Menuju konten utama

Rio Dewanto: Mengembangkan Karakter Peran Itu Penting

Rio Dewanto berbicara tentang cara keluar dari zona nyaman, apa yang paling membahagiakan dirinya sebagai aktor, hingga isu agraria.

Rio Dewanto: Mengembangkan Karakter Peran Itu Penting
Aktor Rio Dewanto memperlihatkan poster kampanye dukungan kepada petani Indonesia saat memberikan keterangan sebelum berangkat ke Kabupaten Langkat, di Medan, Sumatera Utara, Kamis (8/12). Kedatangan Rio Dewanto untuk memberikan dukungan kepada petani korban konflik yang terjadi pada 18 November 2016, di Desa Mekar Jaya, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan konflik agraria para petani di sana akibat penggusuran lahan. ANTARA FOTO/Septianda Perdana/pd/16

tirto.id - Rio Dewanto adalah salah satu aktor terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Ia dikenal tak segan keluar dari zona nyaman, mencoba berbagai peran. Baik sebagai pelatih sepak bola yang keras, tentara, hingga seorang gay yang ganjen dan gemulai. Peran-peran itu Ia mainkan dengan amat baik.

Tahun ini, Rio kembali memainkan peran Jody, seorang pebisnis yang membangun kafe bernama Filosofi Kopi bersama sahabatnya, Ben (Cicho Jerikho). Lagi-lagi peran itu berhasil Ia lakoni dengan gemilang. Aktor yang mengawali karier sebagai aktor FTV ini berhasil mengembangkan karakter yang berasal dari cerpen, jauh melampaui karakter aslinya.

Nama Rio belakangan juga dikenal karena kepeduliannya terhadap isu agraria. Tirto mewawancarai Rio yang sedang ada di Toraja melalui surel. Rio menceritakan tentang bagaimana upaya untuk keluar dari zona nyaman, hingga keterlibatannya dalam isu agraria.

Film Filosofi Kopi 2 sudah amat berkembang dari cerita pendek Dewi Lestari. Bagaimana proses Anda mengembangkan karakter Jody?

Bersama dengan berkembangnya cerita, karakter Jody ikut berkembang, bahkan di kehidupan nyata. Karena memang treatment awal Filosofi Kopi kan memang menciptakan universe di kehidupan asli. Di sana, pemeran memang bisa merasakan karakter Ben dan Jody secara nyata . Jadi sebenarnya sosok Jody juga tumbuh di diri saya seiring berjalannya waktu, seiring dengan proyek ini berkembang.

Apa yang paling susah dari memainkan dan mengembangkan karakter Jody?

Dialog sama Ben. Jody dan Ben memang cukup sulit dimainkan, dalam arti: bagaimana membuat karakter Ben dan Jody itu tampak seperti karakter sehari-hari dan orang bisa merasakan kalau mereka sedang tidak akting. Bagaimana orang bisa merasakan percakapan Ben dan Jody itu natural. Nah menciptakan kealamian itu sih yang susah. Prosesnya kebanyakan lebih ke hubungan antara Jody dan Ben lebih natural dan tidak pretensius.

Sebagai aktor, apa yang paling membuat Anda bahagia?

Ketika film saya diapresiasi.

Apakah Anda optimis film Filosofi Kopi 2 akan melampaui pencapaian prekuelnya? Baik dari segi jumlah penonton atau segi artistik?

Optimis sih, karena dari skala produksi juga lebih besar, jadi memang ya optimistis. Untuk segi artistik pasti iya, karena secara desain produksi, secara budget juga lebih besar.

Menurut Anda sebagai seorang pemain, apa kekurangan di Filosofi Kopi pertama yang berhasil diperbaiki di sekuelnya?

Kekurangan? agak susah untuk bilang mana kekurangannya karena di setiap produksi film, kami selalu total. Yang membedakan adalah durasi waktu dan kami semua turut berkembang dengan itu. Saat film yang pertama kami fokus sekali dan total melakukan semua yang terbaik. Di film kedua pun demikian. Jadi kalau mau dibandingkan, agak susah, karena kami sama sama total mengerjakannya. Dan secara pendekatan, film yang pertama dan kedua itu berbeda.

Selama bermain film, peran apa yang paling menantang bagi Anda?

Filosofi Kopi ini salah satunya, karena jarak waktunya cukup panjang untuk berada di dalam satu karakter. Dari film yang pertama ke yang kedua kan jaraknya 2 tahunan.

Seperti apa zona nyaman seorang aktor, dan bagaimana cara Anda keluar dari zona nyaman itu?

Menurut saya, ketika dia terpaku dengan satu pendekatan yang cukup monoton, akhirnya tidak membuat dia mencari lagi sesuatu yang kira-kira dia pelajari. Cara keluarnya? ya eksplorasi lebih, mengembangkan karakter tersebut salah satunya. Atau memilih untuk menjadi karakter lain.

Sejak beberapa tahun terakhir, nama Anda juga dikenal sebagai aktivis agraria. Bagaimana proses Anda sampai bisa terjun ke dunia agraria?

Awalnya karena Filosofi Kopi pertama. Film itu membuat saya jadi punya concern dan peduli akan hal-hal itu, dan akhirnya mempertemukan saya dengan teman-teman dari serikat petani, teman-teman dari serikat lingkungan. Dari sana akhirnya terpanggil untuk membantu atau menyuarakan apa yang mereka rasakan dan itu membahagiakan saya. Sebenarnya, Filosofi Kopi ini bukan sekadar film saja, banyak hal-hal dalam diri saya yang cukup berubah dari 2014 hingga sekarang, dan salah satunya soal concern ke dunia agraria itu.

Banyak orang beranggapan miring, bahwa tujuan Anda terjun ke dunia agraria adalah batu loncatan sebelum masuk ke gelanggang politik. Bagaimana tanggapan Anda?

Ya tidak saya tanggepin sih. Banyak sih yang ngirim black message di social media, cuma ya enggak usah saya tanggapin.

Anda sempat berkeliling Indonesia untuk melihat kebun kopi rakyat, menurut Anda bagaimana kondisi perkebunan rakyat di Indonesia?

Rata rata kalau perkebunan kopi sih ekosistemnya sudah cukup sehat dan cukup baik. Meskipun ada satu dua yang secara produktivitas kurang terjaga dan kualitasnya juga (kurang terjaga). Tapi kalau dilihat rata-ratanya cukup baik. Namun banyak perkebunan pangan lain yang mungkin gak diperhatikan di sini sih. Padahal itu yang sebenarnya perlu diperhatikan juga. Ekosistem kopi kan sudah cukup baik, dan semoga ini bisa menyebar tidak hanya di kopi saja. Kita kan punya potensi yang cukup banyak, kokoa, vanila, teh dan sebagainya. Mungkin kopi ini bisa jadi pembelajaran yang positif untuk bisa juga diterapkan di potensi yang lain.

Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ada 105 konflik agraria yang disebabkan proyek infrastruktur. Tahun 2014, angkanya melonjak dua kali lipat lebih, menyentuh 215. Bagaimana Anda melihat semakin banyaknya konflik agraria seperti ini?

Ya tidak menutup kemungkinan nantinya kita akan krisis pangan karena banyaknya konflik seperti ini. Cuma ya saya bukan ahli dalam hal ini juga sebenarnya. Saya terpanggil saat itu karena ada kekerasan yang dilakukan terhadap petani di Langkat. Tapi memang banyak berita atau laporan yang saya dapat juga dari teman-teman serikat petani, bahwa terjadi konflik lahan. Juga dari teman-teman di Jawa Barat , katanya mau dibikin airport tapi statusnya masih belum jelas kepemilikan lahannya.

Nah itu kan sebenarnya tanggung jawab pemerintah untuk bisa memberikan informasi yang jelas bahwa kepemilikan tanah itu sebenarnya milik siapa sih? Terus permasalahannya juga, banyak yang masih status quo, masih dalam proses pengadilan tapi main dijalankan aja proyeknya, kan itu enggak benar juga. Jadi ya banyak ketimpangan dalam hal ini, dan banyak permainan politik juga di dalamnya.

Makanya saya sangat berhati-hati juga untuk mengambil langkah apa yang kira-kira dibutuhkan, apa yang bisa membantu teman-teman petani. Maksudnya ini bukan hanya jadi PR kita aja sih tapi juga tanggung jawab semua warga Indonesia ketika memang ngomongin pangan. Kan kita tiap hari mengonsumsi pangan, makanya kalau krisis pangan juga kita semua ikut merasakan.

Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi konflik ini?

Pada waktu itu Jokowi, saat dia akan naik ke pemerintahan, sempat bilang bahwa dia akan memberikan sertifikat secara cuma-cuma untuk beberapa petani yang sudah menduduki lahan selama berapa tahun. Tapi itu tidak dijalankan. Jadi banyak lah program-program pemerintah yang sebenarnya belum dijalankan sesuai dengan apa yang dijanjikan sebelumnya. Sebaiknya, menjalankan apa yang sudah dijanjikan aja dulu sebelum membuat strategi baru lagi, khususnya untuk sektor pertanian.

Awal tahun 2017, Anda sempat meluncurkan film dokumenter pendek tentang konflik agraria di Langkat. Apa ada rencana membuat film dokumenter serupa dalam waktu dekat?

Kenapa saya membuat, waktu itu juga untuk dokumentasi dan bukti bahwa ada sesuatu yang terjadi di sana, dan ingin menyebarluaskan ke masyarakat. Tapi ya saya banyak belajar juga dari Watch Doc. Menurut saya, mereka punya film-film dokumenter bagus dan sangat inspiratif.

Menurut saya, film dokumenter bisa mengajak masyarakat untuk membangun awareness, dan meningkatkan kepedulian. Kalau suatu saat ada kesempatan lagi untuk menyuarakan sesuatu, saya masih ingin membuatnya.

Baca juga artikel terkait RIO DEWANTO atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Film
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti