Menuju konten utama

Sistem Perwalian: Biang Kerok Penindasan Perempuan Saudi

Pemerintah menunjuk perempuan untuk duduk di kursi jabatan tinggi pemerintahan. Namun, bukan berarti masalah yang menimpa perempuan Saudi otomatis selesai begitu saja.

Sistem Perwalian: Biang Kerok Penindasan Perempuan Saudi
Tamader bin Youssef Al Rahmah. FOTO/Istimewa

tirto.id - Momentum reformasi sosial di Arab Saudi terus bergulir. Menurut laporan SPA (kantor berita Saudi)—seperti dilansir Arab News—pada Senin (26/2) kemarin, Raja Salman menunjuk seorang perempuan bernama Tamader bin Youssef Al-Rammah sebagai wakil menteri tenaga kerja dan pembangunan sosial.

Penunjukan tersebut diambil berkaitan dengan agenda reshuffle kabinet dan rencana pengembangan Kementerian Pertahanan Saudi yang melingkupi tata kelola kementerian hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia guna memenuhi visi-misi strategi pertahanan nasional.

Selain pengangkatan Al-Rammah, Raja Salman juga melantik kepala staf militer, pertahanan udara, serta pejabat senior Kementerian Dalam Negeri yang baru. Keberadaan Al-Rammah di jajaran kementerian bisa dibilang merupakan bagian dari upaya reformasi dan kampanye Islam yang lebih moderat di bawah komando Putra Mahkota Muhammad bin Salman.

Namun Greg Gause, pakar geopolitik Kawasan Teluk dari Texas A&M University berpendapat penunjukan Al-Rammah adalah siasat Pangeran Muhammad menguatkan posisinya di pemerintahan agar tak mudah digoyang lawan-lawan politik.

“Ia sedang mengamankan kekuasaan di kabinet yang terpusat di tangannya,” terang Gause kepada Reuters.

Youssef Al-Rammah Bukan yang Pertama

Al-Rammah bukanlah perempuan pertama yang duduk di kursi pemerintahan. Pada 2009, Raja Saudi masa itu, Abdullah, menunjuk Noor Al-Fayez sebagai Wakil Menteri Pendidikan Perempuan.

Pengangkatan Noor memicu respons positif di khalayak ramai. Pemimpin redaksi Arab News, Khaled Al-Maeena, menyatakan penunjukan Noor merupakan kabar gembira. Jamal Khashoggi, pemimpin redaksi surat kabar Al-Watan Daily mengungkapkan hal senada. Baginya, penunjukan Al-Fayez menandakan sebuah perubahan besar di Saudi.

Sedangkan Al-Fayez menjelaskan, sebagai perempuan, dirinya bangga dipilih untuk menempati jabatan tersebut. Ia berharap akan ada banyak perempuan yang memperoleh kesempatan sama di masa mendatang.

“Saya pikir dengan menjadi orang kedua setelah menteri, saya punya cukup kekuatan untuk bekerja dalam meningkatkan pendidikan bagi anak perempuan,” tegasnya dikutip CNN.

Empat tahun kemudian, Raja Abdullah kembali membuat keputusan penting dengan menunjuk sekitar 30 perempuan untuk menempati kursi Dewan Syura, badan penasihat tertinggi di kerajaan. Dua tahun setelahnya, pemerintah Saudi mengizinkan perempuan berpartisipasi dalam pemilihan dewan kota, baik menjadi pemilih maupun kandidat.

Pengangkatan perempuan di pos pemerintahan juga terjadi tahun lalu. Eman Al-Ghamidi ditunjuk sebagai asisten walikota Al Khobar. Menurut Pusat Komunikasi Internasional Kementerian Kebudayaan dan Informasi Saudi, penunjukan tersebut adalah “bagian dari rencana peningkatan jumlah perempuan dalam kepemimpinan di pemerintahan.” Ditunjuknya Al-Ghamidi hanya berselang 24 jam selepas Raja Salman mencabut larangan mengemudi untuk perempuan.

Serangkaian Pembaruan Lain bagi Perempuan

Bersamaan dengan agenda reshuffle dan rencana pengembangan strategi pertahanan nasional, Saudi juga mengeluarkan pengumuman penting: perempuan diperbolehkan bergabung dengan militer.

Seperti diwartakan BBC, pemerintah membuka pendaftaran sampai Kamis (1/3) bagi perempuan yang berminat bergabung. Posisi yang ditawarkan adalah tentara di Provinsi Riyadh, Mekah, Al-Qassim, dan Madinah, dengan syarat-syarat seperti memegang kewarganegaraan Saudi, berusia 25-35, memiliki ijazah SMA, serta wali laki-laki mereka harus tinggal di provinsi yang sama dengan lokasi pekerjaan.

Diperbolehkannya perempuan bergabung di militer bertujuan untuk memberi kesempatan bagi perempuan untuk bekerja dalam bidang keamanan.

Pertengahan Februari silam, pemerintah Saudi juga mengumumkan perubahan kebijakan bagi perempuan dengan mengizinkan perempuan membuka usaha sendiri tanpa persetujuan suami atau saudara laki-laki. Kebijakan tersebut ditempuh untuk mendorong pertumbuhan ekonomi swasta.

“Perempuan sekarang dapat meluncurkan bisnis mereka sendiri dan mendapatkan keuntungan dari e-services [pemerintah] tanpa harus membuktikan persetujuan dari wali,” tulis Kementerian Perdagangan dan Investasi Saudi di situsnya, seperti dilansir Al Arabiya.

Tak hanya itu, Kantor Jaksa Penuntut Umum Saudi berencana untuk merekrut penyidik perempuan untuk pertama kalinya. Di lain sisi, pemerintah juga membuka lowongan pekerjaan bagi perempuan di bandara serta mengizinkan perempuan menghadiri acara olahraga di stadion yang berlokasi di tiga kota besar: Riyadh, Jeddah, dan Dammam.

Yang paling menghebohkan (dan bersejarah) tentu pencabutan larangan mengemudi bagi perempuan pada September 2017. Kebijakan pencabutan larangan mengemudi itu berasal dari usulan Pangeran Muhammad yang kemudian disetujui Raja Salman. Muhammad beranggapan, dengan diperbolehkannya perempuan mengemudi bakal meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja.

Masih Ada Tantangan

Amélie Le Renard dalam “A Society of Young Women: Opportunities of Place, Power, and Reform in Saudi Arabia” (2015) yang diterbitkan Journal of Middle East Women’s Studies menyatakan perempuan di Saudi menghadapi tantangan berlapis dari keluarga hingga negara. Dampaknya, ruang gerak mereka dibatasi dan peran mereka di pendidikan hingga pemerintahan dibungkam. Singkatnya, kondisi perempuan Saudi begitu terpinggirkan.

Hal itulah yang coba diubah Pangeran Muhammad. Putra Mahkota ini berupaya memperluas peran perempuan dalam beberapa waktu terakhir. Upaya tersebut masuk dalam program reformasi bertajuk “Vision 2030.” Tujuan utama “Vision 2030” antara lain menghilangkan ketergantungan Saudi akan minyak, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, hingga mengubah praktik-praktik Islam ala Saudi agar lebih “moderat dan terbuka.”

Bayangan Muhammad, reformasi sosial—dengan memberi keleluasaan pada perempuan—yang termaktub dalam “Vision 2030” dapat meningkatkan persentase perempuan di angkatan kerja dari 22% menjadi 30%. Eqbal Darandari, anggota Dewan Syura Saudi, mengatakan perempuan merupakan aset besar bagi pemerintahan Saudi yang dapat berkontribusi pada pengembangan ekonomi di masa depan.

Meski demikian, upaya yang dilakukan Muhammad dalam memberi ruang lebih bagi perempuan masih mendapatkan rintangan. Salah satu tantangannya ialah keberadaan ulama konservatif yang memandang pemberian kebebasan kepada perempuan mencederai ajaran Islam Sunni (Wahabisme).

Menurut pandangan para ulama ini, perempuan harus tunduk pada norma agama dan tidak bisa serta merta bertindak bebas. Sebagai contoh, perempuan dilarang berhubungan atau menjalin kontak dengan laki-laki yang bukan walinya hingga wajib mengenakan jilbab atau abaya di muka umum.

Human Rights Watch dalam laporannya yang dirilis pada 2016 berjudul “Boxed In: Women and Saudi Arabias Male Guardianship System” menjelaskan bahwa gerak perempuan Saudi masih dibatasi dengan sistem perwalian laki-laki. Sistem ini sangat diskriminatif dan Pemerintah Saudi berencana menghapusnya. Namun, sampai sekarang rencana tersebut belum diwujudkan.

Suatu ketika kali Raja Salman ditanya wartawan apakah Saudi berencana melonggarkan undang-undang perwalian—bahwa suami atau ayah dapat mencegah istri atau anak perempuan mereka meninggalkan rumah—atau kebijakan lain yang bisa memperluas hak-hak perempuan. Ia menolak berkomentar.

Infografik perempuan saudi dulu dan kini

Sistem perwalian membuat perempuan terkekang. Di bawah sistem ini, perempuan harus mendapat izin saat mereka hendak berpergian, menikah, hingga mengakses layanan kesehatan. Izin wali laki-laki merupakan hal wajib, jika tak ingin disebut mutlak.

Apabila perempuan tidak mendapatkannya, maka mereka terpaksa harus mengubur mimpi-mimpi mereka. Bahkan, sistem perwalian menyulitkan posisi perempuan jika mereka ditahan di penjara. Aparat tak akan membebaskan perempuan apabila tak ada persetujuan dari wali laki-laki.

Yang ironis dari sistem ini ialah juga berdampak pada pekerjaan, karier, maupun pendidikan. Perempuan yang ingin meniti karier atau bersekolah ke luar negeri harus bergantung pada izin dari wali laki-laki. Kalau pun izin wali sudah didapat, perempuan tak boleh berangkat sendirian. Mereka harus ditemani wali laki-laki sepanjang masa studi.

Perwalian, tulis HRW, turut membuka peluang yang besar bagi laki-laki untuk mengendalikan kehidupan perempuan di Saudi. Sistem perwalian merupakan bentuk diskriminasi, ketidaksetaraan, dan ruang bagi perempuan Saudi untuk mengalami kekerasan maupun pelecehan dalam kehidupan rumah tangga.

Ketika perempuan menjadi korban kekerasan rumah tangga, mereka akan sulit mencari pertolongan, karena lagi-lagi semua bergantung pada wali laki-laki. Perempuan korban kekerasan tak bisa menjatuhkan talak apabila suaminya menolak bercerai. Mengadu ke pengadilan pun akan sia-sia, mengingat pengadilan “hanya tunduk” pada pernyataan wali laki-laki.

Selama pemerintah Saudi belum bisa menghapus sistem perwalian dari masyarakat, catat HRW, praktik kekerasan, pengekangan, dan pembatasan hak-hak perempuan akan terus langgeng.

“Suatu ketika seseorang mengatakan kepada saya, ‘Kamu harus punya rencana dalam lima tahun ke depan.’ Lalu, saya segera menjawab tidak bisa. Saya bisa punya rencana untuk kurun waktu lima tahun. Tapi, yang harus kamu ketahui, rencana itu akan sia-sia selama ayah saya tidak setuju. Jadi, kenapa harus punya rencana?” aku Zahra, perempuan Saudi berusia 25 tahun yang gagal meneruskan pendidikan ke luar negeri akibat tidak diizinkan ayahnya.

Baca juga artikel terkait HAK PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf