Menuju konten utama

Rekonsiliasi Elite Pasca-Putusan MK: Memang Rakyat Dapat Apa?

Wacana rekonsiliasi ini sebatas upaya negosiasi politik antara kedua kubu untuk bagi-bagi kekuasaan antara si menang dan si kalah.

Rekonsiliasi Elite Pasca-Putusan MK: Memang Rakyat Dapat Apa?
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Prabowo Subianto (kedua kanan) berpelukan disela menyaksikan Pencak Silat Asian Games 2018 di di Padepokan Pencak Silat di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Rabu (29/8). ANTARA FOTO/Kumparan/INASGOC/Aditia Noviansyah/pras/18.

tirto.id - Wacana rekonsiliasi antara dua kubu yang bertarung dalam Pilpres 2019 sudah muncul tiga hari setelah pencoblosan pada 17 April lalu. Isu rekonsiliasi sempat hilang tapi kembali muncul ke publik jelang putusan MK atas PHPU Presiden 2019.

Banyak pihak yang menilai rekonsiliasi penting dilakukan untuk membikin akur dua kubu setelah konflik panjang Pilpres 2019. Namun, anggapan itu dianggap tak demikian oleh para aktivis yang beberapa kali mengeluarkan pernyataan soal relevannya menjadi golput dalam Pilpres 2019 seperti Haris Azhar dan Asfinawati.

Haris yang merupakan Direktur Eksekutif Kantor hukum dan HAM Lokataru, merasa skeptis dengan wacana rekonsiliasi ini, apalagi belum jelas apa masalah mendasar yang harus diperbaiki dengan rekonsiliasi ini.

“Apa rekomendasinya terhadap kebaikan negara dan rakyat? Mereka [kedua kubu] sendiri juga harus sadar masalahnya apa. Ditambah, rakyat juga belum tentu dilibatkan,” kata Haris saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (27/6/2019) sore.

Rekonsiliasi ini, kata Haris, jadi makin jauh dari harapan lantaran masing-masing kubu tak pernah menjadi wakil rakyat. “Hanya mewakili identitas masing-masing saja,” lanjutnya.

Haris balik curiga wacana rekonsiliasi ini sebatas upaya negosiasi politik antara kedua kubu untuk bagi-bagi kekuasaan antara si menang dan si kalah.

“Kalau saya curiga ini cuma bentuk negosiasi, saling dapat apa mereka pasca-Pilpres 2019, Hanya dibungkus pakai rekonsiliasi,” katanya.

Oleh karena itu, Haris kembali menegaskan perlu jelas terlebih dahulu apa masalah dan siapa yang diwakili jika hendak menggelar rekonsiliasi. Jika tidak jelas, kata Haris, wacana rekonsiliasi ini semakin terlihat sebagai negosiasi politik saja.

“Kalau mau dilihat sebagai masalah bangsa, ini harus dibuka ke publik. Kalau enggak, ya, hanya negosiasi politik saja. Asumsi saya justru ini hanya rekonsiliasi 01 dan 02 antarkontestan pemilu saja,” kata Haris.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga punya pendapat serupa. Menurut Asfin, sapaannya, wacana rekonsiliasi ini hanya menguntungkan elite politik saja dan belum tentu berpengaruh untuk rakyat.

“Sejak awal ini pemilu elite. Pemilunya penguasa dan pengusaha. Sistem politik saat ini membuat rakyat [biasa] tidak pernah bisa mengusulkan calonnya. Dalam konteks ini, siapa pun yang menang, rakyat tetap kalah,” kata Asfin kepada reporter Tirto, Kamis malam.

Ia mengatakan sistem politik saat ini tak hanya salah secara hak dan prosedur, tapi juga tak akan memberikan perubahan lebih setelah pemilu. Oleh karena itu, jika rekonsiliasi tetap berjalan tanpa tahu apa problem utama rakyat dan tak melibatkan rakyat, akan sia-sia.

“Yang digusur tetap digusur, yang di-PHK tetap di-PHK, kelompok minoritas tetap jadi korban. Rekonsiliasi yang sekarang seolah diperlukan karena para elite dan antek-anteknya itu membuat berbagai narasi yang memecah-belah,” kata Asfin.

Masih Perlu, Tapi...

Meski begitu, Asfin berkata, rekonsiliasi hanya perlu dilakukan pada aspek tertentu saja yakni buat meredam konflik masyarakat. Ini lantaran, pemilu kali ini tak memberikan apa-apa selain permusuhan di antara masyarakat.

Secara terpisah, pengajar politik dan pemerintahan di UGM, Arya Budi juga punya pandangan tak berbeda jauh dari Haris dan Asfin. Ia menggarisbawahi rekonsiliasi bisa dilakukan asalkan para elite betul-betul paham masalah yang ada di tataran akar rumput.

“Pilpres 2014 dan 2019 telah membikin polarisasi semakin mengkristal. Kalau enggak diselesaikan di level akar rumput ini akan mengganggu pemerintahan siapa pun yang berjalan,” kata Arya.

“Yang perlu direkonsiliasi oleh para elite adalah menyatukan warga yang belah.”

Pun jika rekonsiliasi jadi dilakukan, kata Arya, bukan berarti daya kritis menjadi hilang. Ia tetap berharap masyarakat tetap kritis terhadap pemerintah.

“[Rekonsiliasi] Jangan mengganggu nalar warga negara dalam bernegara. Jangan sampai Jokowi ingin menyatukan semua untuk jadi tiran dan monopolitik seperti Orde Baru,” tegas Arya.

Dua Kubu Tetap Ingin Rekonsiliasi

Sementara itu, Sekjen PKB Hanif Dhakiri, sebagai perwakilan salah satu partai yang masuk dalam koalisi Jokowi-Maruf, menilai rekonsiliasi tetap perlu dilakukan untuk kepentingan bangsa.

“Rekonsiliasi kan tentu jadi kepentingan kita semua sebagai sebuah bangsa,” kata Hanif saat ditemui, Kamis pagi.

Hanya saja, kata Hanif, perlu dicarikan format yang tepat akan seperti apa rekonsiliasi dijalankan.

“Tentu nanti akan dibicarakan oleh teman-teman di koalisi dan tentunya dengan Pak Jokowi juga,” katanya.

Hal serupa juga diucapkan Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso, sebagai perwakilan salah satu partai yang masuk dalam koalisi Prabowo-Sandiaga. Priyo menilai rekonsiliasi menjadi usulan yang bagus.

“Ada yang usulkan agar siapa pun yg yang menang, kita tetap bersatu. Itu pendapat bagus,” kata Priyo saat ditemui Kamis sore.

Meski begitu, kedua kubu tak menjelaskan secara detail masalah apa yang harus diselesaikan lewat rekonsiliasi ini.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Mufti Sholih