Menuju konten utama

Relokasi Pabrik Bukti Pemerintah Gagal Mengatasi Kesenjangan Upah

Puluhan industri padat karya merelokasi pabriknya dari Banten dan Jawa Barat karena terbebani tingginya upah.

Relokasi Pabrik Bukti Pemerintah Gagal Mengatasi Kesenjangan Upah
Ribuan buruh dari berbagai aliansi buruh berunjuk rasa di depan Kantor Walikota Batam, Kepulauan Riau, Kamis (29/9). Dalam unjuk rasa tersebut para buruh menuntut pencabutan PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan serta kenaikan upah minimum kota Batam tahun 2017 sebesar Rp650 ribu dan penghapusan UU Tax Amnesty. ANTARA FOTO/M N Kanwa/pd/16.

tirto.id - Sejumlah perusahaan padat karya di Banten, termasuk produsen sepatu dan alas kaki lain, merelokasi pabrik ke Jawa Tengah. Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menyebut ada 25 perusahaan yang melakukan itu bulan lalu.

Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri Anom mengatakan salah satu alasannya adalah angka upah minimum yang terlampau tinggi. Nominalnya juga akan naik tahun depan.

"UMK (upah minimum kabupaten/kota) naik bikin tidak kompetitif. Maka industri cari daerah [lain] agar tetap kompetitif," kata Firman kepada reporter Tirto, Senin (18/11/2019).

Kompetisi yang Firman maksud tidak hanya di antara produsen dalam negeri saja, tapi juga perusahaan dari negara ASEAN lain seperti Vietnam dan Kamboja.

Saat ini upah minimum di Banten berada di kisaran Rp3,8-3,9 juta. Sementara upah di Jawa Tengah Rp2 jutaan.

Memang di sisi lain pemindahan pabrik tidak menyelesaikan masalah serta merta. Setelah pindah, perusahaan harus melatih buruh-buruh dulu sebelum bisa berproduksi maksimal.

Tapi, katanya, pengusaha lebih memilih mengorbankan biaya dan waktu untuk itu ketimbang bertahan di Banten.

Jauh sebelum industri alas kaki, pengusaha di sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) juga sudah lama mengeluhkan hal serupa.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman mengatakan pemindahan pabrik dari Banten ke Jawa Tengah sudah terjadi sejak empat tahun lalu.

"Karena UMR. UMR Jawa Tengah dan Jawa Barat 1 banding 2,” ucap Ade kepada reporter Tirto.

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat mencatat sepanjang Januari 2018 sampai September 2019, ada 188 perusahaan TPT yang merelokasi pabrik ke Jawa Tengah. Sekitar 68 ribu lebih buruh terkena PHK.

Faktor lain yang membuat pabrik di relokasi adalah banyaknya demo buruh. Pengusaha, kata Ade, tidak mau mengambil risiko karena instabilitas akibat demo.

Direktur Riset Center of Economic and Reform (CORE), Piter Abdullah mengatakan pemindahan pabrik akan memengaruhi produk domestik regional bruto (PDRB) daerah. Wilayah yang ditinggalkan PDRB-nya mungkin berkurang dan vice versa.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sumbangsih industri pengolahan terhadap PDRB di Banten terus turun, dari semula 34,70 persen pada 2014 menjadi 31,20 persen pada 2018.

Sumbangsih industri pengolahan di Jawa Barat juga mengalami penurunan mulai tahun 2014 yang masih menyentuh 43,64 persen dan menjadi 42,49 persen pada tahun 2017.

Kegagalan PP 78

Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono menolak narasi relokasi karena tuntutan buruh terhadap upah layak.

Menurutnya relokasi justru bukti gagalnya Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. PP ini justru melanggengkan ketimpangan upah minimum antardaerah.

"PP 78 tahun 2015 tidak membuka kesempatan daerah-daerah yang masih rendah [upahnya] untuk mengejar," kata Kahar kepada reporter Tirto.

Kahar lantas menilai relokasi belum tentu menyelesaikan masalah yang dikeluhkan pengusaha. Alasannya sederhana, buruh-buruh di sana akan melakukan hal yang sama dengan buruh di Jawa Barat: terus-menerus menuntut upah layak.

"Ke mana pun dia relokasi, tuntutan buruh menaikkan upah akan muncul," kata Kahar.

Ia lantas memperkirakan pengusaha yang sudah merelokasi pabrik ke Jawa Tengah akan mengeluhkan hal yang sama tiga sampai lima tahun ke depan.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI TEKSTIL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana