tirto.id - Salah satu hal yang dikritisi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam 100 hari kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo adalah polisi virtual. Aparat digital itu dinilai menjadi alat represi baru di dunia maya.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Argo Yuwono pun merespons hal tersebut. “Kami ada upaya dan usaha untuk mengedukasi masyarakat, apa yang mereka lakukan, apa yang mereka tulis di media sosial. Kalau ada indikasi melanggar pidana, kami edukasi dahulu,” ujar dia di Mabes Polri, Senin (17/5/2021).
Edukasi yang dimaksud adalah teguran via pesan langsung di akun pemilik. Argo bilang, itu merupakan cara preventif kepada publik ketimbang represif berupa penangkapan. Tujuan edukasi itu agar masyarakat sadar dan paham bahwa ada rambu-rambu di media sosial.
Bahkan si pemilik akun bisa menghapus unggahan yang dinilai berpotensi melanggar pidana itu. “Memberikan edukasi bagian dari tugas pokok Polri yaitu preventif,” sambung dia.
Anggota Divisi Riset dan Pemantauan Kontras Rozy Brilian menyatakan operasi polisi virtual justru bersifat menindak dan mengatur ekspresi warga negara.
Padahal penindakan seharusnya dilakukan kepada mereka yang melakukan tindakan kriminal lewat media sosial. Selama 100 hari kepemimpinan Listyo, kata dia, kondisi penegakan hukum dan HAM yang dilakukan oleh kepolisian tak kunjung membaik.
Kontras melihat praktik-praktik tersebut semakin masif dilakukan di ruang publik maupun digital. "Hal ini kami khawatirkan sebagai pola yang akan terus kembali terjadi, sepanjang kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit selama beberapa tahun ke depan," ujar Rozy.
Satu rekomendasi dari Kontras yakni segera memperbaiki institusi Polri secara signifikan dan revolusioner menuju kepada konsep kepolisian demokratis.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz