Menuju konten utama

Program Vaksin Disabilitas Jadi Percuma Jika Fasilitas Tak Inklusif

Kebijakan vaksinasi maupun fasilitas tak memihak kelompok disabilitas. Mereka sulit mengakses informasi dan infrastruktur yang tak inklusif.

Program Vaksin Disabilitas Jadi Percuma Jika Fasilitas Tak Inklusif
Ilustrasi HL vaksinasi untuk disabilitas. tirto.id/Lugas

tirto.id - Yuli Hasan masih ingat betul bagaimana sulitnya menjadi penyandang disabilitas untuk ikut program vaksinasi di Kota Juang, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Perempuan 48 tahun itu merasakan sendiri masih ada tempat vaksinasi yang belum ramah terhadap penyandang disabilitas.

Awalnya pada Maret lalu, saat program vaksinasi di Indonesia baru berjalan dua bulan. Sebagai anggota Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), ia harus berangkat ke Bali untuk agenda penting organisasinya. Oleh karena itu, ia harus divaksin.

Apalagi, ibunya di rumah juga mengidap penyakit gula darah yang lumayan parah. Jika Yuli terkena Covid-19, tentu ibunya yang paling rentan tertular.

Sempat ditolak karena tak masuk daftar prioritas di Puskesmas Kota Juang, Yulia memberanikan diri datang ke RSUD Dr. Fauziah Kabupaten Bireuen. Kepada salah seorang kenalannya, ia bilang ingin divaksin karena harus berangkat dinas dan ingin memastikan tetap sehat untuk ibunya.

Keinginannya terkabul. Akhirnya, pihak rumah sakit bilang injeksi pertama vaksin Sinovac untuk Yuli dilakukan pada 25 Maret 2021. Namun, saat hari pelaksanaan injeksi, baru diketahui bahwa lokasinya berada di lantai dua rumah sakit itu. Pikirnya, lokasi ini tentu tidak ramah untuk para penyandang disabilitas, terutama disabilitas fisik.

“Saya terpaksa naik tangga,” kata Yuli kepada lewat sambungan telepon, 14 Oktober lalu. Bahkan, kata Yuli, hingga hari ini lokasi vaksinasi di rumah sakit itu masih berada di lantai dua.

Sepintas, Yuli terlihat sebagaimana orang sehat pada umumnya. Namun, sebenarnya ia adalah penyandang disabilitas fisik. Kaki kirinya terkena polio—kelumpuhan yang disebabkan serangan virus ke sistem saraf di bagian tubuh—sejak kecil.

“Namun orang-orang bilang saya polio karena disuntik [imunisasi]. Bapak saya jadi merasa bersalah atas kejadian itu,” kata Yuli kepada saya dengan nada lirih.

Tahun 2001, saat Yuli berumur 28 tahun, ia akhirnya dioperasi di Rumah Sakit Harapan Jaya Pemantang Siantar, Sumatera Utara. “Di situ saya baru tahu, untung saya disuntik imunisasi, itu bisa menghentikan virus polio. Kalau tidak, mungkin bisa menyerang seluruh saraf yang ada di tubuh saya,” kata dia.

Pasca operasi, Yuli memulai hidupnya untuk lebih sering berolahraga, terutama di bagian kaki kiri. “Akhirnya kaki kiri saya yang polio punya sedikit kekuatan untuk menopang tubuh saya,” kata dia.

Oleh karena itu, tak mudah bagi Yuli untuk bisa akses lokasi vaksinasi yang berada di lantai dua rumah sakit. Apalagi untuk para penyandang disabilitas fisik lainnya yang lebih parah.

Kendati Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sudah meneken vaksinasi untuk penyandang disabilitas sejak April 2021, namun nyatanya hingga hari ini program vaksinasi khusus di Aceh tak pernah ada. Kata Yuli, Pemerintah Daerah tak gencar untuk sosialisasi, mengajak, atau turun ke rumah-rumah untuk mencari penyandang disabilitas agar mau divaksin.

“Secara keseluruhan, Dinas [Kesehatan] tidak membedakan vaksinasi untuk disabilitas dan non-disabilitas. Kalau mau vaksin, semua sama,” kata Yuli.

Pada 1 September lalu, Pemerintah Daerah memang sempat mengadakan vaksinasi untuk penyandang disabilitas dan ibu hamil, namun lokasinya di Banda Aceh—ibu kota provinsi yang jaraknya 217 kilometer dari tempat tinggal Yuli.

Di Aceh, angka vaksinasi untuk masyarakat umum dan masyarakat rentan masih sangat rendah. Per 17 Oktober, dosis satu baru 27,42 persen (703.052 jiwa) dan dosis kedua baru 11,43 persen (291.971 jiwa). Dari angka tersebut, kita tidak pernah tahu berapa angka penyandang disabilitas yang sudah divaksin dan berapa angka masyarakat umum yang telah divaksin—yang sebenarnya bisa jadi tidak terlalu rentan.

Angkanya sangat jauh jika dibandingkan vaksinasi untuk petugas publik, yang dalam konteks Indonesia cakupannya termasuk anggota legislatif, pejabat negara, hingga karyawan BUMD. Dosis pertama sudah menyentuh 65,15 persen (311.731 jiwa) dan dosis kedua sudah 42,79 persen (204.726 jiwa).

Jika mau melihat angka lebih spesifik lagi di Kabupaten Bireuen, dosis satu masih mencapai 65.907 jiwa (19.79 persen dari target provinsi) dan dosis dua masih di angka 31.017 jiwa (9,31 persen dari target provinsi). Dari angka itu, kita tak tahu berapa jumlah masyarakat rentan—termasuk penyandang disabilitas—yang telah divaksin. Sebab tak ada penggolongannya.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, Hanif, mengaku hingga saat ini tak ada data spesifik berapa penyandang disabilitas yang sudah divaksin. Kepada saya, ia memberikan laporan harian vaksinasi Provinsi Aceh 15 Oktober lalu, namun datanya tercampur dengan masyarakat umum.

Ia juga membenarkan juga belum ada kegiatan khusus untuk vaksinasi disabilitas. “Masih masuk kelompok umum,” kata Hanif, 17 Oktober lalu. Hanif tak menjawab ketika ditanya mengenai banyaknya fasilitas lokasi vaksinasi yang belum ramah disabilitas. Pesan singkat via WhatsApp hanya dibaca.

Masalah aksesibilitas yang terjadi, belum termasuk masalah misinformasi mengenai vaksin yang banyak beredar di Aceh. Kata Yuli, banyak penyandang disabilitas di Kabupaten Bireuren yang emoh divaksinasi karena minimnya informasinya yang kredibel. Ia pernah mendesak Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuren untuk sosialisasi vaksin, namun hasilnya juga masih minim.

“Saya ke SLB Kabupaten Bireuen, jumpa orang tua, pada enggak mau anak-anaknya divaksin. Untuk SLB baru tiga anak divaksin, Kabupaten Pidie Jaya baru enam anak divaksin. Itu semua penyandang disabilitas di bawah umur masih sekolah,” katanya.

Masalah Klasik: Fasilitas Publik Tak Ramah Difabel

Buyung Ridwan Tanjung dari Organisasi Harapan Nusantara (OHANA) Yogyakarta—organisasi yang fokus untuk advokasi kelompok disabilitas—bilang kalau tantangan para penyandang disabilitas sangat beragam dan berlapis-lapis. Kata dia, kendati Pemerintah sudah menyediakan vaksin untuk warganya, namun masalah pandemi Covid-19 tak akan selesai di situ untuk para penyandang disabilitas.

Oleh karena itu, menurut Buyung, perlu ada program khusus untuk kelompok disabilitas, dengan fasilitas yang ramah, inklusif, dan mudah diakses. Hal-hal seperti, lokasi yang terlalu jauh dari rumah atau ruangan injeksi yang berada di lantai dua gedung, tak terjadi lagi untuk kelompok disabilitas.

“Padahal ada item-item tertentu, penyandang disabilitas harus mendapat semacam perlakuan yang memang harus didapatkan sebagai haknya. Aksesibilitas salah satunya, jelas tidak mungkin harus bersaing dengan masyarakta non-disabilitas,” kata Buyung kepada saya, 13 Oktober lalu.

“Dalam keadaan normal [tanpa pandemi] pun sudah sulit diakses, apalagi berebutan dengan masyarakat non-disabilitas untuk vaksinasi,” tambahnya.

Apa yang diutarakan oleh Buyung bisa dipahami. Agustus lalu, para penyandang disabilitas di Ambon, Maluku, misalnya, kesulitan untuk mengakses lokasi vaksinasi. Mereka harus naik tangga untuk bisa dapat injeksi vaksin. Kondisi ini sangat menyulitkan warga yang harus memakai tongkat penopang badan dan pengguna kursi roda.

Menurut Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi Maluku keadaan seperti ini yang seharusnya mendapat perhatian serius dari Pemerintah. Para penyandang disabilitas tak bisa digabung dengan masyarakat umum. Walhasil, banyak yang memilih untuk tidak vaksin.

Oleh karena itu, Ketua Umum HWDI, Maulani Rotinsulu mendesak Pemerintah untuk ada prioritas khusus vaksinasi bagi penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas butuh aksesbilitas, tak berebut dengan masyarakat umum, hingga tak perlu mengantri. Ia juga menyebut perlu ada agenda proaktif seperti kunjungan ke rumah-rumah penyandang disabilitas.

“Sentra vaksinasi tak boleh terlalu jauh dari lingkar kelurahan atau desa,” kata dia dalam sebuah diskusi daring, 13 Oktober lalu.

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa sejak awal penyandang disabilitas sudah masuk dalam program prioritas. “Tapi penyandang disabilitas tidak banyak yang ke sentra vaksinasi karena masih ragu dan takut,” katanya 17 Oktober sore.

“Lalu pemerintah mengupayakan kerjasama dengan menggandeng komunitas kelompok disabilitas, sehingga melalui jaringannyaa dilakukan vaksinasi khusus tuk penyandang disabilitas setelah komunitas melakukan mobilisasi sasaran,” klaimnya.

Tertinggal Akses Digital

Masalah lain yang dialami oleh kelompok penyandang disabilitas, kata Buyung, adalah sulitnya mereka menjangkau informasi lewat perangkat teknologi. Banyak dari penyandang disabilitas tak memiliki gawai pintar hingga tak paham teknologi. Akhirnya, mereka tak dapat informasi yang utuh. Apalagi banyak pendaftaran vaksinasi hanya bisa dilakukan secara online.

“Akses informasi juga tertinggal,” kata Buyung.

Apa yang dikatakan Buyung bukan bualan. Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2018 lalu mengungkapkan bahwa akses informasi penyandang disabilitas dalam penggunaan ponsel atau laptop hanya 34,89 persen, sedangkan non-disabilitas 81,61 persen—angka yang sangat menunjukkan ketimpangan akut.

Adapun, akses internet penyandang disabilitas 8,50 persen, sedangkan non-disabilitas 45,46 persen. Ini harusnya bisa membuka mata kita semua bagaimana pentingnya program dan fasilitas inklusif bagi penyandang disabilitas.

Kalau pun mereka memiliki akses lewat ponsel pintar dan jaringan internet, kecenderungan mendapat informasi hoaks juga akhirnya muncul seperti kasus di Aceh. “Kecenderungan hidup di dalam hoaks. Sehingga penolakan vaksinasi sebagian besar dilakukan oleh kelompok rentan,” kata Buyung.

Maulani menyebut perlu ada sosialisasi dan diseminasi informasi langsung kepada masyarakat disabilitas oleh Pemerintah Daerah, dibantu oleh organisasi penyandang disabilitas. Tak hanya bagi para penyandang, penyuluhan juga penting ke keluarga atau pendampingnya.

“Karena ketika penyandang disabilitas hidup di masyarakat dan mereka hidup di tengah keluarga, pendapat keluarga sangat berpengaruh kepada mereka. Ada informasi dari kawan-kawan di lapangan, ada penyandang disabilitas mau pergi vaksin, tapi keluarga yang meragukan,” tutup Maulani.

Baca juga artikel terkait VAKSINASI PENYANDANG DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi