tirto.id - Hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan tren vonis ringan bagi koruptor masih berlanjut pada tahun 2018. ICW mencatat, meski ada kenaikan rerata lama hukuman penjara bagi koruptor, angkanya tidak signifikan.
Peneliti Divisi Hukum dan Peradilan ICW, Lalola Easter menyatakan kesimpulan tersebut berasal dari pemantauan lembaganya terhadap vonis untuk 1.162 terdakwa dalam 1.053 perkara korupsi.
"Rata-rata vonis secara keseluruhan ada peningkatan tapi tidak signifikan seperti yang kita harapkan, seperti bisa teman-teman lihat sendiri tahun 2016 tahun 2017 rata-rata putusannya tidak ada perbedaan malah," Kata Lalola di kantor ICW, Jakarta, Minggu (28/4/2019).
Menurut Lalola, pada 2018, rerata vonis hukuman penjara bagi koruptor di pengadilan tingkat pertama adalah 2 tahun 3 bulan. Sementara di pengadilan tinggi rerata 2 tahun 8 bulan dan di Mahkamah Agung (MA), rata-rata 5 tahun 9 bulan.
Secara umum, angka rerata lama hukuman penjara dalam vonis untuk koruptor di ketiga tingkat pengadilan tersebut selama tahun 2018 adalah 2 tahun 5 bulan.
Lalola mengatakan hanya ada kenaikan 3 bulan dalam rerata lama hukuman penjara dalam vonis untuk koruptor dibanding tahun 2017.
Pada tahun 2017 rerata vonis penjara bagi koruptor ialah 2 tahun 2 bulan. Rinciannya, rata-rata 2 tahun 1 bulan penjara di pengadilan tingkat pertama, 2 tahun 2 bulan bui di tingkat pengadilan tinggi, dan 5 tahun di MA.
Angka rerata lama hukuman penjara bagi koruptor selama 2017 bahkan sama dengan tren yang terjadi pada 2016. Peningkatan dari 2016 ke 2017 hanya terjadi jika melihat rincian rerata vonis di setiap level pengadilan.
Pada 2016, berdasar data ICW, rerata vonis bagi koruptor di pengadilan negeri ialah 1 tahun 11 bulan penjara, 2 tahun 6 bulan di tingkat pengadilan tinggi, dan 4 tahun 1 bulan di MA.
"Vonis hakim dalam perkara korupsi masih rendah," Lalola menyimpulkan.
ICW mengategorikan vonis 1-4 tahun penjara merupakan hukuman ringan bagi koruptor. Adapun vonis level sedang ialah rata-rata 4-10 tahun. Sementara vonis berat semestinya di atas 10 tahun penjara.
Lalola menjelaskan, berdasar hasil pemantauan ICW pada 2018, sebanyak 928 terdakwa korupsi ditangani oleh pengadilan negeri, 208 terdakwa oleh pengadilan tinggi, dan 28 terdakwa oleh MA.
Dari data itu, kata dia, selama 2018 tercatat jumlah terdakwa korupsi yang menerima vonis ringan dari pengadilan tingkat pertama sebanyak 749. Sementara 131 terdakwa lainnya mendapatkan vonis level sedang dan hanya 3 orang menerima vonis berat dari pengadilan tingkat pertama.
Di pengadilan tinggi, pada 2018, tercatat 159 terdakwa menerima vonis ringan, 35 orang dijatuhi vonis sedang dan cuma tiga yang menerima vonis berat.
Sedangkan di MA, selama 2018, ada 10 terdakwa korupsi menerima vonis ringan, 14 mendapat vonis sedang dan 3 saja yang divonis berat.
Bahkan, ICW mencatat ada 21 terdakwa korupsi yang divonis bebas oleh pengadilan negeri, 4 oleh pengadilan tinggi dan satu oleh MA, pada 2018.
Dari keseluruhan perkara yang melibatkan 1.162 terdakwa korupsi itu, kerugian negara tercatat mencapai Rp9,29 triliun. Akan tetapi, menurut Lalola, nilai uang pengganti yang dibebankan ke para terdakwa itu hanya Rp838 miliar atau 7,45 persen dari total kerugian negara.
Menurut catatan ICW, seribu lebih kasus korupsi selama 2018 mencakup pemerasan senilai Rp110 juta, dan penyuapan dengan uang mencapai Rp776 miliar, 218 ribu dolar Singapura, 211.480 dolar AS serta 27.400 ringgit malaysia.
Penelitian ICW dilakukan sejak 1 Januari 2018-31 Desember 2018. Pengumpulan data melalui direktori putusan Mahkamah Agung sebagai sumber utama. Kemudian, mereka menggunakan metode penelusuran berjenjang di masing-masing pengadilan. ICW juga meneliti dokumen KPK dan pemberitaan media.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom