tirto.id - Rencana pemerintah mengakomodasi reklamasi Teluk Jakarta dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur) menuai penolakan.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Muladi menyebut, pemerintah harusnya menjadikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai pijakan membuat aturan soal reklamasi.
"Perencanaan ruang laut mestinya ikuti amanat UU Kelautan dan yang terpenting ruang untuk nelayan jangan dilupakan," kata Yoga di Kantor Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Indonesia (KAHMI), Jakarta, Senin (30/4/2018).
Rencana revisi Perpres 54/2008 untuk mengatur reklamasi terungkap setelah Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Kemaritiman Ridwan Djamaluddin berkomentar. Menurut Ridwan, reklamasi Teluk Jakarta tak boleh terhenti karena termasuk bagian rencana strategis nasional.
Pembangunan pulau buatan di pesisir ibu kota terhenti setelah Gubernur DKI Anies Baswedan mencabut Rancangan Peraturan Daerah Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Perda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZPW3K).
"Rekomendasi Komisi IV tetap konsisten menolak reklamasi Teluk Jakarta. Tapi nanti kami lihat perkembangannya karena sejak 1995 Teluk Jakarta selalu jadi polemik. Kalau tak ada aturan yang pasti, tafsirnya bisa macam-macam," kata Yoga.
Menurut Pakar Hukum Kelautan dari Universitas Padjadjaran, Maret Priyanta, pengaturan soal pulau buatan harus didahului dengan pembahasan nasib nelayan. Ia menekankan pentingnya produk hukum yang mengatur karakteristik, peran, serta hak dan kewajiban nelayan.
Pengaturan soal nelayan, menurut Maret, harus dilakukan pemerintah daerah sebab karakter nelayan tiap wilayah berbeda-beda.
"Untuk melindungi nelayan, daerah harus berani memberi entitas yang isinya karakteristik nelayan, wilayah kemanfaatan. Kedua, pemanfaatan ruang baik sumber daya manusia dan alam sebenarnya harus menjadi bahan pembahasan," ujar Maret.
Pendapat lain dikemukakan Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata. Menurutnya, Pemprov DKI harus memberi akses bagi nelayan untuk memanfaatkan sumber daya laut dan ruang kehidupan di pesisir.
Marthin konsisten dengan sikap organisasinya yang menentang reklamasi Teluk Jakarta. Namun, ia mengakui bahwa kondisi pesisir ibu kota sudah terlampau kritis akibat pencemaran.
"Kami mendesak agar Perda RZWP3K dicabut dan ada pembahasan ulang, memastikan bahwa hak nelayan dilindungi. Saya kira sampai saat ini belum ada proses itu diulang kembali [oleh Pemprov DKI]," kata Marthin.
Pendapat Marthin senada dengan Tigor Hutapea, kuasa hukum KNTI. Tigor pernah berpendapat bahwa sikap Anies soal penghentian reklamasi tak lagi sekokoh saat masa kampanye.
Menurut Tigor, sikap Anies soal reklamasi tercermin dari program-program yang disusun dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2022.
Draf RPJMD yang mereka unduh dari situsweb bappeda.jakarta.go.id hanya mencantumkan rencana audit lingkungan terhadap pulau-pulau yang saat ini telah terbentuk
"Niat besar menghentikan reklamasi tak terlaksana dengan tindakan yang benar karena mereka membiarkan perda itu seperti awal yang minim akomodasi," kata Marthin.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dipna Videlia Putsanra