tirto.id - Pagi itu, Ariel Maulana terus membolak-balikkan tubuhnya di sepetak kasur berukuran 1 x 1,5 meter. Kulitnya dari kaki sampai kepala belang-belang karena sebagian mengelupas karena penyakit kulit. Ariel baru tersenyum saat Mujiono, Satpel Pembinaan Sosial PSAA Balita Tunas Bangsa memanggilnya dengan sebutan Si Ganteng.
Ariel adalah anak seorang pengamen. Ibunya selalu membawanya saat mengamen. Suatu ketika, ada razia Satpol PP. “Ibunya kabur, anaknya ditinggal begitu saja,” kata Mujiono kepada tirto.id, Senin (28/11/2016).
Bayi-bayi dan balita yang ada di panti asuhan datang dari beragam latar belakang. Ada yang “dititipkan” karena faktor ekonomi, keluarga yang tidak harmonis, kehamilan yang tidak diinginkan, ataupun karena kedua orang tuanya meninggal dunia.
“Anak yang dibuang di jalanan, anak yang tinggal di rumah sakit, ibunya mengalami gangguan kejiwaan, atau menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. ada anak kami yang kemarin di buang di Pasar Rebo, ada juga yang dibuang di dalam dus aqua,” ujar Vivi Kafilatul Jannah, Kepala Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Balita Tunas Bangsa kepada tirto.id, Senin (28/11/2016).
Setiap bayi yang ditemukan terlantar akan dipublikasikan melalui berbagai media. Hal tersebut berupa infomasi awal bahwa telah ditemukan bayi di lokasi dan kondisi seperti apa. Selepas tiga kali pengumuman tersebut tak membuahkan hasil, maka pihak panti akan mengambil alih pengasuhan anak tersebut.
Namun, jika ada jejak orang tua kandung, maka pihak panti akan terlebih dahulu menelusuri keberadaannya. Jika akhirnya orang tua kandung ditemukan dan mereka tetap tidak mau mengasuh anaknya, maka kedua orang tua itu harus membuat surat pernyataan secara tertulis di atas materai dengan disaksikan dari RT, RW, dan pihak keluarganya. Surat tersebut menjadi bukti bahwa orang tua kandung menyerahkan sepenuhnya bayi itu pada pihak Panti untuk dicarikan orang tua pengganti.
Jika identitas keluarga dan anak yang ditelantarkan tak kunjung didapati, pihak panti terpaksa memberikannya nama. Nama tersebut disesuaikan dengan agama anak asuh. Jika kesulitan mencari tahu apa agama anak tersebut, maka disesuaikan dengan agama mayoritas tempat anak itu ditelantarkan.
Vivi mengungkapkan, kebanyakan anak asuhnya yang sudah dipindahkan ke panti lain datang kembali ketika akan menikah. Mereka mencari tahu di mana dulu ditemukan, bagaimana latar belakang kehidupannya, siapa orang tuanya, dan sebagainya.
“Biasanya kalau dia mau menikah, mau cari orang tua kandung. Apapun kondisi orang tua kandung tidak masalah. Kita carikan arsipnya. Ternyata anak dibuang, mereka harus legowo. Dari Belanda pernah datang ke kita,” ujarnya.
PSAA Balita Tunas Bangsa yang terletak di Cipayung, Jakarta Timur kini menampung anak usia 1 hingga 6 tahun dari beragam latar belakang. Saat ini Panti tersebut memiliki 100 anak asuh. Bulan Oktober lalu berjumlah 102. Di bulan sebelumnya hanya berjumlah 97 penghuni anak.
Kondisi anak-anak di PSAA Balita Tunas itu sangat beragam. Ada Jihan, bocah berumur 2 tahun yang menderita microsefalus. Ada pula anak yang mengidap HIV dan sudah 8 bulan lebih melakukan pengobatan intensif. Selain itu, balita tunanetra berusia 2 dan 3 tahun. Mereka akan kesulitan mendapatkan orang tua pengganti, sebab sejauh ini tak ada orang tua yang mengadopsi hanya berdasarkan jiwa sosial yang tinggi.
Adopsi Bayi
Sebagian anak panti dipindahkan ke panti lain setelah beranjak dewasa. Itu dilakukan jika memang tidak ada keluarga yang mengadopsi bayi di panti. Untuk adopsi anak, pihak panti telah menetapkan prosedur berlapis dan panjang. Keluarga Calon Oran Tua Asuh (COTA), harus memiliki penghasilan yang tinggi perbulannya.
“Kita menggunakan standar minimal 8 juta perbulannya (Slip gaji COTA). Bagaimanapun harus terpenuhi untuk anak ini,” jelas Vivi.
Terkait prosedur adopsi memang mengacu pada berbagai perundang-undangan yang ada. Beberapa di antaranya yaitu Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110 tahun 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Pertama yang harus dipastikan ialah anak tersebut aman. Dalam artian tidak ada orang tua kandung yang akan mengambilnya kembali. Jarak aman tersebut menurut Vivi sepanjang 3 bulan. Di sisi lain keluarga yang ingin mengadopsi anak Panti, harusnya maksimal hanya memiliki 1 anak di keluarganya. Jika dia sudah memiliki anak lebih dari 1 maka tak diperkenankan melakukan adopsi.
Setelah datang ke Panti untuk menanyakan prosedur adopsi, COTA bisa melihat-lihat kondisi seluruh bayi dan balita yang ada. Dia dibebaskan mencari-cari mana bayi atau balita yang klik dengan hatinya. Setelah merasa nyaman dengan bayi tertentu, akan dijelaskan terlebih dahulu bagaimana latar belakang kehidupan bayi tersebut.
Menurut Vivi, sejauh ini tak ada COTA yang datang mengadopsi hanya berdasarkan jiwa sosial. Seluruhnya justru memiliki latar belakang susah mendapatkan keturunan. Oleh akrena itu COTA harus sudah menikah minimal 5 tahun dan memiliki usia 35 hingga 55 tahun.
“Dia harus seagama dengan anak. Kenapa dia tidak memiliki anak, harus dilengkapi surat keterangan dokter kandungan. Dilengkapi keterangan psikiatri juga,” jelasnya.
Setelah tidak ada masalah dengan hasil tes psikologi, barulah berbagai persyaratan administratif dipenuhi. COTA harus mengajukan permohonan adopsi kepada kepala Dinas Sosial, mengurus SKCK, dan akte kelahiran.
Kemudian pihak Panti akan melakukan survei kunjungan awal ke kediaman COTA. Akan dipastikan terlebih dahulu bagaimana kelayakan rumah COTA. Pihak Panti akan menolak jika COTA tinggal di daerah padat. Sebab kondisi lingkungan akan mempengaruhi kelayakan hidup anak yang diadopsi dalam jangka panjang.
“Benar enggak dia punya rumah pribadi, harus ditunjukkan dengan sertifikat tanah,” tuturnya.
Lapis pertama telah dilewati, COTA bisa membawa pulang anak asuhnya. Mereka akan diberikan rentang waktu pengasuhan secara sementara selama 6 bulan.
Lalu dilakukan survei kedua guna melakukan wawancara mendalam. Dalam pertemuan tersebut COTA harus melibatkan keluarga besarnya. Sebab akan dimintai kesediaan untuk memberikan hak waris sepertiga kekayaan kepada anak adopsi. Keluarga besarnya akan menjadi saksi. Bilamana COTA meninggal yang berkewajiban melanjutkan perjanjian tersebut ialah keluarga besarnya.
Selain itu, akan ditinjau kondisi anak asuh yang sudah dirawat sepanjang 6 bulan. Jika ada masalah dalam perawatan, kita berhak mengambil kembali. Mekanismenya akan dibuatkan terlebih dahulu berita acara yang mengatakan jika terjadi sesuatu, misalnya anak ini ditelantarkan, dieksploitasi, dan sebagainya.
Namun, jika dalam kunjungan kedua tak didapati masalah, pihak Panti akan melakukan sidang internal. Sidang tersebut akan digelar oleh Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (PIPA). Beberapa instansi dan lembaga yang terlibat di antaranya Biro Kesejahteraan Sosial Setda Provinsi DKI Jakarta, Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kanwil Agama, Kepolisian, KPAI, dan rumah sakit wilayah.
“Kami sangat ketat sekali untuk proses persyaratan, jadi kita tidak main-main. Bagaimanapun juga kita menitipkan anak kami untuk diberikan yang terbaik untuk kesejahteraan masa depannya,” tegasnya.
Setelah sidang Tim PIPA, direkomendasikan bahwa bisa diproses lebih lanjut kepada pengadilan. Tim PIPA mengajukan kepada Dinas Sosial untuk berkirim surat ke pengadilan negeri guna menggelar sidang penetapan pengadilan bagi COTA.
Jika nantinya anak asuh sudah berumur dewasa, COTA wajib memberitahu bahwa anak tersebut tak ada hubungan darah dengannya. Harus dijelaskan pula bagaimana latar belakang anak tersebut sebelum diasuh oleh Panti.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti