Menuju konten utama

Sejak Awal Target Vaksinasi Corona Memang Tak Realistis, Pak Jokowi

Epidemiolog menilai sejak awal target vaksinasi COVID-19 tak realistis. Indonesia punya masalah, salah satunya karena memang tak memproduksi vaksin.

Sejak Awal Target Vaksinasi Corona Memang Tak Realistis, Pak Jokowi
Petugas medis menunjukkan vaksin COVID-19 di Mataram, NTB, Rabu (17/3/2021). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/aww.

tirto.id - "Target vaksinasi kita dari Januari-Juni ini 40 juta orang. Kita targetkan 1 juta orang vaksinasi setiap hari agar pelaksanaan vaksinasi berjalan selesai tepat waktu, sesuai target yang ditentukan."

Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo dalam siaran live tentang perkembangan penanganan COVID-19 di Indonesia, Kamis 4 Maret 2021 malam. Hal serupa pernah disampaikan pada awal program vaksinasi pada 27 Januari.

Presiden mematok target ambisius untuk program vaksinasi. Ia mencanangkan kekebalan kelompok tercapai pada 2022.

Per Senin kemarin (29/3/2021), dua bulan sejak vaksinasi dimulai, baru 7.394.421 orang mendapat suntikan pertama dan 3.313.494 orang mendapat suntikan kedua. Kecepatan vaksinasi menunjukkan tren peningkatan walau belum mencapai target, yakni 500 ribu per hari.

Namun, di tengah tren peningkatan tersebut, kendala melanda. Kasus COVID-19 di India melonjak. Akibatnya negara produsen vaksin AstraZeneca terbesar itu melakukan embargo dengan menutup keran ekspor vaksin yang dampaknya juga terasa ke Indonesia. Indonesia sedianya mendapat 2,5 juta dosis vaksin AstraZeneca pada 22 Maret dan 7,8 juta dosis lagi pada April melalui skema Covax-GAVI.

Saat ini Indonesia hanya memiliki sisa vaksin Sinovac 7 juta dosis. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan dengan stok sebanyak itu Indonesia diprediksi hanya mampu bertahan menggelar vaksinasi selama 14 hari. "Saya sekarang sedang atur bagaimana sisa yang ada, bagaimana bisa pelan-pelan kita tahan," ujar Budi, Minggu (28/3/2021).

Meski stok menipis, Budi mengatakan Indonesia masih beruntung sebab sudah mengikat perjanjian dengan produsen lain seperti Novavax dan Pfizer. Masalahnya solusi itu membutuhkan waktu. Direktur Utama Bio Farma (Persero) Honesti Basyir dalam rapat kerja dengan DPR Senin kemarin mengatakan pasokan vaksin buatan Novavax baru akan tiba pada kuartal II tahun ini. Sebelumnya Juru Bicara Program Vaksinasi Siti Nadia Tarmizi mengatakan vaksin Pfizer baru masuk Indonesia pada semester kedua 2021.

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan ia sudah lama mewanti-wanti bahwa target Presiden terlalu ambisius dan tak realistis. Ia mempertanyakan soal kesiapan stok vaksin mengingat Indonesia bukanlah negara produsen sebagaimana Cina atau India.

"Di tengah dunia membutuhkan stok vaksin, apa kita kebagian? Jadi tidak ada jaminan stok. Itu kendala terbesar di Indonesia karena kita tidak mempunyai kemandirian membuat vaksin," kata Pandu kepada reporter Tirto, Senin.

Kondisi ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kapasitas Biofarma agar mampu memproduksi vaksin sendiri. Bukan dalam artian mengembangkan vaksin dari nol sebagaimana vaksin Nusantara atau vaksin Merah Putih, tetapi memproduksi massal vaksin yang telah dikembangkan oleh perusahaan farmasi dunia.

"Pertanyaannya apa Biofarma punya teknologinya?" kata Pandu.

Pandu mencontohkan India. AstraZeneca memberikan lisensi bagi India untuk memproduksi massal vaksin tersebut karena mereka memiliki teknologi untuk itu dan berkomitmen untuk menjualnya ke luar negeri. Ke depan, pemerintah Amerika Serikat akan mengupayakan untuk memiliki seluruh paten vaksin Moderna sehingga negara yang memiliki kapasitas memproduksi vaksin itu secara massal akan diberi lisensi untuk melakukannya.

Skema ini berbeda dengan yang dijalin Sinovac dan Biofarma selama ini. Dalam skema ini, Sinovac masih mengirim bahan baku ke Biofarma.

"Kemampuan pabrik vaksin itu jauh lebih penting daripada mengembangkan vaksin. Jadi seharusnya DPR ngapain ngurusin vaksin Nusantara? Haha," Pandu berkelakar.

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman pun mengatakan bahwa kejadian ini semestinya menyadarkan pemerintah bahwa vaksinasi hanya satu jalan untuk keluar dari pandemi. Vaksin terbukti sangat rentan, baik itu dari sisi suplai sebagaimana terjadi hari ini atau rentan terhadap mutasi baru virus.

Yang paling penting dan sudah teruji keberhasilannya adalah peningkatan surveilans. Ke sana pula penanganan pandemi harus difokuskan.

"Di tengah dia (pemerintah) aktif melakukan vaksinasi, dengan adanya strain baru ini peningkatan [kasus] pasti akan terjadi karena radar kita ini masih sangat lemah," kata Dicky kepada reporter Tirto, Senin.

Baca juga artikel terkait VAKSINASI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino