tirto.id - Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 11 Juli 1945 itu berlangsung alot. Usul Mohammad Yamin terkait pembentukan Kementerian Agama (Kemenag) tidak disetujui oleh mayoritas peserta forum. Namun, sejarah mencatat, Kementerian atau Departemen Agama RI akhirnya lahir juga setelah melalui perjuangan yang tidak mudah.
Kala itu, Yamin mengusulkan perlu dibentuk departemen istimewa yang terkait urusan agama, yakni Kementerian Islamiyah. Kementerian ini, kata Yamin, akan memberi jaminan kepada umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di Indonesia. Namun, usul pembentukan Kementerian Islamiyah tidak memperoleh respons yang cukup.
Yamin kembali melontarkan gagasan yang sama dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) –badan pengganti BPUPKI– tanggal 19 Agustus 1945 atau dua hari setelah proklamasi.
Di hadapan peserta sidang, Yamin berkata: “Tidak cukup jaminan kepada agama Islam dengan Mahkamah Tinggi saja, melainkan harus kita wujudkan menurut kepentingan agama Islam sendiri,” ucapnya seperti dikutip dari website resmi Kemenag RI.
“Pendek kata, menurut kehendak rakyat, bahwa urusan agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, wakaf dan masjid dan penyiaran harus diurus oleh kementerian yang istimewa,” imbuh Yamin.
Saran Yamin lagi-lagi kandas. Dari total 27 anggota BPUPKI, hanya 6 orang saja yang sepakat dengan Yamin. Lainnya menolak atau abstain. Rencana pembentukan Kementerian Agama pun kembali menemui jalan buntu.
Sebagian besar peserta sidang berpendapat, keberadaan departemen yang khusus mengurusi agama dianggap belum terlalu penting. Persoalan agama masih bisa dinaungi oleh kementerian lain, seperti Kementerian Pendidikan atau Kementerian Dalam Negeri.
Perjuangan Lahirnya Kemenag
Fuad Nasar dalam Islam dan Muslim di Negara Pancasila (2017), mengutip B.J. Boland penulis buku The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1985), menyebutkan, ditolaknya pembentukan Kementerian Agama dalam susunan pemerintahan Indonesia itu telah meningkatktkan kekecewaan orang-orang Islam.
Terlebih lagi, sebelumnya juga sempat terjadi polemik antara golongan Islam dengan kelompok lain dalam perumusan dasar negara, yang bermula dari Piagam Jakarta sebelum menjadi Pancasila.
Kendati begitu, perjuangan agar pembentukan Kementerian Agama bisa terwujud tidak pernah pudar. Menjelang akhir tahun 1945, dalam sidang pleno Komite Nasional Indonesia (KNIP) yang merupakan cikal-bakal parlemen atau DPR, tokoh-tokoh Islam kembali menggaungkan gagasan tersebut.
Salah satu elemen yang paling vokal kala itu adalah tokoh-tokoh Islam utusan Komite Indonesia Daerah dari Karesidenan Banyumas, yang sebagian besar berasal dari Masyumi. Salah seorang di antaranya adalah H.M. Saleh Su’aidy yang berkata dengan lantang:
“Mengusulkan supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan saja, tapi hendaklah kementerian yang khusus dan tersendiri,” tandas Saleh Su’aidy, dikutip Nasar dari buku Peringatan 10 Tahun Kementerian Agama.
Ternyata kali ini yang mendukung usul tersebut lebih banyak, termasuk Mohammad Natsir dan beberapa tokoh Islam berpengaruh lainnya. Presiden Sukarno pun sepakat dan lantas memberikan isyarat kepada Mohammad Hatta.
Bung Hatta, sang wakil presiden, segera berdiri dan berucap, “Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian dari pemerintah.”
Terkait nama departemen baru tersebut, apakah Kementerian Agama, Kementerian Agama Islam, atau Kementerian Islamiyah seperti yang pernah diusulkan Mohammad Yamin, forum sepakat memakai nama Kementerian Agama.
Dan akhirnya, Sidang KNIP secara aklamasi, bahkan tanpa pemungutan suara, menerima dan menyetujui pembentukan Kementerian Agama. Pemerintah segera merealisasikan terwujudnya Kementerian Agama dengan mengeluarkan ketetapan resmi tertanggal 3 Januari 1946.
Sebagai Menteri Agama RI yang pertama, ditunjuklah H.M. Rasjidi dari Muhammadiyah. Dalam pidato perdananya, Menag Rasjidi menegaskan, tujuan berdirinya kementerian ini adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya. Artinya, agama yang dilindungi dan diperhatikan Kemenag bukan hanya Islam, juga agama-agama lain yang diakui di Indonesia.
Editor: Iswara N Raditya