Menuju konten utama
Periksa Data

Riset: Minim Dana Salah Satu Alasan Anak Muda Enggan Berpolitik

Apakah pemilih muda tertarik untuk mencalonkan diri dalam pemilu jika ada kesempatan di masa depan? Apa saja alasan yang mendorongnya?

Riset: Minim Dana Salah Satu Alasan Anak Muda Enggan Berpolitik
Infografik Riset Mandiri Partisipasi Politik Pemilih Pemula. tirto.id/Fuad

tirto.id - Kaum muda kerap dilekatkan dengan embel-embel apolitis atau tidak berminat dan apatis terhadap politik. Di level politik praktis, Tirto melaporkan, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019 – 2024 yang berusia maksimal 30 tahun hanya 4 persen.

Itu artinya, hanya ada sekira 23 anak muda di antara 575 orang jajaran DPR yang kini tengah menjabat. Porsi DPR penuh sesak oleh kelompok umur 51 – 60 tahun, di mana persentasenya mencapai 35,65 persen. Angka itu hanya 3,82 poin lebih banyak dari jumlah anggota DPR yang berusia 41 – 50 tahun (31,83 persen).

Meski menurut data yang dihimpun Litbang Kompas, keterwakilan anak muda di parlemen pada 2019 terbilang naik ketimbang dua periode sebelumnya, akan tetapi, angkanya belum pernah menyentuh 5 persen.

Sebutlah pada periode 2014 – 2019, anggota DPR yang berusia di bawah 30 tahun tercatat cuma 2 persen, sementara pada periode 2009 – 2014 sebanyak 2,1 persen. Bisa dibilang, Indonesia masih menghadapi tantangan regenerasi politik.

Dari situ menarik untuk melihat keengganan anak muda terjun dalam dunia politik dan alasan yang mendasarinya. Sebab mereka seharusnya tak dilihat sebagai sekadar ceruk suara, tetapi juga figur kunci masa depan yang aspirasinya perlu didengar. Apalagi, pemilih muda bakal mengambil bagian dominan dalam daftar pemilih tahun depan.

Menurut daftar pemilih tetap (DPT) yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih generasi muda mencapai 56 persen dari total pemilih nasional berjumlah 204.807.222 orang. Rinciannya yakni 66.822.389 orang atau 33,60 persen pemilih Milenial (mereka yang lahir antara tahun 1981 – 1996) dan 46.800.161 orang atau 22,85 persen pemilih Gen Z (mereka yang lahir antara tahun 1997 – 2012).

Dalam serial artikel pemilih pemula dan politik, Tirto sebelumnya sempat mengulas soal karakteristik presiden yang dicari anak muda dan bagaimana media sosial berperan menentukan pilihan kandidat di kalangan pemilih pemula.

Tirto bekerja sama dengan penyedia layanan survei daring Jakpat untuk merancang jajak pendapat mengenai hal ini. Responden yang dilibatkan yakni mereka yang berusia 17 – 21 tahun, dengan kata lain sebagai pemilih pemula yang baru akan menyumbang suara pada pemilihan umum (pemilu) 2024 mendatang.

Metodologi

Survei dilakukan sepanjang 4-5 Juli 2023 dengan melibatkan 1.500 orang responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.

Instrumen penelitian: Kuesioner daring dengan Jakpat sebagai penyedia platform

Jenis sampel: Non-probability sampling responden Jakpat

Margin of Error: Di bawah 3 persen

Profil Responden

Jumlah responden dalam survei ini terdiri atas kelompok usia 17 – 19 tahun dan 20 – 21 tahun. Persentasenya masing-masing mencapai 46,40 persen atau sebanyak 696 orang dan 53,60 persen atau 804 orang. Sementara dari segi jenis kelamin, proporsinya cukup berimbang antara responden laki-laki (49,40 persen) dan responden perempuan (50,60 persen).

Infografik Riset Mandiri Pemilu 2024 dan Pemilih Pemula

Infografik Riset Mandiri Pemilu 2024 dan Pemilih Pemula. tirto.id/Quita

Mayoritas responden berdomisili di Pulau Jawa, persentasenya mencapai 72,68 persen. Mereka kebanyakan tinggal di Provinsi Jawa Barat (25,27 persen), diikuti Jawa Timur (12,6 persen), Jawa Tengah (12,4 persen), dan DKI Jakarta (11,27 persen).

Ada juga responden yang berasal dari Sumatra (16,5 persen), Kalimantan (5,13 persen), Sulawesi (3,55 persen), Bali dan Nusa Tenggara (2 persen), serta Maluku dan Papua (0,54 persen).

Dari keseluruhan responden, mayoritas merupakan mahasiswa atau pelajar (68,54 persen), mengingat usia mereka yang masih tergolong muda. Sementara sebagian kecil yang sudah menjajal dunia profesional paling banyak berprofesi sebagai wiraswasta (2,6 persen). Selain itu, terdapat sekitar 15 persen responden yang mengaku belum memiliki pekerjaan.

Seturut latar belakang pekerjaan responden yang didominasi oleh kelompok mahasiswa dan pelajar, jenjang pendidikan terakhir responden kebanyakan di level SMA atau sederajat (85,27 persen). Menyusul setelahnya yakni responden dengan latar belakang pendidikan terakhir SMP (9,87 persen), S1 (1,73 persen), dan D3 (0,93 persen).

Berbeda dengan Laki-Laki, Mayoritas Perempuan Tak Tertarik Maju Pemilu

Hasil survei Tirto-Jakpat menyingkap bahwa kebanyakan responden tidak tertarik maju dalam pemilu seperti mencalonkan diri sebagai anggota legislatif ataupun kepala daerah. Mereka menyatakan “tidak tertarik” (36,53 persen) dan “sangat tidak tertarik” (15,60 persen), atau sekitar total 52 persen.

Namun demikian ada sekira 47,86 persen responden yang mengaku “cukup tertarik,” “tertarik,” hingga “sangat tertarik.” Persentase ini menunjukkan cukup besarnya antusiasme kalangan anak muda usia 17 – 21 tahun untuk ikut terlibat dalam politik praktis.

Infografik Riset Mandiri Partisipasi Politik Pemilih Pemula

Infografik Riset Mandiri Partisipasi Politik Pemilih Pemula. tirto.id/Fuad

Lain halnya dengan temuan survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), anak muda yang menyatakan ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hanya di level 14,6 persen.

Bahkan, dalam laporan tersebut dikatakan, anak muda yang tertarik mencalonkan diri sebagai kepala daerah cuma 14,1 persen. Dengan catatan, responden yang disasar CSIS merupakan penduduk Indonesia yang berusia 17 – 39 tahun. CSIS sendiri melangsungkan surveinya selama 8 – 13 Agustus 2022 dan melibatkan 1.200 anak muda.

Kembali ke hasil riset Tirto bersama Jakpat, hal menarik yang kami temukan adalah bahwa laki-laki menjadi kelompok yang lebih tertarik maju dalam pemilu. Persentase responden laki-laki dan perempuan yang menyatakan “cukup tertarik” hingga “sangat tertarik” mencapai 54,39 persen banding 41,50 persen.

Infografik Riset Mandiri Partisipasi Politik Pemilih Pemula

Infografik Riset Mandiri Partisipasi Politik Pemilih Pemula. tirto.id/Fuad

Kenyataan di lapangan memang memperlihatkan masih minimnya partisipasi perempuan di parlemen. Merujuk laporan Badan Pusat Statistik (BPS), rerata partisipasi perempuan di badan legislatif secara nasional pada 2021 hanya berkisar 21,89 persen, naik tipis dari tahun 2020 sebesar 21,09 persen.

Meskipun ada tren kenaikan persentase keterwakilan perempuan di DPR dalam kurun waktu 2017 – 2021, akan tetapi porsinya belum pernah menggapai angka 30 persen.

Tak Punya Cukup Dana Masuk 3 Besar Alasan Emoh Mencalonkan Diri

Keengganan anak muda mencalonkan diri dalam pemilu bukan tanpa sebab. Setidaknya ada tiga alasan utama berdasarkan hasil survei ini: pertama, merasa tidak memiliki cukup pengaruh di masyarakat, kedua, tidak percaya diri dengan kemampuannya, dan terakhir lantaran merasa tak memiliki cukup dana.

Alasan terakhir itu masuk akal manakala melihat banyak anggota DPR muda berangkat dari kelompok privilese dan punya latar belakang kelas sosial dan ekonomi menengah ke atas. Hasil penelusuran Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilakukan CNBC, ada sekitar 8 anggota DPR Milenial periode 2019 – 2024 yang memiliki harta kekayaan miliaran rupiah.

Lebih lanjut tentang alasan tidak tertarik maju pemilu, ketiga faktor yang disebut di atas menonjol baik pada responden laki-laki maupun perempuan. Sebanyak 48,22 persen responden laki-laki beranggapan dirinya tidak memiliki cukup pengaruh di masyarakat, lalu 41,12 persen lainnya menyatakan tidak percaya diri dengan kemampuan dan 38,46 persen merasa tidak punya modal finansial yang memadai.

Infografik Riset Mandiri Partisipasi Politik Pemilih Pemula

Infografik Riset Mandiri Partisipasi Politik Pemilih Pemula. tirto.id/Fuad

Sedangkan di kalangan responden perempuan, persentase yang memilih ketiga alasan itu berturut-turut yakni 52,48 persen, 37,61 persen, dan 19,14 persen. Menyoal perasaan tidak percaya diri yang dialami perempuan, Yayasan Plan International Indonesia juga pernah mengutarakan temuan serupa.

Menurut laporan surveinya yang berjudul “State of The World Girls Report” (SOTWG) dengan melibatkan 29 ribu remaja perempuan di 29 negara, termasuk seribu perempuan Indonesia berusia 15 – 24 tahun, sebanyak 51 persen perempuan muda Indonesia tidak percaya diri ikut dalam politik elektoral.

Secara umum, persoalan ruang sempit kaum muda dalam politik berakar pada beberapa faktor, termasuk adanya batasan akses, komodifikasi suara muda, dan buruknya citra politik.

Hal itu diungkap Litbang Kompas berdasarkan hasil analisis Quality Scorecard Deployment (QSD) terhadap wawancara narasumber yang mewakili unsur masyarakat sipil, politisi, dan birokrat selama Juni-Juli 2023.

“Besarnya persentase pemilih muda di setiap pemilu cenderung sekadar dijadikan pasar suara dengan kampanye dan gimik dari para elite politik. Setelah pemilu usai, isu-isu seputar pemuda tidak digarap secara serius oleh pembuat kebijakan, apalagi di aspek keterwakilannya di parlemen,” menukil Kompas, Senin (17/7/2023).

Sementara itu, aspek citra politik yang buruk menurut Kompas didorong oleh banyaknya kasus di tataran elite politik, utamanya kasus korupsi. Beberapa responden survei Tirto pun turut menyinggung persoalan korupsi sebagai alasan tidak tertarik terjun dalam dunia politik formal.

Beberapa di antaranya misalnya mengisi jawaban seperti “korupsi yang ada dalam tubuh partai politik secara struktural” dan “lingkungan di pemerintahan penuh dengan korupsi”. Hal ini juga tercermin dari karakter pemimpin idaman para pemilih pemula dalam pemilu 2024.

Hasil riset Tirto menangkap, karakteristik kunci presiden idaman para pemilih pemula yakni pemimpin yang “jujur dan tidak korupsi”, yang mana persentasenya mencapai 33,73 persen. Mereka juga menyoroti isu pemberantasan korupsi dan kesejahteraan masyarakat sebagai dua topik utama yang bakal jadi perhatian dalam pemilu 2024.

Terlepas dari fakta bahwa anak muda enggan mencalonkan diri dalam pemilu, kebanyakan dari mereka menyatakan puas dengan kinerja pemerintahan. Secara terperinci, sebanyak 46,87 persen bilang “cukup puas”, 20 persen mengungkap “puas” dan 9,13 persen mengaku “sangat puas”.

Pemilih Pemula Kerap Mendiskusikan Isu Politik dengan Teman dan Keluarga

Berbicara terkait politik sebenarnya tak hanya berkutat seputar politik praktis seperti menjadi anggota legislatif atau kepala daerah, melainkan juga bisa dalam bentuk informal lain misalnya bersuara di platform media sosial.

Saat ditanya bentuk aktivitas politik yang pernah dilakukan, kebanyakan responden menjawab mereka paling sering berdiskusi atau berdebat isu politik dengan teman sebaya atau anggota keluarga (57,24 persen).

Mengekor di belakangnya yakni mengikuti isu politik lewat berbagai kanal pemberitaan, termasuk media sosial dan televisi (55,99 persen), bergabung ke organisasi pemuda (39,83 persen), dan menandatangani petisi baik secara daring maupun luring (35,24 persen).

Infografik Riset Mandiri Partisipasi Politik Pemilih Pemula

Infografik Riset Mandiri Partisipasi Politik Pemilih Pemula. tirto.id/Fuad

Di lain sisi ada juga responden yang mengaku senang membuat atau membagikan konten di media sosial tentang pandangannya atas suatu isu politik dan mempromosikan kampanye mengenai isu politik lewat aksi atau demonstrasi.

The Indonesian Indtitute (TII) pun pernah menyampaikan temuan senada tentang keikutsertaan anak muda pada perkumpulan atau organisasi pelajar/mahasiswa/pemuda. Berdasarkan sebaran angket TII yang dilakukan pada Desember 2022, hampir setengah responden anak muda berusia 17 – 30 tahun (49,48 persen dari 94 responden) menyatakan terlibat aktif dalam organisasi kepemudaan.

Kendati partisipasi anak muda dalam organisasi nampak tinggi, Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) pada domain partisipasi dan kepemimpinan tahun 2021 merosot menjadi 43,33 dari 46,67 pada 2020. Angka 46,67 pada 2020 itu pun stagnan alias tak mengalami kemajuan sejak 2015.

IPP sendiri dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Sosial/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Aspek partisipasi dan kepemimpinan diukur dari tiga indikator: persentase pemuda yang mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan, persentase pemuda yang aktif dalam organisasi, dan persentase pemuda yang menyampaikan saran atau pendapat dalam rapat.

The SMERU Research Institute dalam laporannya berjudul “Indeks Pembangunan Pemuda 2022” menguraikan alasan di balik tren penurunan IPP pada 2021. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran reaksi alami individu yang menjaga jarak dan menghindari pertemuan selama pandemi COVID-19.

“Selain itu, kebijakan pembatasan sosial pada tahun 2020 dan 2021 juga turut andil dalam membatasi pergerakan individu selama pandemi,” mengutip laporan lembaga penelitian yang fokus pada isu sosial-ekonomi tersebut.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Politik
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty