tirto.id - Istilah “kutu loncat” kembali mengemuka dalam ajang Pilkada DKI Jakarta 2017. Setidaknya publik menangkap nama Ruhut Sitompul yang memilih mendukung Ahok-Djarot, meski partainya mengusung Agus Yudhoyono.
Nama Ruhut dikenal publik sebagai karakter Poltak dalam sinetron Gerhana pada akhir 1990-an. Ruhut juga bermain di beberapa film seperti Get Married 2 (2009) dan Sajadah Ka’bah (2011). Karier politik Ruhut dimulai sebagai pengacara yang menangani beberapa kasus seperti saat bersama Hotma Sitompul menjadi pengacara Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tanjung dan sejumlah yayasan milik mantan Presiden Soeharto.
Menapaki karier sebagai politisi Golkar sejak 1983, Ruhut kemudian berpindah ke Partai Demokrat pada tahun 2004. Bergabung di partai baru, panggung untuk Ruhut pun terbuka lebar.
Di era Partai Demokrat menjadi partai penguasa sejak Pemilu 2004, Ruhut kerap menyalak setiap ada persoalan yang menerpa partainya. Pada November 2009, Ruhut meminta telinganya dipotong jika dana bailout Rp6,7 triliun Bank Century ada yang mengalir ke Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ruhut juga siap lehernya dipotong jika Edhie Baskoro korupsi. Nama Edhie Baskoro disebut Nazarudin terlibat dalam beberapa kasus yang melibatkan partai itu.
Oktober 2016 lalu, Ruhut mengundurkan diri dari Ketua Koordinator Polhukam Partai Demokrat pada Oktober 2016, seperti mengulang sejarahnya terkait pemilu 12 tahun lalu.
“Saya pendukung setia Ahok, saya harus turun. Jadi juru kampanye, blusukan dan sebagainya. Kan tidak elok masih pegang jabatan ketua koordinator polhukam, itu saja,” jelas Ruhut.
Reaksi dari Agus Harimurti Yudhoyono saat itu cukup santai. “Semua orang pasti punya pandangan, ini demokrasi, ya kita hargailah,” ujar Agus, menanggapi Ruhut yang malah mendukung lawannya.
“Salut dengan adikku, Agus Harimurti Yudhoyono, beliau menghormati hak demokrasi,” balas Ruhut.
Saat itu, Ruhut menyatakan kekecewaannya lantaran Demokrat terkesan buru-buru mengajukan Agus sebagai cagub. “Untuk bupati dan wali kota yang dari TNI itu minimal pangkatnya letkol, sedangkan untuk gubernur, minimal bintang dua. Mas Agus ini jenius, orang hebat tapi bicara umur dan rekam jejak, dia itu mayor, itu fakta. Aku tidak tahu siapa pembisiknya, terlalu dini. Aku kecewa,” kata Ruhut.
Bagi beberapa politikus Demokrat, sikap Ruhut sudah kelewatan. “Secara de facto sudah tidak dianggap oleh kader,” ujar Roy Suryo.
Akan tetapi, Ruhut sendiri tetap mengaku setia kepada partai yang membesarkan namanya. “Sebagai kader tidak [mundur], karena Demokrat bukan partaiku yang pertama, tapi partaiku yang terakhir.”
Sekalipun tetap berseberangan dengan beberapa politikus partainya, Ruhut mengaku masih disayang oleh SBY. Dan karena merasa bahwa hanya Ketua Umum Partai yang berhak memecat dirinya. “Partai Demokrat tidak pecat aku itu karena SBY sayang sama aku, mungkin juga aku dianggap aset,” kata Ruhut.
Tak berselang lama, Ruhut kemudian berencana mundur juga sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Langkah yang diambil agar dirinya bisa lebih berkonsentrasi memenangkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat. “Karena saya mau fokus. Ibarat pepatah aku mandi basah, tidak pernah setengah-setengah,” kata Ruhut.
Akhirnya, Dewan Kehormatan Partai Demokrat pun memutuskan untuk memecat Ruhut pada 24 Oktober 2016. Ruhut dianggap melanggar kode etik yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai serta Pakta Integritas.
Menanggapi hal itu, Ahok, sebagai pihak yang menjadi “sebab” bercerainya Demokrat dengan Ruhut berkomentar, “Saya sangat mengapresiasi Bang Ruhut yang rela keluar dari partainya, dari DPR, untuk dukung saya,” ujar Ahok. “Jadi anggota DPR enak dan mengapa berhenti? Tapi, beliau lebih pingin lihat Jakarta baru terwujud,” imbuhnya.
Tak hanya Ruhut, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Abraham Lunggana atau dikenal sebagai Haji Lulung juga tegang dengan partainya, PPP. Hal ini didasari dari keputusan partainya, PPP, baik kubu Romahurmuziy maupun Djan Faridz yang mengusung Ahok sebagai Cagub dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Hal ini tentu berseberangan dengan pemikiran Haji Lulung. “Ahok enggak ngerti apa-apa di Jakarta,” ujarnya.
Pada putaran pertama, PPP secara resmi tidak mendukung ke salah satu calon, tapi pada putaran kedua, dua kubu PPP yang sedang pecah, yakni kubu Djan Faridz maupun Romahurmuziy (Romi) sama-sama sepakat memberikan suara untuk Ahok.
“Saya siap diberikan sanksi bahkan kalau dipecat siap, ini demi Agus-Sylvi,” kata Haji Lulung saat menghadiri Rapat Pleno pengundian nomor urut pasangan cagub-cawagub 25 Oktober 2016 silam. Haji Lulung pun dipecat oleh PPP versi Romi, tapi Lulung woles. “Saya tidak akan merapat ke Romi, karena dia yang salah dan banyak partai mau menampung saya,” ujarnya.
Kepastian pemecatan Haji Lulung dari PPP adalah ketika Agus-Sylvi kalah pada Pilkada DKI Jakarta putaran pertama. Setelah jagoannya kalah, Haji Lulung lalu ikut mendukung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Namun, jelang putaran kedua pilgub Jakarta, pemecatan juga hadir dari PPP versi Faridz. “Kami sepakat sudah mencoba menemui, membujuk, tabayun, tapi imbauan DPP tidak diindahkan. Jadi DPP sepakat untuk memecat ketua DPW DKI Jakarta yang bernama Haji Lulung termasuk anggota DPRD yang mengikuti jejak beliau menyatakan dukungan kepada paslon yang tidak sepaham dengan DPP PPP,” kata Djan kepada wartawan Tirto.
Lulung lagi-lagi bergeming. ”Yang penting jangan dipecat sama umat," katanya.
Apa yang dilakukan Ruhut dan Haji Lulung, pindah partai, bukanlah hal baru. Banyak politikus di daerah yang pindah partai, termasuk saat mereka menjabat kepala daerah. Bahkan, Ahok sendiri juga dikenal sebagai politikus yang dibesarkan banyak partai. Basuki terjun ke dunia politik sejak 2004, dan partai pertamanya adalah Partai Indonesia Baru (PIB). Ahok bahkan sampai menjabat sebagai Ketua DPC PIB Kabupaten Belitung Timur. Dari partai inilah Ahok mampu maju menjadi Bupati Belitung Timur.
Dari PIB, Ahok kemudian pindah ke Partai Golkar pada 2009, dan menjadi anggota DPR lewat partai ini. Pada 2012, nama Basuki Tjahaja Purnama terendus dalam bursa kandidat cagub-cawagub pilgub DKI. Akhirnya kita ketahui bersama: Ahok mengundurkan diri dari partai lama ke Partai Gerindra, juga meninggalkan posisinya di DPR. Dengan Gerindra-lah Ahok berhasil menjadi wakil Jokowi di DKI Jakarta, yang diusung PDI Perjuangan.
Namun, akhirnya Ahok kembali mundur dari Partai Gerindra setelah berbeda pendapat soal RUU Pilkada. Gerindra mendukung pilkada dengan pemilihan tak langsung, sedangkan Ahok sebaliknya. Dalam keadaan tidak berpartai, dukungan terhadap Ahok menguat. Jejaring pendukung dan pemujanya, Teman Ahok, kemudian mengumpulkan KTP agar sang patron bisa menjadi kandidat independen.
Pada akhirnya, Ahok tidak maju lewat skema perseorangan dan memilih disokong partai, salah satunya PDI Perjuangan, meski kali ini Ahok tak mengenakan kaos partai yang baru.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Maulida Sri Handayani