Menuju konten utama

Anies Tak Lagi Serius Menolak Proyek Reklamasi?

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mulai irit berkomentar soal reklamasi Teluk Jakarta.

Anies Tak Lagi Serius Menolak Proyek Reklamasi?
Eskavator sedang bekerja di tanah proyek Reklamasi Pulau D, Jakarta, Kamis (25/1/2018). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Selasa siang (24/4/2018), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat kembali menyinggung persoalan reklamasi saat memberikan sambutan dalam acara tasyakuran satu tahun Ustadzah Peduli Negeri di Balai Kota Jakarta.

“Reklamasi masih ramai. Dan saya sampaikan ke semua, kami konsisten soal reklamasi, enggak akan [setuju reklamasi]. Jangan harap kami pernah bergeming,” kata Anies.

Selepas berbicara di acara tersebut, Anies menolak berkomentar saat awak media mencecarnya dengan pertanyaan soal langkah yang akan diambil untuk menghentikan reklamasi. Janji menghentikan reklamasi ini memang paling "alot" dibandingkan janji Anies saat kampanye soal DP Nol Rupiah atau menutup Hotel Alexis yang lebih dulu direalisasikan.

Sikap Anies yang irit berkomentar soal reklamasi malah mendapat penilaian miring. Tigor Hutapea selaku kuasa hukum Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia, yang mengadvokasi nelayan teluk Jakarta, berpendapat sikap Anies soal penghentian reklamasi tak lagi sekokoh saat masa kampanye. Menurut Tigor, sikap Anies soal reklamasi juga tercermin dari program-program yang disusun dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2022.

Menurut Tigor pada draf RPJMD yang mereka unduh dari situsweb bappeda.jakarta.go.id hanya mencantumkan rencana audit lingkungan terhadap pulau-pulau yang saat ini telah terbentuk. Tirto juga mencoba melakukan pencarian pada laman yang sama, hasilnya pun juga nihil.

“Tidak ada rencana detail bagaimana membahas penghentian reklamasi dan mengembalikan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat laut yang diuruk itu,” kata Tigor saat dihubungi Tirto, Rabu sore (25/4/2018).

Selain tidak ada rencana detail, Tigor mengaku, koalisi nelayan dan masyarakat tak pernah dilibatkan dalam pembahasan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWPPPK), padahal raperda ini bersama Raperda Rancangan Tata Ruang Kawasan Strategis menjadi alasan hukum pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Tigor dari lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dua Raperda yang direvisi itu mengakomodasi keberadaan tiga pulau reklamasi yakni C, D dan G. Tiga pulau itu, kata dia, bakal dikategorikan ke dalam kawasan pemanfaatan umum. Menurutnya, hal itu sama saja memberi jalan bagi pengembang meneruskan rencana pembangunan.

Nah, ini yang justru bisa menambah daya rusak. Karena perumahan, kantor, itu kan harus membuang limbahnya ke laut lagi,” kata Tigor.

Deputi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) ini juga menilai belum ada perubahan signifikan atas keberlangsungan reklamasi setelah Anies-Sandi berkantor di Balai Kota.

Pelaksanaan reklamasi untuk 17 pulau memang telah mandek sejak moratorium dilakukan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman pada April 2016. Namun, pembangunan di atas dua pulau tersebut tak pernah berhenti bergeliat.

Ia mengklaim kegiatan truk-truk pengangkut pasir dan bahan bangunan masih mondar-mandir melalui jembatan yang menghubungkan Pulau D dengan perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. Tiang-tiang beton terus disuntik ke tanah dan bangunan-bangunan baru terus bermunculan.

“Selama ini, kami melihat Anies-Sandi hanya mendiamkan pelanggaran yang dilakukan pengembangan, padahal jelas mereka belum melengkapi izin-izin untuk membangun kawasan itu,” ucap Tigor.

Hingga saat ini upaya terkini Anies "tak mengakui" hasil lahan dari kegiatan pengurukan tanah dalam reklamasi Teluk Jakarta yang sudah terjadi hanya terlihat dari penerbitan Pergub Nomor 24 Tahun 2018 tentang harga tanah (NJOP) di Jakarta. Dalam beleid yang ditandatangani pada 23 Januari itu, ketiga pulau yang telah muncul C, D dan G, tidak dimasukkan sebagai objek pajak di DKI.

Anies menganggap pulau-pulau itu tidak ada meski sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dua pulau, C dan D, sudah dipegang pengembang PT Kapuk Naga Indah dan deretan rumah kantor (rukan) serta hunian mewah telah tumbuh di atas pulau buatan itu.

Menurut Tigor, tidak dimasukannya pulau-pulau itu sebagai objek pajak wajar. “Karena peruntukannya kan memang belum jelas. Bagaimana mau dimasukkan [ke dalam Pergub NJOP],” imbuhnya.

Infografik current issue anies sandi

Hambatan di Perda Tata Ruang

Kepala Bidang Kelautan di Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (DKPKP) DKI Jakarta Sri Wahyuni menyebut bahwa instansinya masih membahas rancangan Raperda RZWPPPK seperti diperintahkan Anies Baswedan.

“Nanti drafnya kami kirim ke Bampemperda (Badan Pembentukan Peraturan Daerah) untuk masuk dalam program legislasi daerah 2018,” ucap Sri saat dihubungi Tirto.

Sri enggan memberi penjelasan lebih detail terkait pembahasan draf tersebut dan kapan target Raperda itu bakal diselesaikan. “Yang jelas tahun ini,” ucapnya singkat.

Ia juga menolak memberi klarifikasi soal dimasukannya Pulau C, D dan G ke dalam Raperda Zonasi. Sementara bawahannya, Kepala Seksi Tata Kelola, Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Sartono, sama sekali tak mengangkat telepon saat Tirto mencoba menghubunginya. Pesan WhatsApp yang kami kirim juga tidak dibalas meski telah terbaca.

Jika melihat aturan-aturan yang telah dikeluarkan pemerintahan sebelumnya, kemungkinan tiga pulau reklamasi yang telah ada akan tetap dimasukkan dalam draf RPZWPPK memang sangat besar. Sementara 14 pulau lainnya, yang belum terbentuk, dapat disesuaikan dengan Undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Ihwal peruntukan wilayah pulau C dan D untuk permukiman, misalnya, sangat mungkin dilakukan dengan merujuk Perda Nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Sebab, dalam aturan itu, peruntukan kawasan pulau reklamasi untuk permukiman juga telah tercantum dalam lampiran gambar peta zonasi.

Reklamasi berupa 17 Pulau di Teluk Jakarta juga dijelaskan dalam pasal 108 Perda Nomor 1 tahun 2012 yang bunyinya: “Reklamasi berbentuk pulau dengan lebar literal sesuai Perpres nomor 54 tahun 2008…” Artinya, jika keberadaan pulau itu mau dihilangkan atau diubah peruntukannya, Perda tersebut harus ditinjau ulang dan direvisi terlebih dahulu.

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikomendus Simamora menyarankan agar Anies melibatkan masyarakat untuk membahas tumpang tindih aturan tersebut.

Selain itu, Pemprov DKI juga perlu berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menyusun Peraturan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Puncak-Cianjur (Jabodetabekpunjur).

“Gubernur perlu membuat kebijakan untuk pemulihan lingkungan hidup di wilayah Teluk Jakarta, termasuk untuk pulau-pulau yang terbentuk [sebaiknya] digunakan menjadi hutan bakau,” kata Neslon.

Baca juga artikel terkait REKLAMASI TELUK JAKARTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih