tirto.id - Kelanjutan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 makin suram sejak kasus suap yang melintangi proyek tersebut mencuat pada 13 Juli 2018. Proyek itu diberhentikan Direktur Utama PT PLN (Persero), Sofyan Basir, pada 16 Juli 2018 usai Eni Maulani Saragih tertangkap KPK tiga hari sebelumnya.
Eni Saragih ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari pemegang saham BlackGold Natural Resource (BNR), Johanes Budisutrisno Kotjo. Politikus Golkar itu telah divonis 6 tahun penjara pada 1 Maret 2019. Tak dinyana, Sofyan yang telah dua kali menjalani pemeriksaan sebagai saksi di KPK pun juga ikut terseret.
Selasa siang (23/4/2019), komisi anti rasuah menetapkan Sofyan sebagai tersangka karena diduga menyuruh seorang direktur PLN untuk segera merealisasikan kerja sama antara PLN, BlackGold Natural Resources, dan China Huadian Engineering Company (CHEC) dalam menggarap PLTU Riau-1.
Perusahaan yang disebut terakhir adalah investor swasta yang diajak terlibat dalam konsorsium PLTU Riau-1 oleh BNR. Adapun anak usaha PLN yang tergabung dalam konsorsium tersebut adalah PT Pembangkitan Jawa-Bali dan PT PLN Batu Bara.
Hingga saat ini, belum ada keterangan jelas dari PLN soal kelanjutan proyek tersebut. SVP Hukum Korporat PLN Dedeng Hidayat hanya berkomentar singkat soal penetapan tersangka terhadap Sofyan itu.
“Dengan adanya kasus ini, PLN menjamin bahwa pelayanan terhadap masyarakat akan berjalan sebagaimana mestinya,” kata Dedeng melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (24/4/2019).
Rencana proyek pembangkit berkapasitas 300 Megawatt (MW) tersebut sebenarnya menuai pro dan kontra sejak awal. Sebab, di Sumatera saat ini jumlah daya listrik yang tersedia dianggap sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri.
Jika melihat data Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027, kata anggota jejaring Sumatera untuk Energi Bersih, Ali Akbar, daya listrik di Pulau Sumatera telah tersedia sebanyak 8.000 MW dengan daya terpakai sebesar 5.500 MW. Dengan kata lain, saat ini Sumatera mengalami kelebihan daya listrik atau surplus sebesar 2.500 MW.
Karena itu, Ali Akbar mempertanyakan rencana pemerintah untuk menambah kapasitas listrik di tengah kondisi surplus tersebut. Apalagi, tambahan itu bersumber dari batu bara.
“Indonesia tidak membutuhkan PLTU berbahan bakar batu bara sebagai sumber energi,” kata Ali Akbar.
Meski demikian, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi menilai pembangunan pembangkit yang diperkirakan menghabiskan dana senilai 900 juta dolar AS perlu diakselerasi penyelesaiannya.
Sebab, kata Fahmy, PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek listrik 35 ribu megawatt yang harus diselesaikan pada periode 2019-2020.
Ia mengatakan, memang ada kekhawatiran terjadinya kelebihan pasokan di wilayah Sumatera bila PLTU Riau-1 tersebut berdiri. Namun, Fahmy menilai bahwa tambahan suplai itu dibutuhkan untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk serta perkembangan industri di pulau Sumatera.
“Kalau pembangunannya baru dimulai bareng sama kawasan industri, justru terlambat. Ini juga untuk mendukung daya tarik investasi dan memenuhi kebutuhan industri itu,” kata Fahmy menjelaskan.
Dalam RUPTL 2018-2027, dijelaskan bahwa sistem tenaga listrik di Riau terdiri dari sistem interkoneksi dan isolates dengan beban puncak 794 MW. Sebagian listrik yang dinikmati pelanggan provinsi tersebut berasal dari Sistem Sumatera yang dialirkan melalui interkoneksi 150kV Riau (Sistem Riau).
Beban puncak pembangkit dari Sumatera mencapai 623MW dengan kapasitas pembangkit di Riau yang saat ini tercatat sebesar 783MW.
Namun, kebutuhan tenaga listrik di Provinsi Riau diperkirakan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang. Hal ini seiringan dengan pengembangan daerah industri pada beberapa kabupaten, seperti Kawasan Industri Datuk Laksamana, Pelintung, Lubuk Gaung hingga Pasir Putih.
Fahmy meminta masyarakat melihat lebih jauh pembangunan PLTU ini untuk kebutuhan industri ke depan.
“Kita melihatnya ke depan. Kalau misalnya Sumatera tidak butuh listrik sebanyak itu dan tidak dibangun, tapi saat ke depan industri tumbuh nanti tidak siap, malah makin susah,” ucap dia.
Terkait ini, reporter Tirto telah menghubungi Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana. Namun, hingga artikel ini ditulis, ia belum meresponsnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz