tirto.id - Pulau Sulawesi telah menjadi "rumah" bagi setidaknya 373 perusahaan tambang. Mereka mengeksploitasi mineral dari seluruh penjuru Celebes—nama lama Sulawesi—yang berada di daerah kepulauan besar hingga kecil dengan total luas area tambang yang besar. Sebagian besar perusahaan mengeksploitasi mineral nikel yang kaya di Sulawesi.
Mineral mentah, termasuk nikel, yang dieksploitasi tak lagi dapat diekspor sejak pemerintah Indonesia melarang pada Januari 2014 dan mendorong ada pembangunan perusahaan pengolah dan pemurnian (smelter). Hingga akhir 2019, sudah ada 11 smelter nikel beroperasi dan 25 smelter lain dalam proses pembangunan.
Dua smelter nikel di antaranya tengah menjadi sorotan karena berusaha membawa masuk 500 tenaga kerja asing (TKA) asal Cina, negara episentrum pandemi COVID-19 di dunia. Kedatangan mereka tertunda setelah ada protes keras pejabat pemerintah daerah Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan alasan Indonesia tengah dilanda virus SARS-CoV-2.
Per 4 Mei, ada 64 kasus COVID-19 terkonfirmasi di Sultra. Di antaranya ada 11 kasus sembuh dan dua orang meninggal.
Perusahaan yang membawa TKA Cina itu adalah PT Virtue Dragon Nickel Industries (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel. Keduanya berada di Kawasan Industri Konawe; satu dari lima kawasan industri di Pulau Sulawesi.
Sebelum berhasil mendatangkan 500 TKA, Virtue Dragon sudah lebih dahulu membawa masuk 49 TKA Tiongkok yang ditampung di Thailand lalu terbang ke Jakarta pada Maret lalu. Saat masuk ke Indonesia, kondisi mereka diklaim sehat dan telah menjalani karantina selama di Thailand.
Virtue Dragon, Smelter Nikel Terbesar di Indonesia
Virtue Dragon merupakan salah satu pemain besar pasar nikel di Tiongkok yang masuk Indonesia bertepatan dengan kebijakan pemerintah melarang ekspor mineral mentah. Perusahaan induk VDNI ada di Cina, Jiangsu Delong Nickel Industry Co. Ltd., yang menguasai 99 persen saham.
Virtue Dragon bukan satu-satunya ‘naga’ di Celebes. Di kawasan industri Morowali, bagian tengah Sulawesi, ada pemain lain dari Tiongkok seperti Tsingshan Group, terdiri atas tiga perusahaan PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry (GCNS), dan PT Sulawesi Mining Investment (SMI).
Virtue Dragon memperoleh dukungan pendanaan dari ‘BUMN Cina’, China First Heavy Industry, senilai 1 miliar dolar AS yang diinvestaskan untuk membangun smelter, pembangkit listrik batubara, dan pelabuhan. Mereka juga membangun pabrik baja nirkarat (stainless steel) dan kapasitas tambahan lain senilai 5 miliar dolar AS, seperti dikutip dari Nikkei Asian Review.
Perusahaan yang disebut punya salah satu fasilitas pemurnian nikel terbesar di Indonesia itu diresmikan pada 25 Februari 2019 oleh Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian (kini Menko Perekonomian). Beroperasinya Virtue Dragon pada area 700 hektare, kata Airlangga, “menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil baja terbesar di dunia dengan produksi enam juta ton per tahun.”
Virtue Dragon pada akhir 2017 ditarget memproduksi 600.000 ton nickel pig iron (NPI) dengan kadar nikel 10 persen-12 persen, kata Andrew Zhu, presiden direktur VDNI, dalam sebuah wawancara dengan Nikke Asian Review pada 2016.
Saat itu Zhu bilang ada sekitar 1.000 pekerja Indonesia dan 2.000-3.000 pekerja Cina dalam tahap konstruksi VDNI. Ia mengklaim berkomitmen melatih pekerja lokal dan mengurangi secara bertahap pekerja Tiongkok. Namun, hingga tahun ini, Virtue Dragon tetap mendatangkan pekerja dari Cina, kendati dunia dilanda wabah corona.
Obsidian Stainless Steel Berinvestasi 2 miliar USD
Berdasarkan data Dinas Energi Sumber Daya Mineral Sulawesi Tenggara, nikel Cebeles tersembunyi di kawasan hutan. Setidaknya hingga Agustus 2018, ada 40 perusahaan dari 50 perusahaan yang menambang nikel di kawasan hutan Sulawesi. Nikel melimpah mengundang perusahaan Cina yang lain untuk mendirikan smelter.
PT OSS memproduksi pemurnian nikel dan baja nirkarat dengan kapasitas tahunan mencapai 3 juta ton. Induk PT OSS adalah Hongkong Xiangyu Hansheng Co. Ltd. & Singapore Xiangyu Hansheng Pte. Ltd.
PT OSS berdiri pada Juni 2016 di area tambang sekitar 398 hektare dengan nilai investasi mencapai 2 miliar dolar AS, berdasarkan data Ditjen Pengembangan Wilayah Industri Kemenperin.
OSS pernah mengumumkan kepada publik saat menyusun dokumen analisis dampak lingkungan (amdal) beralamat di Synergy Building, Budi Serpong Damai, Tangerang Selatan. Berbeda dengan alamat yang diumumkan di situs web resmi, kantor pusat PT OSS di Indonesia berada di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta.
Dalam sejumlah pemberitaan, PT OSS terjerat kasus tambang ilegal tanpa mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Polisi telah menindak PT OSS pada Juni 2019 dengan menyita ratusan alat berat yang menambang di kawasan hutan. Mahasiswa dan organisasi lokal di Sultra mendesak kepada kepolisian untuk menuntaskan kasus itu.
Editor: Abdul Aziz