tirto.id - Kabupaten Kutai Kartanegara dan Rita Widyasari pada Oktober 2014 pernah mendapat pujian dari Wakil Ketua KPK periode 2011-2015, Adnan Pandu Praja. Saat itu, Adnan menyebut kabupaten hasil pemekaran tahun 1999 ini sebagai contoh supervisi pencegahan korupsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat berkeadilan.
Pernyataan tersebut diungkapkan Adnan Pandu usai mengisi "Seminar dan Lokakarya Pencegahan Korupsi untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Berkeadilan" di ruang serbaguna Kantor Bupati Kutai Kartanegara, 23 Oktober 2014.
“Ibu Rita Widyasari ini tidak pernah mengeluarkan izin tambang dan malah mencabut izin tambang yang tak sesuai aturan. Ini patut dijadikan contoh,” kata Adnan Pandu, seperti dikutipAntara.
Adnan Pandu menyebut, Kutai Kartanegara merupakan kabupaten dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) terbesar se-Indonesia sehingga perlu dikawal. Saat itu, APBD Pemkab Kukar 2014 menembus angka Rp7,2 triliun. KPK pun akan mengawasi penggunaannya agar sesuai dengan ketentuan.
Rita Widyasari pun menyambut baik sosialisasi yang dilakukan KPK. Ia menyebut kegiatan tersebut sesuai dengan keinginannya untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersih, yang tentunya bertujuan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah itu.
“Kami terus berkomitmen menyelesaikan masalah anggaran dan melakukan perencanaan yang baik agar penyelenggaraan APBD bisa terserap maksimal. Kami mengapresiasi perhatian KPK dan BPKP karena sesuai komitmen kami,” kata Rita saat itu.
Baca juga: Rita Widyasari & Kutai Kartanegara yang Kaya SDA
Rita Widyasari terpilih menjadi Bupati Kutai Kartanegara selama 2 periode, yakni 2010-2015 dan 2016-2021. Selama pemerintahannya, Kabupaten Kutai Kartanegara tercatat selalu mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD).
Pada Mei 2015, misalnya, Pemkab Kutai Kartanegara mendapat predikat WTP atas LKPD tahun 2014 tanpa pengecualian. Hasil ini berbeda dengan penilaian LKPD tahun anggaran 2012 dan 2013 untuk Kabupaten Kutai Kartanegara yang meraih WTP dengan catatan.
Namun, prestasi tersebut menjadi ironi saat Rita Widyasari justru ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, pada Selasa (26/9/2017). Perempuan yang menjabat sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Kalimantan Timur (Kaltim) ini diduga menerima gratifikasi terkait jabatannya sebagai kepala daerah.
Komisi antirasuah menduga Rita Widyasari menerima gratifikasi sejak menjabat Bupati Kukar pada periode 2010-2015 dan periode 2016-2021. Rita disangka melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Saya jelaskan ya, bahwa ibu Rita sudah ditetapkan sebagai tersangka itu betul,” kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (26/9/2017) malam.
Baca juga:Rekam Jejak Mentereng Bupati Rita Hingga Tersangka Korupsi
Dalam kasus ini, KPK mempertimbangkan memperberat hukuman terhadap Bupati Kutai Kartanegara ini. Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang menyatakan peluang itu diambil karena Rita tersebut kerap mengikuti program antikorupsi yang dicanangkan komisi antirasuah.
Saut Situmorang berkata, KPK telah berulang kali membuat sosialisasi pencegahan korupsi di banyak daerah. Program tersebut bahkan diikuti oleh banyak kepala daerah, mulai dari bupati, walikota hingga gubernur. Rita Widyasari pun seringkali mengikuti acara sosialisasi pencegahan korupsi ini.
“Ini akan KPK jadikan unsur yang memberatkan. Bila perlu diberi label sudah berapa kali program pencegahan yang bersangkutan hadir,” kata Saut.
Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan tidak sedikit orang yang dianggap bersih ternyata melakukan tindak korupsi. “Banyak kasus juga begini kan kejadiannya. Tanda tangan pakta integritas di samping saya, besok kemudian melakukan [korupsi]. Kan ada yang seperti itu kan?” kata Agus usai memantau sidang praperadilan Setya Novanto, di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (27/9/2017).
Agus menerangkan, pejabat negara boleh terlihat bersih di masyarakat. Akan tetapi, publik tidak boleh lupa aktivitas sehari-hari pejabat tersebut apakah korup atau tidak. Oleh karena itu, publik tidak boleh tertipu dengan penampilan sehari-hari.
“Kalau kegiatan sehari-hari kan tidak boleh kita lupakan juga mengenai apa yang dilakukan,” kata Agus.
Kepala daerah lain yang mendukung sosialisasi pencegahan korupsi oleh KPK di daerahnya adalah Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti. Ia bahkan telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) mengenai rencana aksi tata kelola pemerintahan yang bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di daerahnya.
“Korupsi merupakan kejahatan luar biasa, karena itu penanganan, pemberantasan serta pencegahannya tak bisa dengan cara yang biasa-biasa saja,” kata Ridwan Mukti seperti dikutip Antara.
Sebagai bentuk konkret dari upaya Ridwan Mukti menggandeng KPK, ia pun memfasilitasi petugas komisi antirasuah menggelar lokakarya bertajuk "Training of Trainer Komite Integritas" sebagai tindak lanjut pendampingan untuk mencegah praktik KKN di Bengkulu, pada 1 November 2016.
“Kejahatan korupsi biasanya tidak hanya satu pihak yang terlibat, ada praktik kolusi juga di situ, karena itu lokakarya ini untuk mencegah KKN,” kata fasilitator lokakarya dari KPK, Rian Herfriansyah di Bengkulu, saat itu.
Sayangnya, pada 20 Juni lalu, Ridwan Mukti justru terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Bengkulu. Dalam OTT ini, KPK menyeret lima orang, yakni Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, istrinya Lily Martiani Maddari, Rico Dian Sari yang berprofesi sebagai pengusaha dan Direktur PT Statika Mitra Sarana, Jhoni Wijaya yang diduga sebagai pemberi suap, dan H yang merupakan staf Rico.
Baca juga:KPK Beberkan Kronologis OTT Gubernur Bengkulu dan Istrinya
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti