seiring dibubarkannya kabinet ini. Kesehatan Masjkur sering terganggu akibat aktivitas gerilya yang sempat dilakoninya.
Sempat ada dua pemerintahan setelah itu, yakni Kabinet Abdul Halim (RI) yang berpusat di Yogyakarta dan Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pimpinan Hatta di Jakarta. K.H. Fakih Usman dari Muhammadiyah menjadi menteri agama di Kabinet Halim, sementara di Kabinet RIS ada K.H. Wahid Hasyim yang menempati jabatan itu.
RIS dibubarkan pada 6 September 1950 dan kembali menjadi NKRI. Wahid Hasyim serta Fakih Usman bergantian menjabat sebagai menteri agama dalam periode ini hingga 30 Juli 1953.
Setelah itu, yakni pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Masjkur kembali dipercaya mengisi komposisi menteri pemerintahan. Ini merupakan kabinet ke-5 baginya sebagai menteri agama. Masjkur melanjutkan program-program kerja Kementerian Agama yang telah dirintis pada era Wahid Hasyim dan Fakih Usman. Saat itu, Masjkur juga menjadi Ketua Umum PBNU.
Masa bakti K.H. Masjkur sebagai menteri agama di Kabinet Ali Sastroamidjojo I tuntas pada 12 Agustus 1955. Setelah itu, ia sempat masuk parlemen hingga 1971, yakni dengan menjadi anggota DPR, DPR-GR, dan Ketua Golongan Islam di DPR/MPR, juga anggota Dewan Pertimbangan Agung (DP), selain tetap mengabdi di NU.
Sejak tahun 1973, Masjkur menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setelah dilakukan fusi partai-partai Islam kala itu. Tahun 1978, ia duduk sebagai Wakil Ketua DPR hingga 1983.
K.H. Masjkur menuntaskan tugasnya di NU pada 1984. Setelah itu, ia mengabdikan diri bagi perkembangan pendidikan Islam di tanah air hingga akhir hayatnya. Menteri agama lima babak ini wafat tanggal 19 Desember 1992 dalam usia 90 tahun.
==========
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Ivan Aulia Ahsan