tirto.id - Venna sudah dikaruniai 2 anak laki-laki dari pernikahannya yang sudah kandas dengan Ivan Fadilla. Meski demikian, ia masih menyimpan sebuah keinginan untuk memiliki anak perempuan. “Ya Allah kepingin punya jodoh, juga punya anak perempuan,” begitu doa yang selalu dipanjatkan Puteri Indonesia 1994 yang kini berusia 42 tahun itu.
Doanya itu seolah terkabul, ketika pada 17 September 2016 membaca sebuah berita di media online. “Pagi-pagi saya baca berita di media online. Tidak tahu kenapa saya kok merasa ingin menemui bayi itu. Jadi spontan, mendadak dan saya langsung hubungi staf saya untuk mencari anak ini di mana,” katanya kepada Arbi Sumandoyo dari tirto.id, Selasa (6/12/2016).
Meski kemudian berhasil menemukan bayi perempuan tersebut, ternyata masih ada proses administrasi yang harus diselesaikan Venna agar bisa merawatnya. Bahkan dia harus terlebih dulu menunjukkan keseriusan kepada pihak Dinas Sosial agar diberi izin. “Saya sebetulnya tidak masuk kualifikasi itu,” katanya.
Kualifikasi seperti apa? Bagaimana kini proses adopsi terhadap Vania Athabina? Bagaimana pandangan Venna tentang bayi-bayi yang dibuang orang tuanya? Berikut wawancaranya:
Bisa diceritakan bagaimana awalnya Anda memutuskan mengadopsi bayi yang diberi nama Vania?
Kita di dalam agama tidak boleh bicara adopsi. Kita bicara memakai kalimat memuliakan dan memelihara. Buat saya, yang namanya memuliakan itu tidak pernah saya rencanakan. Itu terjadi sesuai dengan arahan Tuhan. Kan selama ini saya berdoa, “Ya Allah, kepingin punya jodoh, juga punya anak perempuan”. Tetapi merupakan suatu hadiah dari Tuhan, sesuatu hal yang berbeda. Jadi bukan dikasih jodoh laki-laki, tetapi langsung anaknya. Nah, hadiah itu Vania.
Saya awalnya juga tidak pernah merencanakan. Namun pada 17 September itu, pagi-pagi saya baca berita di media online. Tidak tahu kenapa saya kok merasa ingin menemui bayi itu. Jadi spontan, mendadak dan saya langsung hubungi staf saya untuk mencari anak ini di mana. Dan alhamdulillah, dalam waktu satu jam, kita bisa menemukannya di salah satu rumah sakit. Tetapi saya tidak bisa menemuinya hari itu juga karena masih di inkubator.
Tanggal 17 September baca berita dan saya baru bisa menemuinya 19 September, hari Senin. Saat itu, dia masih di inkubator dan saya sudah bawa baju, bawa susu, karena itu tadi, sudah arahan Tuhan sehingga tidak dibuat-buat. Saya yang tadinya cuma jenguk, tiba-tiba saya langsung memutuskan, saya mau memelihara anak ini hingga dia dewasa.
Apakah Anda melewati proses administrasi untuk mengadopsi anak?
Ya panjang, karena ini kan beda dengan orang yang punya niat (mengadopsi anak). Kalau saya kan beda. Seperti yang saya katakan, jalan Tuhan beda. Hati ingin menemui anak ini, tapi pada saat bertemu saya justru ingin memuliakannya.
Tetapi tidak semudah kita bicara, karena di sini ada kasus penelantaran oleh orang tuanya. Jadi saya juga harus berkoordinasi dengan Dinas Sosial. Kebetulan pada saat itu di Tangerang Selatan karena lokasinya di situ. Dan karena di bawah Dinas Sosial Provinsi Banten, ada tahapan-tahapan yang harus saya lalui. Jadi tidak mudah saya meyakinkan Dinas Sosial bahwa saya serius.
Proses panjang pastinya. Mereka meyakini saya merupakan orang serius dengan membuktikan dalam waktu tiga hari, saya bisa mengumpulkan administrasi yang banyak. Seperti Surat Kelakuan Baik dari Kepolisian, kemudian surat bebas narkoba, kemudian saya harus general check up. Kemudian saya harus tes psikologi. Kemudian saya harus kumpulkan surat-surat dari dokter kandungan yang menyatakan saya sehat.
Karena dianggap serius, saya bisa meyakinkan Dinas Sosial agar anak ini saya rawat dengan rekomendasi sementara, sampai menunggu ketetapan yang jatuh pada Maret tahun depan. Alhamdulillah, setelah Vania keluar dari inkubator, saya diberi kepercayaan untuk merawat anak itu.
Berarti sampai saat ini masih di bawah pemantauan Dinas Sosial Tangerang Selatan?
Betul, karena ada proses pidana di dalam situ. Orang tuanya dicari dan tidak ketemu. Makanya anak itu saya namakan Vania Athabina. Vania artinya perempuan pintar dan Athabina adalah Karunia Allah Untukku. Sebab semua prosesnya tidak ada yang direncanakan dan alhamdulillah anak ini memang untuk saya.
Saya juga dipermudah oleh Allah untuk urusan, yang sebetulnya kata Dinas Sosial, saya tidak masuk kualifikasi mengadopsi bayi karena saya sudah pernah punya anak. Sedangkan orang tua asuh adalah orang tua yang tidak memiliki anak selama 10 tahun. Saya sebetulnya tidak masuk kualifikasi itu. Tetapi alhamdulillah, keseriusan dan kegigihan telah menjadikan saya satu-satunya orang dipercaya untuk merawat Vania. Saya mengantar surat itu sendiri dan tidak lewat siapa-siapa. Jadi saya tunjukkan keseriusan saya.
Anda saat ini juga sibuk sebagai wakil rakyat, bagaimana membagi waktu untuk mengurus Vania?
Sebenarnya kalau saya lihat, anak ini bukan hanya sekedar butuh susu, tetapi juga butuh kasih sayang. Maka dari itu, seperti sekarang, saya sambil kerja selalu memperhatikan dia. Termasuk juga soal vaksin. Semua saya ulang juga, saya screening semua. Dalam arti kata, saya ingin memastikan kesehatan anak ini betul-betul diperhatikan.
Jadi seperti sekarang, setelah divaksin saya bawa ke kantor kalau saya rapatnya hanya dua jam. Kalau lebih dari dua jam, saya titipkan kepada ibu saya. Jadi saya tidak pernah menitipkan kepada pengasuh untuk meyakinkan dan membuat saya tenang, bahwa anak ini dalam pantauan orang-orang yang bisa dipercaya. Itu satu poin.
Alhamdulillah sekarang Vania sehat. Dari berat awal 1,7 kilogram, sekarang beratnya sudah bertambah menjadi 5 kilogram. Dia juga merasakan kasih sayang dari satu keluarga. Tidak hanya anak saya. Ibu saya, keponakan-keponakan saya, semuanya sayang sama dia. Itu juga yang membuat Vania cepat besar, sehat dan pintar. Responnya bagus. Kalau soal waktu, kalau dia sudah bisa naik pesawat, mungkin saya ajak juga ke Dapil (Daerah Pemilihan) saya. Supaya tidak kehilangan momentum. Kasihan anak ini. Dia butuh kasih sayang yang tulus dari semuanya, selain susu.
Bagaimana respons keluarga ketika Anda memantapkan diri mengadopsi Vania, bukankah Dinas Sosial juga melihat faktor itu?
Sejak saya melihat berita di media, orang yang saya telepon pertama adalah ibu saya. Sejak saya pisah, orang yang saya hormati adalah ibu. Dan saya tanya, ternyata felling beliau tepat. Lucunya, waktu kita lihat berita, kita tidak melihat fotonya. Tetapi ibu saya seperti digerakkan hatinya, “Sudah kamu yang merawat saja”. Padahal kita belum lihat anak itu.
Ibu yang melahirkan saya saja sudah mengarahkan seperti itu, ya kan. Dan ternyata feeling seorang ibu itu benar. Begitu saya lihat Vania, saya sudah tidak lagi menunggu-nunggu. Langsung saya ngomong bahwa saya memeliharanya, dalam artian menjadi orang tuanya. Bagaimana caranya, saya akan lakukan semua itu. Apalagi anak, saya sudah tidak sempat cerita. Pokoknya saya ngomong dulu, saya urus dulu administrasi, sampai mereka tahu dan tanda tangan surat persetujuan.
Karena saya tidak ada suami, pihak yang harus setuju adalah ibu dan anak-anak. Jadi ibu saya sudah setuju. Apa yang saya buat adalah hal yang positif. Percaya atau tidak percaya, Vania itu malaikat. Anak-anak saya yang dulu jauh, yang dulu beda perlakuan, sekarang berubah 180 derajat sejak adanya Vania. Itu namanya jalan Tuhan. Sekali lagi saya bilang, Vania itu bukan sekedar saya rawat, tetapi membawa kebahagiaan untuk keluarga saya. Itulah kalau kita tulus. Ketemunya juga seperti dipertemukan Tuhan. Yang terjadi adalah kebahagiaan.
Bagaimana pandangan Anda sebagai anggota dewan tentang anak-anak yang dibuang orang tuanya?
Itulah fenomena yang terjadi di negara kita. Generasi muda tidak tahu alat reproduksinya sendiri. Mereka tidak mengerti antara perempuan dan laki-laki dewasa yang sudah akil balig bisa menyebabkan kehamilan. Pada saat mereka menghadapi kehamilan itu, mereka tidak tahu dan mungkin kebablasan. Akhirnya mencari jalan pintas dengan cara yang seperti itu.
Ini kan sulit buat membuktikan. Kadang bisa ketemu orang tuanya, kadang juga tidak bisa ketemu dengan orang tuanya. Tapi saya rasa hal itu akan menghantui seumur hidup. Nah itu yang sebetulnya, hukuman paling berat bagi orang tua yang melakukan hal itu.
Kebetulan saya juga punya anak-anak yang ABG. Saya selalu bilang, hati-hati dalam bergaul supaya tidak mengakibatkan dosa selanjutnya. Ini harus menjadi perhatian kita semua. Sosialiasi tentang alat reproduksi kepada anak-anak muda. Sebab banyak hal yang mempengaruhi, seperti tontonan, internet dan pergaulan. Kembali bagaimana cara orang tua mendidik dan bagaimana pembelajaran alat reproduksi dan agama.
Perlu dikasih pembelajaran agama bahwa itu dosa besar dan sangat merugikan. Di situ orang tua paling berperan. Kalau orang tuanya kurang perhatian, atau mungkin orang tuanya kurang lebih hidupnya sama, bagaimana anak bisa belajar lebih patuh? Ya kembalinya memang orang tua memiliki peranan.
Sebagai anggota Komisi X DPR, apakah ada upaya mendorong pemerintah melakukan sosialisasi lebih gencar?
Sebetulnya bisa digerakkan dari berbagai komisi. Kalau di luar negeri, sex education sudah menjadi perhatian. Tetapi kalau di Indonesia memang belum ada ekstrakurikuler sex education. Mungkin agak tabu karena kita normanya ketimuran.
Tetapi sebetulnya dalam pelajaran biologi, mungkin secara spesifik tidak mengajarakan efek akibat dari berhubungan antara laki-laki dan perempuan seperti apa? Sanksi sosialnya seperti apa? Bagaimana mengalihkan keinginan-keinginan biologis pada saat mereka di usia seperti itu? Secara psikologis dan biologis memang harus ada sosialiasi seperti di sekolah. Tetapi itu kan tidak menjadi standar atau regulasi khusus yang ada di sekolah.
Sama seperti antikekerasan. Kan tidak semua sekolah melakukan karena tidak ada regulasi khusus. Kecuali kita mau buat regulasi khusus tentang sosialisasi alat reproduksi, bagaimana sebab dan akibat, efek psikologisnya dan lain sebagainya.
Saya rasa kita ada rencana revisi Undang-Undang Pendidikan Nomor 23 tahun 2002. Revisi itu bisa dimasukkan beberapa hal yang intinya regulasi khusus yang ada di setiap sekolah, sehingga mereka menyosialisasikan itu bersama. Karena memang yang pegang regulasi itu sekolah. Juga keterlibatan orang tua. Kita memang harus ada gerakan nasional soal itu tadi.
Apa upaya Anda mendorong pemerintah agar kasus-kasus pembuangan bayi tidak lagi terulang?
Kalau mau, kita buat suatu gerakan nasional antarkementerian. Melibatkan BKKBN, Kemensos, Kemenkes, Kemendikbud dan Kementerian PPA. Nah, koordinasi antarkementerian itu jangan ego sektoral.
Sebab masalah ini kompleks karena pendidikan yang kurang. Sosialisasi di kota-kota besar yang pendidikannya mumpuni lebih mudah. Tapi bagaimana pedesaan yang punya kebiasaan nikah muda, angka kematiannya tinggi, bisa jadi buta aksara, belum yang kita tahu diperkosa, atau mengalami bullying kemudian mengalami kehamilan. Banyak faktor dan bukan hanya seks bebas. Juga kasus-kasus penelantaran bayi.
Makanya sosialisasi menjadi penting. Kalau mau, antarkementerian berkoordinasi. Bagaimana caranya, saya rasa kalau DPR mau serius harus bikin pansus. Pansus tentang bagaimana kesejahteraan anak-anak dari berbagai macam hal. Mulai dari pendidikan, hak dalam mendapatkan kesehatan, hak dalam arti kata mendapatkan kesetaraan, korban kekerasan harus ke mana, SOP bagaimana? Ini masih menjadi bagian yang tabu. Kalau mau ada Satgas, ada Pansus, ada Gerakan Nasional yang urgent.
Fenomena ini seperti gunung es. Kasusnya ramai dan hilang lagi. Nanti muncul lagi. Tetapi tidak pernah menjadi sesuatu hal yang urgent. Makanya media juga harus memberikan kontrol sosial dari segala isu yang terjadi di republik ini. Peran media juga, bagaimana berita korupsi dan berita yang menyangkut hak hidup anak-anak bisa seimbang dan menjadi perhatian bagi DPR.
Apa kesan Anda soal mereka yang sengaja membuang anak ketika dilahirkan dan kini berada di Panti Sosial?
Biasanya faktor ekonomi berpengaruh, selain faktor pendidikan yang masih kurang. Saya pernah menemukan satu RT yang kerjanya produksi anak dan kemudian disuruh menjadi anak jalanan. Kita temui banyak sekali kasus itu. Kita seharusnya merencanakan dalam hal punya anak. Bukan sekadar memotivasi mereka mencari uang. Memang di Jakarta ini, anak-anak di jalanan lebih cepat dapat uang.
Kebetulan saya di Komisi X, sehingga menjadi pemerhati anak-anak jalanan atau anak-anak marjinal. Mungkin mereka menjadi korban. Tetapi akhirnya justru mereka menjadi korban human trafficking dan children trafficking untuk menjadi tulang punggung cari uang. Itu yang survive. Jadi kompleks ya. Makanya saya bilang, kita punya banyak kementerian dan alokasinya musti tepat sasaran.
Kemudian DPR dengan 560 anggota harus punya concern terhadap isu-isu yang tinggi soal gender. Ini kan termasuk gender, anak-anak dan balita. Saya percaya, perempuan-perempuan di parlemen akan memperjuangkan itu. Bahkan bukan hanya perempuan. Saya rasa siapa pun yang menjadi anggota DPR, kalau melihat situasi yang sudah sangat darurat seperti ini pasti memberi perhatian. Banyak faktor yang harus diselesaikan secara bersama-sama.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti