tirto.id - Dua puluh tiga tahun yang lalu, Purwanto adalah bocah kecil yang diterlantarkan di emperan toko. Ia kemudian dibawa ke panti asuhan. Di sana, Purwanto dirawat dengan baik dan tetap bisa sekolah. Ia tak pernah tahu siapa orang tuanya.
“Dulu saya kira orang-orang yang ada di Panti, semua itu orang tua saya,” ungkap Purwanto (26) kepada Tirto.id.
“Saya enggak tahu ayah itu artinya apaan,” katanya.
Purwanto baru menyadari ada yang “salah” dengan orang tuanya ketika duduk di bangku sekolah menengah. Ketika itu, Purwanto di bawah asuhan Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Putra Utama IV Ceger, Cipayung, Jakarta Timur.
Suatu ketika saat hendak berangkat sekolah ke SMP PGRI 9 Cipayung, Jakarta Timur, ia mendengar pembicaraan antara seorang ibu dengan anak perempuannya. Sependengaran Purwanto, mereka terlihat bahagia merencanakan destinasi liburan bersama keluarganya.
“Oh berarti saya juga punya orang tua kandung dong?” pertanyaan yang membuncah dalam hati Purwanto.
“Ternyata setiap orang punya orang tua kandung. Tapi saya tidak tahu di mana orang tua kandung saya berada,” ucapnya.
Selepas peristiwa itu, kepercayaan dirinya runtuh. Sepulang sekolah, dia lebih sering menyendiri. Purwanto kerap melamun dan susah tidur. Hidupnya dihantui ketakutan soal asal usul dirinya.
“Saya langsung sakit parah. Mungkin mental saya drop karena terlalu berat memikirkan orang tua. Saya dibawa ke rumah sakit. Itu sekitar 3 bulan saya sakit,” ujarnya.
Rekan dan petugas Panti berulangkali menghibur dan memberinya motivasi. Salah satu seniornya di Panti memberikannya gitar. Setiap dia mengingat orang tua, dia lampiaskan pada gitar. Purwanto jadi lebih sering membaca buku, salat, dan bermain alat musik.
Identitas keluarga kandung Purwanto mulai terkuak saat dia melanjutkan sekolah ke SMKN 28 Cilandak, Jakarta Selatan. Purwanto akhirnya mendapatkan informasi bahwa ia diboyong ke Panti Sosial Asuhan (PSA) Balita Tunas Bangsa Cipayung, Jakarta Timur pada tahun 1993, ketika usianya baru 3 tahun. Panti tersebut saat ini menampung sebanyak 100 anak usia 1 bulan hingga 6 tahun.
“Saya tahunya setelah beranjak dari panti ke panti. Ternyata saya ditemukan di daerah Jakarta Barat, di emperan-emperan jalan,” katanya sambil menunduk.
Dengan melihat data awal di panti asuhan pertamanya, Purwanto bisa saja menelusuri keberadaan orang tuanya. Namun, Purwanto mengaku belum siap untuk secara serius menelusuri keberadaan orang tua kandungnya.
“Saya takut kecewa. Saya takut kalau ketemu justru malah kecewa. Saya belum siap. Belum ketemu saja saya bisa sakit, apalagi kalau saya ketemu orang tua kandung. Saya takut itu. Mungkin nanti menjelang mau menikah,” tuturnya terbata-bata.
Mengabdi ke Panti
Purwanto tak pernah mengenal orang tuanya. Namun, hal itu tidak membuatnya patah semangat. Ia tetap melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Purwanto lolos masuk ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ) melalui jalur SNMPTN. Sayangnya, ia tidak bisa mendapatkan beasiswa di awal semester. Beruntung, Purwanto memiliki sedikit tabungan dari hasil bekerja sebagai tukang fotokopi. Namun, bantuan terbesar justru diperolehnya dari petugas panti yang mengupayakan bantuan untuk membayar uang kuliah semester awal.
“Ada beberapa petugas akhirnya mencari dana bantuan CSR. Dia banyak link, saya tidak tahu dari mana saja. Itu untuk menutupi biaya saya. Kemudian di semester II saya baru dapat beasiswa,” ungkapnya.
Semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, semakin berkobar setelah meminta saran para petugas dan beberapa mahasiswa yang praktik di Panti. Purwanto juga beruntung, PSAA Putra Utama IV Ceger berinisiasi untuk membuka jaringan kerja sama dengan beberapa kampus. Panti tersebut juga memberikan fasilitas berupa biaya tranportasi dan perpanjangan masa tinggal.
“Saya merasa di-support. Petugas itu harusnya kerja sampai jam 4 karena PNS. Mereka pulangnya sampai malam karena simpatinya pada anak-anak yang mau daftar kuliah,” kenangnya.
Kini, sembari menyelesaikan karya ilmiahnya, Purwanto mengurus anak-anak panti. Selain bekerja, lebih dari 9 bulan sudah waktunya dihabiskan duduk di sebuah kursi hitam dalam Ruang Informasi PSAA Putra Utama I Klender, Jakarta Timur. Di hadapan komputer inventaris kantor, dia berupaya merampungkan skripsi. Karena moratorium Pegawai Negeri Sipil (PNS), dia hanya menjadi tenaga honorer di panti tersebut. Meski demikian, Purwanto sudah berhasil membeli sebuah motor bebek dari hasil jerih payahnya.
PSAA Putra Utama IV Ceger memang menjadi panti persinggahan terakhir bagi setiap penghuninya sebelum benar-benar terjun ke masyarakat. Jika tak melanjutkan kuliah atau mengabdikan diri pada panti, maka harus siap mandiri hidup di luar. Purwanto terhitung orang yang beruntung dibandingkan rekan-rekannya di panti.
“Banyak yang enggak diketahui ke mana. Biasanya gelandangan, ada yang balik lagi jadi tukang koran,” ujarnya.
Purwanto pun sempat menginisasi pembentukan sebuah komunitas kecil berisi anak-anak panti yang akan dilepas ke masyarakat. Tujuannya agar bisa saling berkabar. Agendanya berupa diskusi kecil, monitoring, dan pertemuan santai. Namun kominitas tersebut tak mampu menjangkau semua anak lintas Panti yang khususnya bingung mencari orang tua kandung.
“Mereka yang sudah lepas susah ditelusuri, panti saja susah mencari apalagi saya,” tuturnya.
Dari Panti ke Panti
Purwanto harus berpindah-pindah panti karena memang panti di Jakarta dipilah-pilah, salah satunya berdasarkan usia. Misalnya yang dialami Purwanto, ketika masih balita hingga SD, ia menjadi penghuni Panti Sosial Asuhan (PSA) Balita Tunas Bangsa Cipayung. Saat ini panti tersebut memiliki 100 anak asuh. Mereka ialah anak yang tak diharapkan kelahirannya oleh orang tua kandungnya sendiri.
Memasuki bangku SMP, ia pindah panti ke PSAA Putra Utama IV. Panti yang menampung anak usia SMP hingga SMA atau SMK ini merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta. Panti tersebut memiliki penghuni sedari berumur 12 hingga 22 tahun. Saat ini, panti tersebut menampung 94 anak laki-laki. Rinciannya anak menempuh pendidikan SMP sebanyak 22 anak, SMA 66 anak, dan kuliah 6 anak.
“Mau gimana lagi, saya harus siap hidup berpindah dari panti ke panti,” kata Purwanto.
Panti juga dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Misalnya PSAA Putra Utama III di Tebet Barat Raya, Jakarta Selatan yang dikhususkan untuk anak perempuan. Saat ini, panti itu memiliki anak asuh sebanyak 100 remaja perempuan dari umur berumur 13 hingga 18 tahun atau tingkat SMP dan SMA. Latar belakang mereka beragam mulai dari yatim piatu hingga anak keluarga miskin.
“Isinya selalu overload. Bisa siapa saja masuk. Orang gila, gelandangan, lansia, anak jalanan, pengamen, PSK, banyak,” ungkap Dwi Atini, Kasubbag Tata Usaha PSAA Putra Utama kepada Tirto.id, Rabu (30/11/2016).
Dwi Atini, dulu bekerja di PSAA Putra Utama II Plumpang, Jakarta Utara. Isi panti itu awalnya anak perempuan dan laki-laki. Bagian bawah gedung merupakan ruang laki-laki, sedangkan ruang perempuan tepat di atasnya. Kisah percintaan di sana yang mirip sinetron memunculkan kebijakan baru untuk memisahkan panti remaja berdasarkan jenis kelamin.
“Nah di sana waktu itu, bandel. Sudah kayak di sinetron, turun pakai seprei dari lantai III,” tuturnya menjelaskan akhirnya Panti dipilah berdasarkan jenis kelamin juga.
Gejolak saling hantam di Panti Remaja begitu kuat. Penghuni Panti yang lebih senior kerap mengadu sesama juniornya menjadi bahan tontonan. Istilah Purwanto, biar terlatih bisa jaga diri kalau ada tindakan yang membahayakan di luar Panti. Namun makin hari, budaya kekerasan tersebut mulai pudar.
“Tapi kalau ada anak baru, mau tidak mau kami dekati. Semua di kita itu saudara,” tegasnya.
Sebelumnya, setiap anak dan orang tua terlantar ditampung di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya. Panti tersebut di tiga tempat secara terpisah yaitu Kebon Jeruk Jakarta Barat, Cipayung Jakarta Timur, dan Cengkareng Barat Jakarta Barat.
Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya hanya menampung maksimal selama 3 minggu. Setelah itu akan diseleksi, dicari tahu permasalahan masing-masing penghuni panti, lalu dipilah-pilah penempatannya.
“Misalkan orang gila yang ngemis lain dengan orang sehat, itu nanti akan masuk ke Panti Binas Laras Sentosa. Nanti dilihat gilanya sejauh mana, kalau sudah parah ada panti PSBL 1 di Cengkareng, kalau dia agak ringan di PSBL 2 Cipayung,” ucapnya.
Sejauh ini Dinas Sosial DKI Jakarta memiliki 27 Panti dengan fungsi beragam. Panti tersebut diperuntukkan bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta.
Dari data Dinsos DKI Jakarta ada Anak Balita Terlantar sejumlah 200 jiwa, Anak Terlantar 626 jiwa, Perempuan Rawan Sosial Ekonomi 5,581 jiwa, Lanjut Usia Terlantar 3,593 jiwa, Anak dengan Kedisabilitasan 778 jiwa, Penyandang Disabilitas 6,003 jiwa.
Selain itu ada pula Anak yang berhadapan dengan Hukum 8 jiwa, Anak yang memerlukan perlindungan khusus 235 jiwa, Anak Jalanan 787 jiwa, Korban Tindak Kekerasan 33, Pengemis 173 jiwa, Gelandangan 229, dan Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis 48.
Sedangkan berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial, Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Per Provinsi Tahun 2012 dipilah berdasarkan banyak hal. Di DKI Jakarta sendiri ada 7428 jiwa penyandang masalah kesejahteraan sosial, 1416 jiwa penyandang masalah kesejahteraan sosial anak nakal, 6500 jiwa penyandang masalah kesejahteraan sosial anak jalanan, 9244 penyandang masalah kesejahteraan sosial lanjut usia terlantar, 919 jiwa penyandang masalah kesejahteraan sosial pengemis, 1071 penyandang kesejahteraan sosial gelandangan, dam 955 bekas warga binaan lembaga kemasyarakatan.
Lihat foto selengkapnya di sini:
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti