tirto.id - Pangeran Khaled bin Farhan, salah seorang anggota kerajaan Saudi yang jadi eksil di Jerman sejak 2013, menyerukan agar Raja Salman serta putra mahkotanya, Mohammed bin Salman, dikudeta.
Dilansir PressTV, pada Senin (22/5), alasan Khaled ingin menggulingkan kekuasaan Salman adalah karena penguasa Saudi itu telah berperan besar dalam "menciptakan kerusakan di kerajaan.” Kudeta harus dilakukan agar kerajaan Saudi dapat diselamatkan dari tindakan “irasional, kacau, dan bodoh” lainnya, yang menurut Khaled selama ini muncul di pemerintahan Mohammed.
Khaled mengaku sudah menghubungi paman dan tetua kerajaan seperti Pangeran Ahmed bin Abdulaziz dan Pangeran Muqrin bin Abdulaziz agar menggunakan pengaruh yang mereka miliki di lingkungan istana dan militer untuk mendongkel Salman.
Dalam wawancara dengan Middle East Eye, Khaled menyatakan apabila nantinya Ahmed dan Muqrin sepakat kudeta, maka, “99 persen anggota keluarga kerajaan, dinas keamanan, dan tentara akan mendukung mereka.”
“Ada begitu banyak kemarahan dalam keluarga kerajaan,” katanya. “Saya [...] memohon paman saya, Ahmed dan Muqrin, putra-putra Abdulaziz yang berpendidikan tinggi, cerdas, serta mampu membuat perubahan. Saya dapat mengatakan kita semua berada di belakang mereka dan mendukung mereka.”
Tembakan di Dekat Istana
Kabar kudeta terhadap Kerajaan Saudi sudah berhembus sejak April lalu ketika terdengar bunyi tembakan selama hampir satu jam penuh di dekat istana milik Mohammed. Beberapa pihak yang menyaksikan insiden tersebut kemudian merekam dan mengunggahnya ke media sosial.
Masyarakat Saudi pun heboh. Muncul dugaan bahwa kelompok oposisi kerajaan mengkudeta Salman.
Namun, pemerintah Saudi buru-buru menampik kabar sumir tersebut. Juru bicara Kepolisian Riyadh, seperti dikutip kantor berita Saudi, SPA, menegaskan insiden itu adalah “upaya petugas keamanan Saudi yang menembak jatuh drone (pesawat nirawak) tanpa izin yang terbang di atas istana.”
Kepolisian juga menambahkan tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Salman pun dipastikan dalam kondisi aman, mengingat saat insiden terjadi, ia tidak berada di istana.
Pernyataan kepolisian didukung sebagian pihak. Emile Hokayem, analis International Institute for Strategic Studies mengatakan kabar adanya kudeta merupakan hoaks belaka yang “diedarkan oleh pembangkang atau orang-orang yang tidak tahu apa-apa tentang Saudi.”
Senada dengan Hokayem, Omar Al Jaaeman, presenter Abu Dhabi Sports Televison, menegaskan publik “tak perlu membesar-besarkan masalah” karena yang dikira percobaan kudeta itu ternyata hanya soal “polisi yang mengambil tindakan pencegahan terhadap drone yang terbang di atas area istana kerajaan.”
Sementara Menteri Luar Negeri Bahrain, Khalid bin Ahmad Al Khalifa, menyesalkan tindakan Al Jazeera yang menayangkan video insiden di dekat istana tersebut tanpa proses verifikasi. Al Jazeera, ujar Khalid, “perlu dibawa ke pengadilan karena menyebarkan kebohongan dan rumor yang menyebabkan kebingungan di negara kita.”
Namun, tak sedikit pula yang meyakini bahwa insiden tersebut merupakan upaya kudeta. Andrew Korybko, analis politik yang fokus pada isu-isu kebijakan luar negeri Amerika, menilai bahwa otoritas berwenang Saudi sengaja menutup-nutupi percobaan kudeta yang gagal ini agar investor asing tidak lari dari program reformasi sosio-ekonomi “Visi 2030” milik Pangeran Mohammed yang ambisius.
Jika Kudeta, Apa Penyebabnya?
Semenjak ditetapkan jadi Putra Mahkota, Mohammed langsung tancap gas membenahi Arab Saudi. Beberapa reformasi kebijakan di bidang sosial maupun ekonomi ia tempuh, misalnya, meminimalisir ketergantungan ekonomi Saudi pada minyak dengan membuka keran investasi dan menggenjot perekonomian kreatif lewat “Vision 2030.” Mohammed juga menghapus aturan-aturan konservatif yang selama ini mengekang kehidupan masyarakat, seperti larangan mengendarai mobil bagi perempuan.
Mohammed ingin Saudi terlihat lebih moderat, tak kaku, serta maju di segala bidang. Dengan kata lain, ia tak ingin Saudi makin dekaden di tengah ekonomi global yang kompetitif.
Tak sedikit yang puas dengan terobosan Mohammed. Tapi, yang kecewa pun tak cuma satu-dua orang. Salah satunya adalah orang-orang istana yang menilai langkah-langkah Mohammed justru memperburuk citra kerajaan Saudi.
Kekecewaan anggota kerajaan ini disinyalir muncul karena sejumlah faktor. Pertama, soal suksesi kerajaan. Mulanya, yang berhak menggantikan Raja Salman ialah Muqrin bin Abdulaziz, saudara laki-lakinya. Namun, nama Muqrin dibuang dan digantikan Mohammed bin Nayef pada bulan April 2015. Situasi makin runyam ketika Salman lagi-lagi menganulir pilihan tersebut dan menunjuk putranya, Mohammed, untuk meneruskan estafet kepemimpinannya pada Juni 2017.
Dipilihnya Mohammed kian memanaskan suhu politik istana pada November silam, ketika komite anti-korupsi yang dipimpinnya menangkapi sejumlah tokoh elite kerajaan, pemerintahan, serta pebisnis akibat dugaan korupsi.
Yang diciduk bukan nama-nama sembarangan. Selain 11 pangeran kerajaan, ada mantan Menteri Keuangan Ibrahim al-Assaf, mantan Menteri Ekonomi Adel Fakieh, mantan Gubernur Riyadh Pangeran Turki bin Abdullah, mantan Ketua Pengadilan Kerajaan Khalid al-Tuwaijiri, pemimpin perusahaan konstruksi Saudi Binladin Bakr bin Laden, serta pemilik jaringan televisi MBC Alwaleed al-Ibrahim.
Mereka yang ditangkap kemudian diciduk ke Hotel Ritz Carlton di Riyadh untuk ditahan. Selain itu, pihak berwenang juga menutup bandara untuk pesawat pribadi demi mencegah kaburnya para pengusaha kaya yang diduga korupsi.
Menurut Mohammed, tindakan yang diambilnya itu adalah satu episode reformasi untuk mengatasi permasalahan yang menurut Kementerian Komunikasi Arab Saudi “menghambat usaha pembangunan dalam beberapa dekade terakhir.” Namun, bagi sebagian pihak—terutama anggota kerajaan lainnya—yang dilakukan Mohammed adalah penghinaan.
Pemerintahan Mohammed pun dipandang hipokrit.The Guardian mencatat, keluarga Raja Salman dituduh menggelapkan dana publik dalam jumlah besar. Ketika mereka mencanangkan program pemotongan anggaran pemerintahan secara signifikan, Salman justru hidup boros; menghabiskan $100 juta untuk liburan di Maroko dan membeli kapal pesiar seharga $500 juta.
Belum lagi bagaimana upaya Mohammed membungkam para ulama dan aktivis yang dianggap menghambat reformasinya. Selain itu, Mohammed disebut-sebut kian agresif terjun menghalau pemberontak Houthi di Yaman dan tak peduli tatkala kebijakan perangnya itu menciptakan gelombang pengungsian dan kelaparan di Yaman. Dua hal ini juga dikutip sebagai alasan mengapa kudeta harus segera dilancarkan.
Editor: Windu Jusuf