tirto.id - Dalam dua pekan terakhir, laporan angka kematian harian akibat COVID-19 menanjak hingga memecahkan rekor. Kenaikan ini beriringan dengan lonjakan kasus baru yang rata-rata di atas 10 ribu per hari hari.
Pada 12 Januari 2021, 10 bulan sejak kasus COVID-19 pertama diumumkan, angka kematian harian untuk kali pertama lebih dari 300, tepatnya 302. Setelah itu kematian per hari hampir selalu di atas 200, kecuali 24 Januari sebanyak 171.
Penambahan angka kematian pun terus mencapai titik tertinggi. Jumlah kematian harian mencapai 306 pada 13 Januari, lebih banyak empat orang dibanding sehari sebelumnya. Beberapa hari kemudian, tepatnya 19 Januari, angka kematian mencatatkan rekor lagi, 308. Rekor pecah hanya dua hari setelahnya yakni 21 Januari dengan 346 kematian. Sepekan kemudian, 27 Januari, rekor kembali pecah dengan 387 kematian. 24 jam setelahnya rekor kembali pecah dengan penambahan 476.
Jika dihitung dari 12-28 Januari saja, rata-rata kematian per hari sebanyak 293. Sedangkan total kematian sudah mencapai 29.331 dari total kasus terkonfirmasi positif sebanyak 1.037.993.
Masdalina Pane dari Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia (PAEI) menjelaskan kepada reporter Tirto, Kamis (28/1/2021), tingginya kematian karena pandemi menunjukkan dua hal, yaitu “kasus terlambat diketahui sehingga ditemukan dalam kondisi berat dan kritis atau akses terhadap fasilitas kesehatan terhambat.”
Sementara epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan tingginya angka kematian dan pandemi yang sudah tak terkendali ini adalah buah dari deteksi dini dan testing, tracing, serta treatment (3T) yang masih sangat minim.
Testing yang minim dapat dilihat setelah membandingkan Indonesia dengan negara lain yang jumlah kasusnya mirip. Contohnya Peru. Per 28 Januari 2021 mereka mencatatkan 1.113.970 total kasus telah melakukan 185.845 testing per 1 juta penduduk. Lalu Ukraina yang memiliki 1.206.412 kasus telah melakukan testing kepada 141.902 per 1 juta penduduk. Sementara Indonesia hanya 32.875 per 1 juta penduduk, itu pun masih terkonsentrasi di Jakarta.
Sementara minimnya treatment dapat dilihat dari data harian tingkat okupansi rumah sakit yang mulai penuh dan sebagian pasien COVID-19 tak bisa mendapatkan perawatan yang memadai. “Yang paling mengkhawatirkan angka kematian terus meningkat dan bisa jadi bulan depan faskes kolaps, sudah tidak kuat,” ujarnya.
Dengan kondisi yang darurat seperti ini, Indonesia sudah butuh kebijakan ekstra. “Kalau saja situasi di Indonesia ini terjadi di negara lain yang terkendali, maka sudah totally lockdown,” kata Dicky.
Masalahnya, yang terjadi saat ini justru strategi penanganan tak tepat dan cenderung setengah-setengah. Ia bahkan menilai kebijakan pemerintah selama ini turut berkontribusi terhadap pemburukan pandemi, mulai dari pelonggaran libur panjang, pilkada, hingga kebijakan lain yang memicu protes publik dalam bentuk kerumunan.
Pada bulan ini Presiden Joko Widodo setidaknya sudah dua kali mengatakan Indonesia berhasil mengendalikan pandemi COVID-19 dan dampak yang ditimbulkan, klaim yang berbeda dari fakta di lapangan.
Namun bukan berarti pemerintah tidak berupaya apa apa. Menteri Kesehatan misalnya mengeluarkan surat yang isinya instruksi menambah kapasitas perawatan, lalu memperlonggar izin kerja bagi para perawat baru lulus.
Pemerintah juga menyiapkan strategi karantina terbatas hingga tingkat mikro, kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Muhadjir mengatakan penerapan karantina wilayah terbatas sampai lingkup rukun tetangga dan rukun warga adalah permintaan langsung Jokowi.
“Kami akan terus atur. Sebetulnya Presiden sudah memesan agar sungguh-sungguh diterapkan karantina terbatas, kemudian isolasi mandiri, dan kalau tidak memungkinkan dilakukan isolasi kolektif secara terpusat,” kata Muhadjir dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (27/1/2021).
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino