tirto.id - "Rumah susun gimana menaruh rongsokan? Kan kami orang lapangan, nyari rongsokan, barang bekas," kata Lukman (40), salah satu warga Sunter, Jakarta Utara, kepada reporter Tirto, Jumat (22/11/2019) lalu.
Lukman adalah satu dari sekian orang yang digusur Pemkot Jakut pada 14 November lalu. Ia digusur bersama istri, dan dua anaknya yang berusia 5 tahun dan 2,5 bulan.
Penggusuran disebut-sebut untuk mengantisipasi banjir, tapi Lukman mengaku tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan apalagi pengambilan keputusan terkait penggusuran.
Wali Kota Jakut Sigit Wijatmoko mengatakan warga akan dipindah ke Rumah Susun Marunda. Lukman enggan menuruti dan lebih memilih bertahan. Sebab, katanya, di rusun "kita enggak bisa buka lapak, enggak bisa menyimpan rongsokan."
Pilihan tersebut juga tidak masuk akal bagi sebagian warga lain karena banyak yang berprofesi serupa Lukman. Mereka mendapat uang dari mengumpulkan dan menjual barang-barang bekas.
Mencari pekerjaan baru juga sulit bahkan untuk dibayangkan karena "mayoritas kami enggak sekolah" dan "kami sudah lanjut usia".
Lukman lantas menyimpulkan solusi yang ditawarkan pemerintah tidak berdasarkan kebutuhan warga. Ia punya analogi yang tepat: "lele biasa hidup di kolam, ditaruh di akuarium, gimana coba?"
Masalah lain adalah rusun tersebut tidak ditempati secara cuma-cuma. Bagaimana mungkin bayar sewa rusun, tapi pada saat yang sama mata pencarian tidak ada, katanya.
Lukman dan keluarga kini menumpang di rumah saudaranya di Jalan Agung Barat I, Kecamatan Tanjung Priok, Jakut. Sialnya rumah ini juga terancam digusur. Orang-orang sudah mendapat Surat Peringatan (SP) 3--tahap terakhir sebelum eksekusi.
"Bingung, Mbak, bingung mau gimana, ngasih makan anak apa," katanya.
Sigit Wijatmoko mengatakan kepada reporter Tirto, Senin (25/11/2019), sampai saat ini mereka masih "berdiskusi dan berdialog dengan perwakilan warga."
Namun nampaknya itu hanya formalitas karena Sigit menegaskan kalau saat ini pemerintah "fokus menuntaskan penataan" karena musim penghujan sudah mulai. Harapannya dengan ini "optimalisasi sistem drainase untuk menuntaskan genangan menahun di Sunter bisa diwujudkan."
Pengacara publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sirait, yang biasa menangani kasus penggusuran, menegaskan kembali kalau rusun bukan solusi bagi warga yang tergusur.
Selain karena perkara uang sewa yang memungkinkan orang diusir karena "tidak bayar", masalah lainnya adalah tempatnya yang jauh. "Pemerintah lupa, ketika menggusur warga, mereka juga digusur dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya," katanya.
Masalah lain adalah tidak pastinya masa depan tinggal di rusun.
"Rusunawa, secara khusus, itu hak guna bangunan, yang sebenarnya punya jangka bangunan. Jadi itu hanya 20-50 tahun. Jadi saat rusunawa tidak lagi layak, itu rusunawa bisa dihancurkan. Tak ada keamanan bagi warga," ujar Jeanny.
"Nah, kalau mereka tinggal di rumah sendiri, sudah tidak layak, kan bisa direnovasi," pungkasnya.
Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja "tidak berarti menolak solusi [hunian] vertikal." Hanya saja, katanya kepada reporter Tirto, "yang penting konteks dan proses."
"Masalah pada solusi rusunawa itu pemerintah cuma kasih satu solusi tunggal tanpa dialog, padahal bisa ada banyak solusi lain jika berdiskusi dengan warga secara setara," ujar Elisa.
"Yang digusur, termasuk yang di Sunter kemarin, banyak yang bergantung pada sektor informal, yang tak akan pernah bisa diakomodasi oleh kehidupan ala rusunawa di Marunda, Rawa Bebek, dan lain-lain," pungkasnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino