Menuju konten utama

RI Kekurangan Dokter Spesialis untuk Tangani Penyakit Tak Menular

Kasus Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi penyumbang kematian terbanyak di RI. Perlu ada dokter spesialis dengan jumlah banyak untuk menolong para pasien.

RI Kekurangan Dokter Spesialis untuk Tangani Penyakit Tak Menular
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam telekonferensi pers dari Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (6/1/2021). (Screnshoot/Youtube/Sekretariat Presiden)

tirto.id - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin membahas secara rinci rencana pemerintah melaksanakan transformasi sistem kesehatan dalam negeri dengan diaspora RI yang berkarir di Amerika dan Eropa. Para diaspora diminta membantu Indonesia menyukseskan program tersebut.

Melansir laman resmi Kemenkes, Senin (18/4/2022), pertemuan ini dihadiri oleh Wakil Menteri Kesehatan, Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan, Kepala Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Duta Besar Indonesia untuk Belanda, Inggris Raya dan Jerman.

Kemenkes akan melakukan transformasi layanan primer yang dimulai dengan memperluas infrastruktur kesehatan hingga level rumah atau masyarakat, meningkatkan program promotif preventif, menurunkan angka stunting dan menekan Angka Kematian Ibu (AKI).

“Satu-satu kita bereskan supaya lebih baik lagi,” tutur Menkes Budi secara daring pada Minggu malam (17/4/2022).

Perihal layanan primer, Kemenkes berupaya untuk meningkatkan layanan kesehatan terutama untuk penyakit degeneratif yang menjadi penyumbang kematian tertinggi di Indonesia yakni jantung, stroke, dan kanker.

Pemerintah mendorong setiap daerah memiliki layanan kesehatan dengan jumlah tenaga kesehatan (nakes) dan fasilitas yang memadai. Sehingga, pasien bisa cepat ditangani dan diselamatkan tanpa harus menunggu untuk dirujuk ke daerah lain atau bahkan sampai dirujuk ke luar negeri.

Oleh karena itu, mereka mengatakan kualitas layanan rumah sakit milik pemerintah maupun swasta harus ditingkatkan.

“Ada daerah yang dokter spesialisnya cuma 1 atau 2, ini sangat jauh untuk melayani jumlah populasi di wilayah masing-masing,” ujar Budi.

Kemudian Budi menuturkan bahwa kasus penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia setiap tahunnya bertambah. Karena layanan rujukannya sedikit, antreannya menjadi makin panjang.

“PTM itu kan butuh perawatan yang cepat, kalau waktu tunggunya lama, pantas saja orang pergi keluar. Makanya kita akan segera bereskan,” imbuh Budi.

Pada pelaksanaanya, ketersediaan nakes menjadi tantangan tersediri dalam upaya pembangunan kesehatan di Indonesia. Saat ini jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih sangat kurang.

Menurut World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia, rasio ideal antara dokter dan masyarakat adalah 1:1000 orang. Artinya satu dokter untuk melayani 1000 penduduk di satu wilayah.

Budi pun merinci ketersediaan dokter di Indonesia sekarang hanya ada 101.476 dokter, dengan jumlah populasi sekitar 273.984.400 jiwa, negara ini masih kekurangan sekitar 172.508 dokter. Untuk itu, perlu ada percepatan penambahan jumlah dokter untuk memenuhi rasio tersebut.

“Dengan tingkat kelulusan dokter sebanyak 12 ribu orang per tahun, setidaknya butuh waktu sekitar 10 tahun untuk memenuhi rasio dokter di Indonesia. Kita harus percepat, karena kalau tidak, akan semakin banyak masyarakat yang tidak tertolong,” kata dia.

Di sisi lain, salah satu perwakilan diaspora kesehatan Indonesia di Jerman, dr. Prasti Pomarius mengatakan siap membantu Kemenkes untuk meningkatkan kualitas kesehatan Indonesia yang lebih baik.

“Kami di IASI [Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia] Jerman siap membantu untuk mewujudkan kualitas kesehatan Indonesia yang lebih baik, terlebih saat ini alat-alatnya sudah baik, kini tinggal meningkatkan sumber daya kesehatannya,” tutur Prasti.

Baca juga artikel terkait MASALAH KESEHATAN INDONESIA atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Fahreza Rizky