tirto.id - “Om lihat om, lihat om ada selangnya,” kata Muhammad Nurseha (10), merayu agar lawan bicara memastikan bahwa yang menjalar di lehernya bukan urat nadi, tapi selang yang ditanam di balik kulit.
Dia juga menunjukkan di tempurung kepalanya ada lingkaran sebesar bola tenis. Lingkaran itu bekas irisan operasi hidrosefalus. Ibu dari Nurseha, yang akrab dipanggil Otong, telah meninggal karena serangan penyakit jantung. Ketika ayahnya menikah dengan perempuan lain, Otong diserahkan kepada neneknya. Setelah nenek meninggal, Otong berusaha menghidupi diri dengan menjadi pemulung. Dia tinggal di sebuah gubuk kecil di Penggilingan Cakung, Jakarta Timur.
Kisah hidup Otong tersebar secara viral di media sosial. Banyak orang yang iba setelah ada netizen mengunggah kisahnya di media sosial. Ia akhirnya ditampung di PSAA Putra Utama.
“Om aku ini terkenal om,” katanya diiringi tawa.
Bocah kecil berbadan kekar itu bernasib sama dengan Adul, anak panti yang lain. Bedanya, pengurus Panti tahu bahwa Adul dioperasi karena hidrosefalus, sedangkan Nurseha datang ke panti dalam kondisi sudah dioperasi. Adul hingga kini masih secara rutin kontrol ke Poli Bedah Saraf dan Estetika Kecantikan di RSCM karena ada pembengkakan di bawah kedua matanya setelah operasi.
Ada pula Salma yang ususnya terserang gumpalan bakteri, sehingga harus dipotong. Ada lubang sebesar diameter bolpoin di perutnya. Lubang itu menjadi pembuangan dari usus, menggantikan fungsi anus untuk sementara. Tangannya secara bergantian menampung kotoran yang terbuang dari lubang tersebut dengan plastik pemberian dokter.
“Untuk menyambungkan, nunggu umurnya 2 tahun agar panjangan sedikit (ususnya) baru bisa nyambung. Ususnya tidak sampai ke anus. Dia sering pegang plastiknya. Kalau dia ngerti ada pembuangan, dia tunggu. Jangan sampai bocor karena baunya gak sedap, gak enak kalau kecium teman-temannya,” ungkap Purwanto, pendamping Panti kepada Tirto.id, Rabu (30/11/2016).
Otong, Adul, Salma adalah bagian dari 158 anak Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Putra Utama I, Klender, Jakarta Timur. Panti ini menampung anak-anak usia 6 tahun hingga 10 tahun. Sebanyak 23 persen anak asuhan perempuan, sedangkan 84 persen sisanya laki-laki.
Berdasarkan data milik PSAA Putra Utama I Klender, ada beragam latar belakang anak yang menjadi penghuni. Ada anak negara peralihan dari Panti lain sebesar 42 persen, anak terlantar sebanyak 44 persen, berasal dari keluarga yang retak 18 persen, anak yatim piatu 11 persen, dan anak dari keluarga miskin 15 persen.
Sebagian dari mereka dilimpahkan dari Panti Sosial Asuhan (PSA) Balita Tunas Bangsa Cipayung, Jakarta Timur. Ada pula orang tua yang berdomisili di Jakarta menitipkan anaknya. Sedangkan sebagian lainnya, berasal dari hasil razia yang tak bergantung daerah asal. Meski dari luar Jakarta tetap bisa ditampung.
Panti ini juga menjadi tempat penampungan sementara anak-anak yang hilang. Misalnya Eno (8) yang masuk ke Panti pada Jumat (25/11/2016). Orang tuanya menjemput pada 3 Desember 2016.
Jika ada penghuni baru, akan terlebih dulu ditanya bagaimana perjalanan hidup dan apakah tahu latar belakang orang tua kandungnya. Jika tidak tahu, maka akan dibuatkan akta kelahiran. Nama orang tua yang tertera di akta kelahiran ialah pengurus yang tinggal di area Panti. Sebab jika ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, misalnya sakit, mereka bisa cekatan menangani problem anak asuhnya.
“Kalau orang tuanya masih di Jakarta, kita cari. Siapa tahu berubah pikiran. Waktu saya di Duren Sawit itu kita berhasil mulangin 3 anak,” tuturnya.
Panti ini secara rutin merawat anak binaannya dengan mengoleskan salep kulit, abotil bagi yang sariawan, menyuapi madu, mengobati kutu rambut, potong rambut dan kuku, hingga memberikan motivasi atau pendampingan psikologis.
Panti asuhan ini juga mendampingi anak-anak yang harus dirawat di rumah sakit. Dwi Atini, Kasubbag Tata Usaha PSAA Putra Utama I, menjelaskan, setiap anak yang tergabung di Panti itu akan dibantu untuk mengurus BPJS.
BPJS penting untuk memastikan anak-anak itu tetap mendapatkan perawatan dari rumah sakit dengan baik. Misalnya Ramin, salah satu anak panti yang sudah satu bulan lebih dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo karena menderita kelainan jantung.
“Itu dulu sudah operasi pertama, namanya Ramin. Dipasang kateter, sekarang harus ganti,” kata Dwi kepada tirto.id, Rabu (30/11/2016).
Beberapa petugas Panti secara bergantian menunggu dan merawat Ramin. Masing-masing dari mereka menganggap Ramin sebagai bagian dari keluarga besarnya, meski tak ada hubungan darah.
Menjadi Terpelajar
Selain memastikan anak-anak panti mendapatkan perawatan kesehatan, panti ini juga memastikan pendidikan bagi anak-anak asuhnya. Jika pendidikan formal tidak bisa dijalankan, maka panti akan mengupayakan pendidikan nonformal. Misalnya untuk Daus (13).
Dulu Daus menjadi penghuni Panti ini. Namun ketika akan menjadi siswa SMP, dia dipindahkan ke Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Putra Utama IV Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Daus kini menanti ibunya selesai mengurus persyaratan untuk bersekolah di SMP Cipta Dharma.
“Ini mau ngambil rapot. Daus mau masuk SMP kelas 1. Dulu di sini sekolah paket A, ini mau meneruskan ke SMP swasta,” ungkap ibu Daus yang ditemui di ruang tunggu PSAA Putra Utama I.
Dwi Atini menjelaskan bahwa Daus dulu tak pernah bersekolah secara formal. Maka pihak Panti menyekolahkannya secara nonformal untuk mendapat rapot. Hal tersebut lantaran Daus dulu anak Panti hasil razia.
“Kalau kita dapat hasil razia tanpa basic pendidikan, masuknya (disekolahkan) ke Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat. Sekolah tapi kayak kursus, paket A, B, C. Kayak home schooling tapi kitanya yang ke sana,” tutur Dwi.
Dia juga mengungkapkan bahwa tempat anak Panti bersekolah tergantung kapasitas masing-masing. Jika nilainya bagus, maka akan disekolahkan di sekolah negeri. Sekolah pilihan negeri ialah SD Negeri Klender 14, 15, 16, 20, dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri. Sedangkan sekolah swasta yang menjadi rujukan ialah SD Islam Assa'adah dan SD Az-Ziyadah.
PSAA memberikan fasilitas biaya sekolah, perlengkapan sekolah, dan transportasi sekolah. Jika penghuni Panti terpaksa harus bersekolah di swasta, maka akan dibuatkan kerjasama dengan sekolah tersebut agar siswa Panti tak dikenakan biaya. Tapi menurut Dwi, sebagian besar penghuni Panti justru menjadi siswa di sekolah swasta.
Namun, jika anak tersebut diserahkan ke Panti sebelum tahun ajaran baru sekolah dasar, anak tersebut terpaksa tak bisa bersekolah dulu. Tapi tetap bisa menikmati fasilitas Panti berupa belajar marawis, agama, baca doa dan sholat bersama, belajar ceramah, baca tulis dan hitung, komputer, vokal, senam dan kerja bakti.
“Otomatis statusnya waiting list. Gak mungkin ujug-ujug disekolahkan. Tunggu ajaran baru tahun depan,” ucapnya.
Hingga saat ini ada 37 anak belum bisa sekolah, 108 anak yang bersekolah di SD Negeri maupun Madrasah Ibtidaiyah, 11 anak belajar di PKBM, dan 2 anak menempuh pendidikan di SLB.
Diambil Lagi Orang Tua
Anak-anak di panti ini memang mendapatkan pendidikan dan perawatan. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat anak-anak itu betah. Dwi mengakui bahwa sebagian besar anak-anak Panti justru tak kerasan. Apalagi mereka yang sudah hidup lama di jalanan.
“Mereka banyak sekali yang keluar-masuk. Datang lalu kabur, enggak betah. Mereka kan sudah biasa hidup bebas,” ungkapnya.
Ada pula anak-anak yang diambil oleh orang tuanya lagi secara diam-diam. Pertengahan tahun 2015 silam, misalnya, Yosi berangkat ke sekolah namun tak kunjung kembali ke panti. Setelah ditelusuri, petugas Panti mendapatkan informasi bahwa Yosi dibawa seorang seorang laki-laki berbadan besar.
Hingga akhirnya pada bulan lalu, Yosi datang kembali ke Panti. Dia kembali setelah terkena razia untuk kedua kalinya. Tapi saat ditanya, Yosi mengaku lebih bahagia tinggal di panti daripada kembali ke jalanan.
“Orang tuanya maksa. Dulu (Yosi) sempat diculik, dibawa pulang, disuruh ngamen. Anaknya enggak mau, kabur lagi, tapi ketangkep (razia),” beber Dwi Atini.
Sedangkan ibunda Yosi, yaitu Yana Radika, mengaku telah menikah lagi. Pagi hari pada Rabu (30/11/2016), dia datang ke Panti. Yana ingin mengambil kembali anaknya untuk dibawa ke Yogyakarta.
“Kita bilang gak bisa. Kalau mau dibawa ke Yogya, cari dulu sekolah di Yogya. Nanti kita uruskan pindah sekolah di Yogyakarta,” tegasnya.
Memang panti tersebut memiliki fasilitas yang lebih dari cukup. Ada 20 kamar yang terpisah antara anak putra dan putri. Setiap kamar terdiri dari 6 anak hingga 9 anak. Masing-masing kamar terdapat satu petugas yang setiap hari mendampingi anak-anak tersebut. Di setiap kamar terdapat satu lemari besar. Kasurnya empuk dan bertingkat. Tersedia satu AC dan kipas angin.
Di panti, anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya tersebut mendapatkan pengasuhan yang baik. Pendidikan, kesehatan, semuanya ditanggung oleh negara. Anak-anak itu diasuh hingga akhirnya ada keluarga yang mengadopsi. Jika tidak, mereka akan pindah dari satu panti ke panti lain yang memang dikhususkan untuk yang lebih dewasa. Dengan pengasuhan yang baik, diharapkan nantinya anak-anak itu memiliki masa depan yang lebih baik.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti