tirto.id - Kemelut di Majapahit merupakan novel sejarah yang yang berlatar belakang di Kerajaan Majapahit karya SH Mintarja. Novel Kemelut di Majapahit menjadi salah satu bahan ajar tema cerita sejarah Indonesia dalam mata pelajaran bahasa Indonesia kelas 12.
Novel Kemelut di Majapahit mengisahkan tentang konflik dan kemelut yang terjadi di Majapahit setelah Raden Wijaya menjadi raja.
Peristiwa yang dikisahkan dalam novel sejarahKemelut di Majapahit berpusat pada persaingan di antara istri-istri Sang Prabu (Raden Wijaya) yang menciptakan ketidakharmonisan di istana. Persaingan ini khususnya melibatkan Dyah Gayatri dan Dara Petak, yang menjadi istri kelima Sang Prabu.
Bagaimana konflik antara Dyah Gayatri dan Dara Petak memengaruhi ketidakharmonisan istana? Untuk memahaminya, simak uraian mengenai tokoh dalam cerita dan ringkasan cerita Kemelut di Majapahit berikut.
Tokoh yang Terlibat dalam Cerita Kemelut di Majapahit
Dalam cerita sejarahKemelut di Majapahit melibatkan sejumlah tokoh yang memengaruhi jalannya cerita. Siapa saja tokoh yang terlibat dalam Kemelut di Majapahit?
Tokoh Kemelut di Majapahit diantaranya yakni Raden wijaya atau Sang Prabu Kertarajasa, raja pertama Majapahit yang berhasil merebut kekuasaan dan menjaga stabilitas kerajaan.
Raja ini kemudian menikahi empat putri mendiang Raja Kertanegara antara lain Dyah Tribunan, Dyah Nara Indraduhita, Dyah Jaya Inderadewi, dan Dyah Gayatri. Selain itu, ada pula Dara Petak, seorang putri dari tanah Malayu yang menjadi istri kelima Sang Prabu.
Selain raja dan para istrinya, cerita Kemelut di Majapahit juga menampilkan para senopati kerajaan, terutama Ronggo Lawe yang menjadi sorotan cerita. Ronggo Lawe merupakan salah satu senopati yang setia sejak zaman Prabu Kertanegara.
Selain itu, Kemelut di Majapahit juga menampilkan Patih Nambi yang dipilih Sang Prabu sebagai patih hamangkubumi karena bujukan dari Dara Petak. Keputusan ini menjadi salah satu pemicu ketegangan dan kemarahan Ronggo Lawe.
Dalam cerita juga ditampilkan tokoh lainnya seperti Lembu Sura; dua istri setia Ronggo Lawe yakni Dewi Mertorogo dan Tirtowati; Mego Lamat kuda kesayangan Ronggo Lawe, Senopati Kebo Anabrang (Mahisa Anabrang), dan para senopati kerajaan lainnya.
Rangkuman Cerita Kemelut di Majapahit
Dikutip dari buku Bahasa Indonesia Kelas XII (2018) oleh Maman Suryaman, dkk., berikut ini ringkasan cerita Kemelut di Majapahit.
Setelah Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit pertama bergelar Kertarajasa Jayawardhana, dia memberikan pangkat kepada para senopati yang setia dan banyak membantunya sejak dahulu.
Ronggo Lawe diangkat menjadi adipati di Tuban dan senopati (perwira) lainnya pun diberikan pangkat pula. Dengan sikap demikian, sejak perjuangan pertama hingga menjadi raja, Raden Wijaya dan para pembantunya memiliki hubungan yang baik dan sangat erat.
Di sisi lain, setelah menjadi raja, Sang Prabu lantas menikahi empat putri mendiang Raja Kertanegara. Hal demikian dilakukannya untuk meminimalisir adanya dendam yang mengarah pada perebutan kekuasaan.
Keempat putri tersebut antara lain Dyah Tribunan, Dyah Nara Indraduhita, Dyah Jaya Inderadewi, dan Dyah Gayatri. Si bungsu Dyah Gayatri atau disebut juga Retno Sutawan atau Rajapatni yang berarti terkasih merupakan istri yang paling dikasihi oleh raja.
Posisi Dyah Gayatri sebagai istri terkasih segera tergeser saat raja menikahi seorang putri dari Melayu. Dara Petak, putri dari Malayu, menjadi istri yang kelima. Pasalnya, pasukan Pamalayu yang dikirim oleh mendiang Sang Prabu Kertanegara membawa dua putri dari Malayu, termasuk Dara Petak.
Sejak menikahi Dara Petak, kemelut pun terjadi yang melibatkan persaingan antara istri-istri Sang Prabu, khususnya antara Dara Petak dan Dyah Gayatri. Persaingan tersebut memunculkan ketegangan di istana, khususnya berkaitan dengan perpecahan di kalangan senopati, terutama Ronggo Lawe.
Diceritakan Sang Prabu mengangkat Patih Nambi sebagai pembesar tertinggi setelah raja. Keputusan ini dipengaruhi oleh bujukan Dara Petak, memicu kemarahan Ronggo Lawe yang setia kepada Dyah Gayatri.
Ronggo Lawe marah dan tidak setuju dengan pengangkatan Patih Nambi tersebut. Ketegangan semakin memuncak ketika Ronggo Lawe menyatakan keberatannya secara terbuka di depan Sang Prabu.
Ronggo Lawe datang menghadap Sang Prabu tanpa dipanggil dan dengan tegas menegur keputusan pengangkatan Patih Nambi. Meskipun mengejutkan para senoptai yang hadir, Sang Prabu tetap tenang.
Sang Prabu membela keputusannya dan mengklaim bahwa keputusan tersebut telah dipertimbangkan dengan baik dan disetujui oleh para pembantu dan senopati. Ronggo Lawe tetap keras dalam pandangannya bahwa pengangkatan tersebut tidak tepat.
Konflik semakin memuncak antara loyalitas Ronggo Lawe kepada Dyah Gayatri dan keputusan Sang Prabu. Meskipun suasana tegang, Sang Prabu tetap tenang dan mencoba menyelesaikan perselisihan ini.
Kesimpulan dan Pesan Moral Cerita Kemelut di Majapahit
Secara keseluruhan, cerita Kemelut di Majapahit memberikan gambaran kompleksitas kehidupan di istana kerajaan, dengan berbagai konflik dan intrik kekuasaan.
Pesan moralnya mencakup aspek-aspek kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan kepentingan bersama yang relevan dalam konteks kepemimpinan dan hubungan antar manusia. Berikut ini beberapa pesan moral cerita Kemelut di Majapahit.
1. Bijaksana dalam mengelola kekuasaan
Pengangkatan Patih Nambi sebagai patih hamangkubumi menciptakan ketegangan di kalangan senopati.Pesan moralnya adalah tentang kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan politik dan pemilihan pejabat, serta pentingnya mendengarkan masukan dari berbagai pihak sebelum membuat keputusan besar.
2. Tidak menghakimi orang lain
Sikap Ronggo Lawe yang berani menghadap Sang Prabu untuk menyampaikan keberatannya menunjukkan pentingnya tidak menghakimi orang lain tanpa alasan yang kuat. Pesan moralnya adalah agar setiap tindakan menilai atau mengkritik dilakukan dengan dasar yang jelas dan adil.3. Memahami konsekuensi dari tindakan
Persaingan antara istri-istri Sang Prabu dan pengangkatan Patih Nambi menghasilkan konsekuensi yang merugikan. Pesan moralnya adalah pentingnya memahami konsekuensi dari tindakan, terutama dalam konteks politik dan hubungan interpersonal.4. Tidak mengejar kepentingan pribadi
Penggambaran karakter yang tidak mengharapkan pamrih, seperti Ronggo Lawe, mengajarkan pesan moral tentang pentingnya tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi, tetapi juga kepentingan bersama dan stabilitas kerajaan.Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Dhita Koesno