Menuju konten utama

Sinyal Keterbukaan Arab Saudi di Jeddah International Book Fair

Jeddah International Book Fair 2017 adalah sinyal perubahan menuju keterbukaan, baik dalam bidang literasi maupun sosial di Arab Saudi.

Sinyal Keterbukaan Arab Saudi di Jeddah International Book Fair
Pengunjung melihat-lihat buku pada Jeddah Internasional Bookfair 2016. Foto/Stringer/AFP

tirto.id - Pada 14 hingga 24 Desember lalu, acara Jeddah International Book Fair 2017 digelar di kota Jeddah, Arab Saudi. Bertempat di sebuah gedung yang menghadap langsung ke Laut Merah, di bilangan Obhur. Ratusan ribu buku dijajakan. Tidak kurang dari 500 penerbit diundang dari berbagai negara.

Gelaran pasar buku internasional tahun ini adalah kali ketiga. Tahun ini, penyelenggara acara bermaksud mengulang kesuksesan tahun-tahun sebelumnya. Acara ini menjadi ajang bagi para penulis, penerbit, dan pencinta buku untuk bertemu. Buku yang dipasarkan tidak hanya berbahasa Arab, tapi juga buku dalam berbagai bahasa lain, seperti Persia dan Inggris.

Baca juga: Arab Saudi Punya Megaproyek NEOM, tapi Harus Izin Israel

Penerbit dari negara kawasan MENA (Middle East and North Africa) mendominasi stan pameran. Arab Saudi sebagai tuan rumah tentu memiliki stan terbanyak, tidak kurang dari 150, diikuti Mesir dan Kuwait. Uni Eropa dan Inggris juga bekerja sama dan membuka lapak buku. Sedangkan dari Asia Timur dan Asia Tenggara ada Tiongkok, Singapura, dan Korea Selatan.

Di area pintu masuk, beberapa bendera dikibarkan, termasuk bendera Indonesia. Tapi dalam kunjungan kemarin, saya tidak menemukan stan penerbit dari Indonesia di ruangan acara maupun di daftar nama penerbit yang ikut serta dalam event ini.

Baca juga:

Kesempatan Mencari Buku "Langka"

Jeddah International Book Fair mendapat sambutan antusias dari publik Saudi; terlihat dari ruangan yang hampir penuh sesak. Acara ini dikunjungi berbagai kalangan, baik warga Saudi maupun non-Saudi yang tinggal di Jeddah. Banyak pula pengunjung yang datang dari kota-kota tetangga, seperti Mekah dan Madinah.

Salah satu pengunjung yang saya temui adalah Iyad (15), seorang siswa dari Mekah yang datang bersama keluarganya. Iyad sekeluarga menempuh perjalanan kira-kira satu setengah jam demi mengunjungi pameran buku ini. Bagi Iyad, yang menyukai buku-buku tentang pesawat dan dunia aviasi, perjalanan jauhnya tidak sia-sia karena ia mendapat banyak buku yang selama ini sukar ditemukan.

“Banyak buku yang susah dicari di toko biasa, jadi ini kesempatan untuk cari buku yang diinginkan. Terkadang ada buku yang biasanya tidak dijual di Saudi, di ajang internasional boleh dijual,” tuturnya.

Iyad menyebut, pameran ini tidak hanya menjajakan buku berbahasa asing—yang tentu saja lebih sulit didapat ketimbang buku berbahasa Arab— tetapi juga buku-buku lain yang secara umum dilarang pemerintah, seperti buku filsafat.

Baca juga:

Filsafat Barat memang dilarang dan tidak diajarkan di Arab Saudi karena dianggap bertentangan dengan wahabisme. Hanya filsafat Islam yang diperbolehkan untuk dipelajari di sekolah dan universitas. Dalam pasar buku internasional, kontrol pemerintah lebih longgar. Dari hasil observasi sekilas di berbagai stand, terutama stan dari Mesir, banyak buku filsafat Barat dijajakan.

Walaupun dalam satu-dua tahun terakhir terjadi banyak perubahan di negara penghasil minyak ini, termasuk melonggarkan sirkulasi buku, Arab Saudi adalah negara yang masih ketat melarang peredaran buku-buku tertentu. Terutama buku-buku yang dianggap membahayakan pemerintah atau tidak sejalan dengan wahabisme.

Bukan hanya buku karya ulama atau tokoh agama yang berseberangan dengan wahabisme yang dilarang, tapi juga buku yang bersifat "netral" agama seperti buku sejarah. Arab Saudi menghalangi peredaran buku sejarah yang tidak sejalan dengan historiografi versi pemerintah, terutama jika ditulis di masa sebelum berdirinya Kerajaan Arab Saudi.

Baca juga:

Dua tahun lalu, misalnya, Zuhair Kutbi, seorang penulis Saudi yang menentang represi politik atas nama agama, ditangkap dan dipenjara selama empat tahun. Ia juga dilarang menerbitkan tulisan selama 15 tahun.

Infografik Jeddah International Book Fair

Titik Balik Perubahan di Arab Saudi?

Hingga pukul sembilan malam, satu jam menjelang tutupnya acara, ratusan pengunjung masih datang memadati gedung pameran. Saya menyaksikan antusiasme di wajah mereka. Wajah-wajah yang penuh harapan akan datangnya "Arab Saudi yang baru".

Baca juga: Membaca Arah Reformasi Sosial di Arab Saudi

Tingkat literasi Arab Saudi kini menjadi salah satu yang tertinggi di antara negara-negara teluk, yakni 96 persen. Padahal, hingga awal 1970-an, tingkat literasinya hanya 40 persen dari total populasi. Perubahan cepat terjadi setelah bonanza minyak pada akhir 1970-an yang mengalirkan banyak uang dan mendatangkan para pekerja migran yang berkarya di sektor pendidikan.

Dalam gelaran pasar buku internasional kemarin, salah satu acara yang paling menarik adalah temu penulis novel termuda di Arab Saudi. Penulis itu adalah seorang perempuan bernama Talia Johar (11 tahun), yang masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Ia mendapat banyak pujian dan sorotan dari publik dan pers lokal maupun internasional.

Baca juga: Masa Depan Cemerlang Industri Hiburan Arab Saudi

Hal ini kontras dengan kejadian dua tahun lalu di acara yang sama. Saat itu, Ashjan al-Hendi, sastrawan perempuan Saudi yang juga asisten profesor di Universitas King Abdulaziz, diteriaki dan diancam oleh dua laki-laki karena berani membacakan puisi di depan umum.

Perubahan-perubahan yang terjadi setahun belakangan membuat banyak orang berharap akan masa depan yang lebih cerah di Arab Saudi. Jeddah International Book Fair 2017 adalah salah satu sinyal perubahan menuju keterbukaan, baik dalam bidang literasi maupun sosial secara umum.

==========

Tika Ramadhini adalah peneliti pada Leibniz-Zentrum Moderner Orient, Berlin dan kandidat doktor sejarah di Humboldt Universität. Saat ini sedang menulis disertasi tentang kehidupan para perempuan Jawa di Makkah awal abad ke-20. Ia lahir di Jakarta, 23 Maret 1992.

Baca juga artikel terkait ARAB SAUDI atau tulisan lainnya dari Tika Ramadhini

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tika Ramadhini
Penulis: Tika Ramadhini
Editor: Windu Jusuf