tirto.id - Bulan Oktober baru berjalan selama sepekan, namun Maria Yasinta Dahu Atok (40) sudah pusing tujuh keliling. Sebabnya, ia harus mengurus transportasi 100 orang penyandang disabilitas yang akan divaksin dosis pertama Sinovac. Lokasi vaksinasi tersebut rencananya bakal diadakan di Panggung Tabisan Dekenat Malaka, Kota Betun, ibu kota Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.
Sinta, sapaan akrabnya, mengeluh perkara vaksinasi untuk penyandang disabilitas yang terkesan dipersulit. Sebab mereka yang akan divaksin harus berangkat dari kecamatan masing-masing ke ibu kota kabupaten—yang jaraknya tentu tak dekat.
“Padahal di tiap kecamatan itu ada puskesmas,” kata Sinta kepada Tirto lewat sambungan telepon, satu hari sebelum vaksinasi, 14 Oktober lalu.
Belum lagi Pemerintah Kabupaten tidak menyediakan layanan antar-jemput untuk para penyandang disabilitas ini dari rumah ke lokasi vaksinasi. Akhirnya, lanjut Sinta, ia bersama organisasinya, Perkumpulan Penyandang Disabilitas Malaka (PERSAMA), yang urus transportasi mereka.
Kondisinya jauh berbeda dengan Pulau Jawa, yang otoritasnya lebih proaktif untuk mengajak para penyandang disabilitas untuk mendapat vaksin dengan menyediakan bermacam fasilitas..
“Kalau untuk persiapan [transportasi vaksinasi], dari Pemda belum ada bantuan,” kata Sinta.
Dalam catatan PERSAMA, dari 12 kecamatan se-Kabupaten Malaka setidaknya ada 250 orang penyandang disabilitas. Hanya enam orang yang berada di usia remaja, sedangkan sisanya adalah orang dewasa. Namun, sebagai bagian dari kelompok rentan, tak ada prioritas vaksin untuk mereka. Mereka baru mendapat jatah vaksin 10 bulan setelah Presiden Joko Widodo diinjeksi pertama pada 13 Januari 2021.
Pada 24 Agustus lalu, Sinta mencoba mengirim surat ke Dinas Kesehatan Kabupaten Malaka untuk mendesak program vaksinasi bagi penyandang disabilitas. Pihak otoritas memang merespons, namun hampir tiap pekan Sinta selalu bertanya ulang sampai akhirnya waktu ditentukan 15 Oktober—itu pun hanya untuk 100 orang saja.
Di Nusa Tenggara Timur, angka vaksinasi untuk masyarakat umum dan masyarakat rentan masih sangat rendah. Per 16 Oktober, dosis satu baru 30,71 persen (738.733 jiwa) dan dosis kedua baru 13,46 persen (323.499 jiwa). Dari angka tersebut, publik tidak pernah tahu berapa angka penyandang disabilitas yang sudah divaksin dan berapa angka masyarakat umum yang telah divaksin—yang sebenarnya bisa jadi tidak terlalu rentan.
Angkanya sangat jauh jika dibandingkan vaksinasi untuk petugas publik, yang dalam konteks Indonesia cakupannya termasuk anggota legislatif, pejabat negara, hingga karyawan BUMD. Dosis pertama sudah menyentuh 110 persen (445.514 jiwa) dan dosis kedua sudah 78 persen (313.877 jiwa).
Jika mau melihat angka lebih spesifik lagi di Kabupaten Malaka, dosis satu masih mencapai 26.793 jiwa (19.69 persen dari target provinsi) dan dosis dua masih di angka 12.996 jiwa (9,5 persen dari target provinsi). Dari angka itu, kita tak tahu berapa jumlah masyarakat rentan—termasuk penyandang disabilitas—yang telah divaksin. Sebab tak ada penggolongannya.
Selain tak menjadi prioritas, Sinta menilai banyak penyandang disabilitas yang tak bisa mengakses vaksin karena pendamping atau keluarganya melarang. Ia menduga, hal tersebut bisa terjadi karena akses informasi yang kurang. Oleh karena itu, ia menilai Pemda seharusnya mau turun langsung melakukan edukasi terkait vaksinasi Covid-19.
“Masalahnya ada di pendampingnya. Penyandang disabilitas mau-mau saja, keluarganya yang enggak mau,” kata dia.
Penyandang Disabilitas Terpinggirkan?
Sejak awal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menganjurkan agar negara-negara yang memiliki keterbatasan akses vaksin untuk memprioritaskan beberapa jenis lapisan masyarakat awal-awal injeksi. Yang pertama adalah tenaga kesehatan, kedua adalah lansia, dan yang ketiga adalah masyarakat yang secara sosio-demografi termasuk kelompok rentan.
Yang terakhir termasuk: minoritas etnis, ras, gender, agama, seksual, warga disabilitas, kemiskinan akut, warga tak punya rumah, warga di wilayah kumuh dan padat, pekerja migran upah rendah, pengungsi, hingga mereka yang hidup di tengah konflik.
Data per 16 Oktober, total vaksinasi untuk dosis satu se-Indonesia sudah mencapai 51 persen, sedangkan untuk dosis dua masih di angka 29 persen. Untuk sektor Masyarakat Umum dan Rentan, dosis satu baru tercapai 60.001.269 jiwa (45 persen), dan dosis dua baru 29.543.473 jiwa (20 persen).
Pemerintah sayangnya, tidak membedakan data penerima antara masyarakat rentan dan masyarakat umum. Kedua kategori itu dijadikan satu angka, sehingga publik tidak benar-benar bisa membedakan mana yang rentan—termasuk penyandang disabilitas—dan mana yang umum—yang mungkin sebenarnya tidak terlalu rentan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memang telah meneken Surat Edaran No. HK.02.01/MENKES/598/2021 tentang percepatan vaksinasi bagi lansia, disabilitas, serta pendidik dan tenaga pendidikan, pada 16 April lalu. Ia minta kelompok difabel diprioritaskan dan diberi kemudahan akses, bisa di mana pun, tidak terbatas domisili KTP.
“Prioritas vaksinasi COVID-19 bagi masyarakat lanjut usia dan penyandang disabilitas menjadi lebih penting menjelang periode libur Idul Fitri di mana pergerakan penduduk akan meningkat,” kata Budi dalam surat edaran itu. Ia sudah mewanti-wanti akan adanya ledakan positif Covid-19, yang akhirnya menjadi gelombang kedua dimulai sejak akhir Mei 2021.
Dua bulan setelahnya, 2 Juni, Menteri Budi baru pertama memberikan vaksinasi untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Bogor, Jawa Barat. Kata dia, umumnya ODGJ memiliki komorbid dan tak bisa menceritakan apa yang mereka rasakan.
Di bulan yang sama, vaksinasi untuk disabilitas baru berjalan di Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Baru pada Agustus, Pemerintah gencar melakukan vaksinasi untuk disabilitas di enam provinsi: Benten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Menggunakan vaksin Sinopharm berkat hibah Raja Uni Emirat Arab sebanyak 450.000 dosis, sasaran 225.000 jiwa ditargetkan selesai di bulan Oktober.
Sejak saat itu pula, sepanjang Agustus-September, vaksinasi baru mulai masif di banyak daerah luar Pulau Jawa: Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Makassar, Kupang, dan Lombok Barat.
Bahkan, Kementerian Dalam Negeri baru buat NIK sementara untuk penyandang disabilitas pada 11 Oktober—atau empat hari sebelum vaksinasi di Kabupaten Malaka, NTT.
Tahun 2020 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya penyandang disabilitas mencapai 22,5 juta jiwa—sekitar lima persen dari total masyarakat Indonesia. Akhirnya dari angka tersebut, kita tak pernah tahu berapa penyandang disabilitas yang sudah dan belum divaksin.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa dari awal Pemerintah menargetkan akan ada 250.000 jiwa penyandang disabilitas yang akan divaksin. Namun, hingga 17 Oktober, yang sudah divaksin menggunakan dosis satu sebanyak 63.000 jiwa.
Sedangkan kata Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial, Eva Rahmi Kasim, sejak awal lembaganya sudah mengajukan sebanyak 576.000 jiwa. “207.696 penyandang disabilitas yang sudah divaksin data dari Dinkes dan Dinsos seluruh Indonesia bulan September,” katanya (17/10).
Data dari dua lembaga itu berbeda.
Tak Prioritas, Tercampur dengan Masyarakat Umum
Buyung Ridwan Tanjung dari Organisasi Harapan Nusantara (OHANA) Yogyakarta—organisasi yang fokus untuk advokasi kelompok disabilitas—membenarkan jika vaksinasi untuk disabilitas jauh dari prioritas. Apalagi, kata Buyung, banyak penyandang disabilitas juga memiliki komorbid atau penyakit bawaan, yang akan membuat posisi mereka semakin rentan jika tidak segera divaksin.
“Ini kenapa fokus kita, harus mendapat prioritas untuk segera divaksin. Kelompok disabilitas kerentanannya sangat tinggi, kalau enggak divaksin akan semakin rentan,” kata Buyung kepada saya, 13 Oktober lalu.
Apalagi, Satgas Penanganan Covid-19 dan beberapa ahli epidemiologi sudah mewanti-wanti akan adanya gelombang tiga pandemi Covid-19 yang akan terjadi di bulan Desember mendatang. Oleh karena itu, Buyung menilai para penyandang disabilitas seperti sedang diburu waktu untuk segera divaksinasi.
Kata Buyung, program vaksinasi penyandang disabilitas yang diprioritas enam provinsi sejak Agustus lalu juga terjadi atas desakan para pegiat isu disabilitas dan masyarakat sipil. Karena awalnya, dosis tersebut bukan untuk penyandang disabilitas.
“Setelah teman-teman jaringan teriak-teriak, baru dihibahkan ke penyandang disabilitas. Sebelumnya enggak ada prioritas. Dari teken surat edaran April, baru muncul [program] Agustus. Kondisinya yang terjadi memang seperti itu,” kata Buyung.
Setelah ada program enam provinsi tersebut, masalah tak berhenti di situ. Mengenai data penerima vaksinasi untuk penyandang disabilitas juga masih menjadi masalah tersendiri. Saat itu, OHANA Yogyakarta langsung hubungi Dinas Kesehatan DI Yogyakarta, namun dinas mengaku tak memiliki data penerima. Data itu ada di Dinas Sosial DI Yogyakarta.
Namun, Buyung menyebut tak semua Dinas Sosial mau memberikan data, salah satunya Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Bantul. Surat permintaan data oleh OHANA Yogyakarta pada 7 Agustus, dibalas oleh dinas pada 12 Agustus yang menyebut pihaknya tak bisa memberikan data karena sudah diberikan ke Dinas Kesehatan. Buyung merasa organisasinya menjadi korban saling lempar birokrasi.
Buyung memperlihatkan surat penolakan itu ke saya. “Bagaimana ceritanya, wong Dinas Kesehatan saja minta ke kita. Kalau kaya gini terus, masalah enggak akan selesai, vaksin enggak akan mulai,” kata Buyung.
Sebenarnya, OHANA Yogyakarta mengklaim telah memiliki data bahwa ada sekitar 27.000 penyandang disabilitas se-Yogyakarta. Namun, data tersebut belum diperbarui, sehingga seharusnya Dinas Sosial yang memiliki data lebih akurat.
Akhirnya, program vaksinasi enam provinsi tersebut kebanyakan berjalan menggunakan data organisasi/komunitas. “DIY dan Jawa Tengah vaksinasi disabilitas itu data dari komunitas. Itu data untuk enam provinsi percontohan. Kalau nunggu formalitas Dinas Sosial, mau kapan selesai? Ini mau berburu waktu untuk menyelamatkan nyawa,” kata dia.
“Ini kondisi gawat, kritis, bencana alam, namun sense of crisis-nya enggak jalan, antar dinas diperlakukan dengan birokrasi yang panjang. Kami berburu selamatkan satu nyawa penting. Vaksin Sinopharm itu data dari NGO, paling enggak Jawa Tengah dan DIY, saya pikir daerah lain pasti mengalami hal yang sama.”
Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial, Eva Rahmi Kasim, membantah jika para penyandang disabilitas tak diprioritaskan dalam vaksinasi Covid-19. Ia mengatakan bahwa surat edaran Menteri Kesehatan tentang vaksinasi untuk penyandang disabilitas pada April 2021 lalu bisa keluar karena desakan dari Menteri Sosial Risma Triharini satu bulan sebelumnya.
Eva juga membantah kritik dari berbagai pihak yang menyebut beberapa Dinas Sosial di Indonesia—yang berada di bawah koordinasi Kementerian Sosial—tak memiliki data penerima vaksinasi untuk penyandang disabilitas.
“Ibu Menteri bersurat ke Menkes. Data awal penyandang disabilitas itu 576.000 [jiwa],” kata Eva saat dihubungi lewat sambungan telepon, Minggu, 17 Oktober.
Tak hanya itu, ia juga mengatakan lembaganya telah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri karena memang banyak penyandang disabilitas yang tak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). Semua agar para penyandang bisa memiliki NIK sementara.
“Tidak semua penyandang disabilitas memiliki NIK, bisa jadi karena orang tuanya enggak mendaftarkan, atau karena belum mendaftarkan identitas. Kami enggak hanya berhentikan di Kemenkes, tapi ke Dukcapil juga,” katanya.
Namun, Eva membenarkan jika angka vaksinasi untuk penyandang disabilitas selama ini masih tercampur dengan masyarakat umum. Tak ada data terpilah berapa jiwa yang telah divaksin. Eva bercerita saat disuntik vaksin pada beberapa waktu lalu. Ia bertanya ke petugas apakah ada data khusus penyandang disabilitas yang telah divaksin, jawabannya tak ada. Kata dia, banyak yang sudah divaksin, namun angkanya digabung ke masyarakat umum.
“Awal Oktober baru mau dipisah angka disabilitas itu. Jadi sebelum memang tidak terdata dan tercampur dengan masyarakat umum,” kata Eva. “Kalau dari awal tidak terdata, yang salah siapa?
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi