Menuju konten utama

Rencana Tarawih Bersama Gubernur DKI di Monas Dikritik Banyak Ormas

Rencana Pemprov DKI itu bisa dianggap politis, terlebih sudah ada masjid besar di samping Monas.

Rencana Tarawih Bersama Gubernur DKI di Monas Dikritik Banyak Ormas
Sejumlah warga melaksanakan salat Tarawih di atas Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Mushola Miftahul Jannah di kawasan Pasar Gembrong, Jakarta, Kamis (17/5/2018). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Sandiaga Salahuddin Uno mendapat banyak masukan terkait rencana salat Tarawih berjemaah yang hendak digelar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Sabtu malam, 26 Mei mendatang. Masukan itu akan ditampung Pemprov DKI sebagai bahan pertimbangan untuk membatalkan atau melanjutkan rencana salat berjemaah ini.

Wakil Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan Pemprov DKI tak akan memaksakan diri jika tak mendapat saran dari ulama. “Kami tentunya akan bicarakan, diskusikan, dan kami ambil keputusan bersama dengan mengundang para ulama,” ucap Sandiaga di Lapangan IRTI, Monas, Senin pagi (21/5/2018).

Sandi mengklaim acara ini bertujuan membangun silaturahmi, menyatukan umat, dan mempererat ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam). Terlebih selama ini, Sandi bilang, Monas sudah sering menjadi tempat untuk menggelar acara keagamaan mulai dari Maulid Nabi Muhammad SAW, istigosah, dan kegiatan sejenis.

“[Tarawih] ini adalah salah satu harapan yang kami coba implementasikan,” ujar Sandiaga.

Buat menyukseskan acara ini, Sandi menyebut, Biro Pendidikan, Mental dan Spiritual (Dikmental) Pemprov DKI sudah menyiapkan hal teknis berkaitan dengan penyelenggaraan acara. Seperti berkoordinasi dengan kepolisian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta organisasi kemasyarakatan Islam di Jakarta.

Ada Istiqlal, Buat Apa Monas?

Surat koordinasi itu pun sudah sampai di kantor MUI, pertengahan pekan lalu. Isinya, meminta salah satu anggota MUI menjadi imam salat isya sekaligus Tarawih di acara tersebut.

Isi surat itu dianggap Ketua Komisi Dakwah MUI Cholil Nafis seperti lelucon. Ia menyebut, alasan yang diberikan Pemprov DKI untuk membangun persatuan membuat dirinya ragu, terlebih tak jauh dari Monas berdiri terdapat Masjid Istiqlal yang mampu menampung jemaah hingga 200 ribu orang.

“Salat di lapangan sepertinya kurang elok sementara masih ada masjid besar sebelahnya yang bisa menampungnya,” ucap Cholil saat dihubungi Tirto, Senin (21/5/2018).

“Sebab sebaik-baiknya salat itu di masjid karena memang tempat sujud. Nabi SAW bahkan selama ramadan itu itikaf di masjid bukan di lapangan,” ucap Cholil melanjutkan.

Ia balik meminta masyarakat dan Pemprov DKI jernih menggunakan logika tentang urgensi salat Tarawih berjemaah bersama Gubernur tersebut, lantaran salat Tarawih merupakan salat malam yang oleh Nabi Muhammad dicontohkan dilakukan sembunyi-sembunyi dan hanya beberapa kali di masjid.

Ia khawatir, rencana Pemprov DKI itu justru menimbulkan kesan ria dan membuat ibadah tersebut berkurang pahalanya. “Makanya kalau salat di Monas karena persatuan sama sekali tak ada logika agamanya dan kebangsaannya. Pikirkan yang mau disatukan itu komunitas yang mana?” ujarnya.

Lebih lanjut, Cholil mengatakan tak ada yang perlu dipersoalkan terkait ukhuwah Islamiyah di Indonesia. Kendati banyak perbedaan pandangan di antara komunitas muslim atau organisasi kemasyarakatan Islam, toh persatuan tetap terjaga dan perbedaan dapat dimaklumi dan tak menyebabkan konflik horizontal.

“Yang mau disatukan dengan salat Tarawih itu komponen yang mana? dan yang tak satu yang mana?” tanya Cholil.

“Kalau soal jumlah rakaat yang berbeda, sudah dipahami dengan baik bahwa yang 8 rakaat atau yang 20 rakaat bisa salat bareng, hanya yang 20 kemudian meneruskan,” ucap Cholil.

Kesan Politis dalam Salat di Monas

Tanggapan serupa dengan Cholil disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti. Ia berpandangan kegiatan salat Tarawih berjemaah di Monas malah dapat menimbulkan persepsi negatif mengingat publik tengah dihadapkan potensi polarisasi di 2019.

“Salat Tarawih bersama Gubernur di Monas dalam konteks luas dan jangka panjang, menimbulkan kesan politis,” katanya kepada Tirto.

Tak hanya itu, Abdullah Mu’ti mengatakan, salat Tarawih bersama gubernur ini akan menjadi preseden untuk acara serupa dan acara-cara lain yang digelar agama lainnya.

Sementara Ketua PBNU Robikin Emhas setuju dengan yang diutarakan Cholil Nafis. Terlebih, menurut dia, masjid-masjid dibangun dengan tujuan untuk mensyiarkan Islam, serta dapat terbebas oleh kesan politik praktis.

“Keutamaan salat di masjid juga sudah banyak disampaikan para ulama. Jangan tinggalkan masjid dan berusaha mensyiarkan Islam di tempat lain. Lebih baik kita makmurkan masjid-masjid dengan cara terhormat. Termasuk untuk salat Tarawih,” ujarnya.

Dibatalkan

Tak berselang lama, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno akhirnya menyampaikan bahwa kritik dari kalangan Ulama dan Ormas Islam telah dibahas bersama Gubernur Anies Baswedan. Ia mengatakan salat Tarawih berjamaah itu rencananya dipindahkan ke Masjid Istiqlal.

“Kami lagi coba berkoordinasi dengan Masjid Istiqlal, apakah bisa melakukan suatu koordinasi supaya Tarawihnya bisa dilakukan di Masjid Istiqlal," ujar Sandi, Senin siang.

Menurut Sandiaga, sebelumnya koordinasi terkait penyelenggaraan acara tersebut dilakukan oleh Biro Pendidikan, Mental dan Spritual DKI Jakarta (Dikmental). Termasuk, kata dia, saran dari para ulama untuk mengadakan shalat Tarawih berjamaah di Monas.

Sayangnya, Sandiaga enggan menyebutkan ulama mana saja yang mengusulkan penyelenggaraan acara tersebut. Ia hanya menyampaikan bahwa rencana shalat Tarawih di Pemprov dianggap dapat mempersatukan dan mempererat ukhuwah umat Islam.

“Ide itu tentunya masuk dari berbagai sumber ke kami. Juga datang dari beberapa ustaz yg kami temui dan ini yang menarik adalah karena ada sebagian yang menyatakan bahwa ada satu kebersamaan tersendiri kalau di Monas,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PROGRAM ANIES-SANDI atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani