Menuju konten utama

Respons Otak dan Tontonan Potongan Daging Manusia

Setelah kejadian bom Kampung Melayu (24/5), warga berkerumun untuk sekadar menyaksikan potongan-potongan daging manusia di TKP, menyusul foto dan video mengerikan sebelumnya di dunia maya. Mengapa orang senang melihat ceceran daging tubuh dan darah manusia?

Respons Otak dan Tontonan Potongan Daging Manusia
Warga memadati lokasi ledakan bom di Terimal Kampung Melayu, Jakarta, Kamis, (25/5). tirto.id/Damianus Andreas.

tirto.id - Bom bunuh diri yang terjadi pada Rabu malam, (24/5) di Kampung Melayu, Jakarta Timur memakan korban 16 orang. Setelah kejadian itu, dunia maya langsung diramaikan foto-foto korban dan video tempat kejadian perkara (TKP). Salah satu video bahkan menunjukkan ceceran tangan korban yang terlepas dari tubuhnya. Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengimbau warga untuk tidak menyebarkannya, tapi foto-foto dan video korban tetap saja menyebar.

Rasa penasaran orang-orang tak berhenti di sana. Dari pantauan Tirto, TKP di Kampung Melayu ramai dipadati warga sejak pagi, sekitar pukul 6.30 WIB Kamis (25/5). Salah satu titik yang paling ramai dikerumuni adalah tempat dijejerkannya serpihan daging dan organ tubuh korban ledakan bom.

"Ya, itu dari warga yang ngumpulin. Karena mungkin semalam nggak kelihatan, jadi tadi pagi beberapa warga menyatukan potongan-potongan yang tercecer," ujar Sulton seorang warga di Kampung Melayu kepada Tirto.

"Takutnya kalau tidak dikumpulkan, nanti malah terinjak atau dimakan kucing," tambah Sulton.

Padahal, mencemari TKP sebelum analisis polisi lengkap dapat dikenai sanksi pidana. Belum lagi, melihat pemandangan sadis punya dampak tak baik bagi psikologi manusia, terutama anak-anak. Lalu, kenapa sebagian orang ini malah senang melihat ceceran daging tubuh manusia dan darah di TKP? Bukankah menakutkan?

Faktanya, otak manusia memang akan lebih mudah terangsang pada hal-hal yang mengancam dirinya atau membuat ia ketakutan. Proses perangsangan “gairah sistem saraf” malah bagi sebagian orang justru akan menikmati sensasi ketakutan itu, sementara sebagian lain merasa tak nyaman.

Cara kerjanya, kurang lebih begini: ketika manusia melihat kejadian tertentu—misalnya ceceran tubuh manusia di TKP ledakan bom bunuh diri—amygdala, pusat kendali emosi manusia di otak akan memindainya sebagai potensi ancaman. Sinyal tersebut kemudian dikirimkan ke sistem saraf simpati untuk memicu reaksi “lawan atau lari”. Saat itu, jantung manusia akan berdetak lebih cepat, tekanan darah meningkat, pupil mata membesar.

Hal ini juga terjadi pada orang-orang yang menonton video-video sadis yang tersebar, atau foto-foto korban. Meskipun Anda sedang duduk aman menonton di rumah, tubuh tetap akan merasakan sensasi sama. Ia adalah hal primitif yang sudah ada di sistem pertahanan manusia sejak lama.

Mekanisme serupa juga terjadi ketika seseorang menonton film horor atau rekaman sadis. Sebagian orang senang dengan sensasi tingginya adrenalin ketika menonton hal tersebut.

Bahkan dalam sebuah studi komunikasi oleh Bridget Rubenking dan Annie Lang (2014), sebagian orang lebih kuat menonton seorang perempuan yang badannya terbelah dua, atau pria yang kerongkongannya digorok ketimbang melihat muntah atau kotoran manusia yang dimain-mainkan. Studi yang sama juga mengungkap kalau tontonan sadis akan melekat lama di ingatan manusia, karena rangsangannya pada sistem saraf manusia untuk mempertahankan hidup. Artinya, pengalaman menyaksikan sesuatu menyeramkan akan jadi kenangan yang terpatri lama di otak.

Infografik Respon otak ketika melihat tayangan menakutkan

Pro-Kontra Tontonan Sadis

Orang-orang yang gemar menonton film horor atau hobi menonton tayangan-tayangan di situs BestGore.com mungkin tak punya masalah ketika ingin menonton TKP bekas kecelakaan lalu lintas atau bekas tragedi pembunuhan, atau tempat lokasi bom bunuh diri. Sehingga, bagi mereka menyebarkan foto-foto atau video bermuatan sadis juga bukan perkara yang besar.Namun, sebagian orang lain mencekal gagasan tersebut. Ketua Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dicky Pelupessy menilai hal itu bukan hal yang bijak dilakukan, sebab hanya menimbulkan rasa tidak nyaman bagi yang melihatnya.

“Kalau maksudnya supaya orang bersimpati melihat korban, belum tentu. Reaksi pertama adalah ‘ngeri’, ada perasaan tidak nyaman,” kata Dicky, seperti dikutip dari Antara.

Gambar tubuh korban juga bisa memicu trauma pada orang yang pernah mengalami kejadian yang mirip atau serupa karena membangkitkan luka. “Belum lagi kalau korban dilihat oleh keluarga, teman atau siapa saja yang mengenali,” tambahnya.

Selain itu, bila foto yang dibagikan adalah korban aksi terorisme, berpotensi meningkatkan rasa takut atas aksi tersebut—sesuatu yang justru diinginkan para teroris. Hal tersebut bisa jadi memicu para teroris merasa di atas angin, dan menyiapkan aksis teror berikutnya.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan orang-orang yang gemar membagikan tayangan sadis adalah poin empati. Mungkin ada kesenangan tersendiri yang muncul ketika melihat atau merekam gambar-gambar seperti itu. Namun, bagi keluarga korban, foto-foto atau video tersebut pasti akan sangat merugikan dan membuat trauma.

“Mari berempati dan menjaga perasaan mereka (keluarga korban) dengan menjadi bagian dari orang yang lebih bertanggung jawab terhadap penggunaan media sosial kita,” imbau Dicky.

“Tidak ada pentingnya, manfaatnya, selain hanya memunculkan rasa takut atau ngeri,” tambah Dicky.

Baca juga artikel terkait BOM KAMPUNG MELAYU atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra