tirto.id - Hasil Ijtima Ulama III yang diselenggarakan di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/4/2019), menimbulkan kontroversi. Beberapa organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan PBNU menanggapinya negatif.
Dalam acara tersebut mereka menuntut agar KPU dan Bawaslu mendiskualifikasi capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.
"Perjuangan diskualifikasi atau pembatalan paslon 01 yang ikut melakukan kecurangan dan kejahatan di Pilpres 2019," ujar Ketua GNPF (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa) Yusuf Muhammad Martak dalam konferensi pers.
Sebagai informasi, paslon nomor urut 01 sampai saat ini masih unggul versi real count KPU.
Yusuf mengatakan semua keputusan diambil dengan melibatkan Prabowo dan tim suksesnya dari Badan Pemenangan Nasional (BPN)--lawan politik Jokowi.
Anggota Pengurus Pusat Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menilai hasil Ijtima Ulama III tak lebih hanya peringatan kepada penyelenggara pemilu agar mereka jujur, transparan, dan terbuka. Namun alangkah lebih baik itu dilaporkan saja.
"Kalau memang ada kecurangan dan penyelewengan, ya laporkan. Ada mekanisme hukumnya. Sudah ada koridornya," kata Dadang saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (2/5/2019) sore.
Wasekjen PBNU, Imam Patuduh, mengatakan meski hasil Ijtima Ulama III kemarin harus dihormati dalam konteks demokrasi, namun yang tetap perlu diperhatikan adalah apakah itu sesuai atau tidak dengan norma yang berlaku atau tidak.
"Ketika pendapat itu sudah mengarah kepada sifatnya hal-hal yang provokatif, dan di luar kewajaran, dan di luar hal yang berlaku di Indonesia, maka kita seharusnya menggunakan pendapat-pendapat yang betul-betul sesuai dengan kaidah berbangsa dan bernegara dan aturan hukum yang berlaku," katanya.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerukunan Umat Beragama, Yusnar Yunus, mengatakan bahwa langkah Ijtima Ulama III tidak tepat karena belum ada keputusan resmi dari penyelenggara pemilu.
"Kalau tidak sepakat dengan keputusan KPU dan Bawaslu ajukan ke MK. Ini kan belum ada keputusan, kemudian membimbing melakukan diskualifikasi. Bagi kami ini tidak tepat, kurang tepat karena harus berdasarkan Undang-Undang," katanya.
Picu Konflik
Peneliti politik Islam LIPI, Wasisto Raharjo Jati, mengatakan Ijtima Ulama III tak lebih sebagai politisasi status "ulama" dan agama itu sendiri. Identitas sebenarnya dari orang-orang yang ada di dalam Ijtima Ulama II adalah simpatisan kubu 02, kata Wasis, dan yang mereka lakukan semata agar jagoannya menang di pilpres.
"Argumen yang mereka sampaikan juga irasional," kata Wasisto saat dihubungi via pesan singkat oleh reporter Tirto, Kamis siang.
Dugaan politisasi agama sebetulnya sudah muncul sejak tahun lalu, ketika kelompok ini mulai muncul di panggung politik nasional. Ijtima Ulama pertama yang diselenggarakan pada 27 Juli 2018 lalu menghasilkan keputusan politik berupa dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai capres dan dua nama (politikus PKS Salim Segaf al-Jufri dan pendakwah Abdul Somad) sebagai cawapres.
Dalam dunia pesantren tradisional, ijtima ulama biasanya dikaitkan dengan keputusan dalam ranah hukum Islam, bukan politik. "Ijtima" berasal dari kata "ijma" yang berarti kesepakatan. Ijtima adalah hasil konsensus tersebut.
Pada cabang ilmu fikih, ijma menempati level ketiga dari empat sumber hukum yang sah dan diakui setelah Alquran dan Hadis. Sumber hukum keempat adalah kias (preseden hukum). Dengan kata lain, ijtima bukan sesuatu yang main-main.
Ijtima Ulama II kembali memutuskan perkara politik praktis: orang-orang yang sama merekomendasikan Prabowo bersanding dengan Sandiaga Uno. Tuduhan politisasi agama pun semakin mengemuka, meski BPN sendiri membantahnya.
Selain politisasi agama, Wasis juga melihat kalau hasil Ijtima Ulama III berpotensi memicu konflik sosial di masyarakat.
"Kita perlu lihat bahwa fatwa itu bukan hukum positif, tapi publik terpecah karena mis-informasi menyamakan fatwa dengan aturan hukum," pungkasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino