tirto.id - Sebuah video berdurasi 58 detik beredar luas di media sosial sejak Minggu (15/3/2020). Di sana terekam puluhan warga negara asing (WNA) yang baru datang dari bandara. Mereka mengenakan masker dan membawa tas atau koper.
Suara si perekam lantas memberikan keterangan: itu terjadi di Bandara Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Si perekam lantas bilang: "satu pesawat, Corona semua datang. Luar biasa, Bandara Haluoleo." "Wah, satu pesawat Corona semua," tambah seseorang yang mungkin ada di samping si perekam. Keduanya memberi informasi bahwa yang baru datang itu adalah WNA dari Cina, negara tempat Corona atau COVID-19 berasal.
Namun pernyataan bahwa para WNA ini berasal langsung dari Cina diralat Kapolda Sulawesi Tenggara Brigjen Pol Merdisyam pada hari yang sama saat video itu viral. Menurutnya, "mereka baru datang dari Jakarta". Mereka adalah Tenaga Kerja Asing (TKA) lama yang ke Jakarta dalam rangka perpanjangan visa.
Masalah sepertinya sudah selesai, tapi ternyata tidak. Pernyataan Merdisyam diralat oleh Kepala Kanwil Kemenkumham Sulawesi Tenggara Sofyan. Sofyan bilang mereka memang dari Cina dan berstatus Tenaga Kerja Asing (TKA) baru.
Pernyataan Sofyan dipertegas oleh Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang. Dalam keterangan tertulis pada Selasa (17/3/2020) kemarin, Arvin menyebut 49 TKA terbang dari Jakarta menggunakan Garuda Indonesia dengan kode penerbangan GA-696 dan sampai di Kendari pukul 8 malam. Mereka berasal dari Provinsi Henan, Hebei, Jiangsu, Shaanxi, Jilin dan Anhui.
Arvin mengatakan "mereka memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku", yaitu visa kunjungan satu kali perjalanan (B211) yang berlaku 60 hari, diterbitkan pada 14 Januari 2020 di KBRI Beijing untuk TKA yang akan uji coba kemampuan bekerja. Mereka dipekerjakan oleh PT Virtue Dragon Nickel Industry (PT VDNI) yang beroperasi di Morosi, Kabupaten Konawe.
Para TKA ini bisa datang ke Jakarta karena tidak terbang langsung dari Cina, melainkan dari Thailand. Penerbangan dari dari ke Cina sudah resmi dihentikan per 5 Februari, dalam rangka mengantisipasi penyebaran Corona. Mereka ada di Thailand sejak 29 Februari 2020, berdasarkan cap tanda masuk imigrasi setempat.
Di Thailand pula mereka dikarantina sampai 15 Maret dan mendapat surat keterangan sehat. Di Bandara Soekarno-Hatta, mereka kembali diperiksa oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). "KKP telah menerbitkan surat rekomendasi berupa kartu kewaspadaan kesehatan pada setiap orang tersebut," kata Arvin.
External Affairs Manager PT VDNI Indrayanto mempertegas kalau para pekerja "tidak ada yang terinfeksi pandemi Corona."
Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal dalam Upaya Mencegah Masuknya Corona, semestinya 49 TKA ini dikarantina selama 14 hari terlebih dulu. Namun Karantina baru dilakukan di tempat mereka bekerja.
Masalah lainnya muncul setelah pengawas ketenagakerjaan setempat melakukan pemeriksaan ke perusahaan. Staf Khusus Menaker, Dita Indah Sari, mengatakan lewat Twitter bahwa menurut pengawas, 49 warga Cina ini bisa dibilang ilegal karena "tidak memiliki izin kerja... Mereka hanya mengantongi visa kunjungan." "WNA di lokasi kerja, tanpa visa kerja, jelas menyalahi aturan," katanya pada 17 Maret lalu.
Atas dasar itu Dita bilang 49 TKA ini diperintahkan untuk meninggalkan lokasi perusahaan pada 17 Maret malam. Dita juga mengatakan setelah meninggalkan lokasi, mereka harus dikarantina dengan benar. Sementara itu, perusahaan yang mempekerjakan mereka terancam dipidana karena menyalahi aturan.
Perekam dan Polisi Dipermasalahkan
Cerita lain datang dari si perekam yang bernama Hardiono (39). Setelah videonya ramai, ia ditangkap oleh POM Lanud, lantas diserahkan ke polisi. Merdisyam menegaskan bahwa polisi memang memeriksa lagi yang bersangkutan, namun bukan dalam rangka untuk ditahan meski menurutnya informasi yang disebarkan itu "meresahkan, apalagi dalam situasi seperti ini."
Pemeriksaan untuk mengklarifikasi isi video. Hardiono lantas diberikan "peringatan dan edukasi kepada yang bersangkutan. Hardiono sudah dilepaskan, namun ia tetap diberi sanksi wajib lapor.
Hardiono sendiri mengatakan pernyataannya bahwa WNA ini terjangkit Corona "spontan, hanya untuk main-main, tanpa sengaja, dan tanpa mengetahui dampak yang ditimbulkan dari perbuatan saya."
Sementara Gubernur Sulteng Ali Mazi memilih "berterima kasih banyak atas informasi" yang diberikan Hardiono.
"Tapi lain kali jangan melakukan hal yang sama jangan seperti itu. Masih ada cara-cara yang elegan. Sampaikan secara langsung kepada gubernur dengan mendatangi kantor gubernur atau rumah jabatan. Saya ada di sini kok, rujab terbuka untuk masyarakat Sultra," kata Ali Mazi, dikutip dari Antara.
Namun yang disorot bukan hanya perekam, tapi polisi yang memberi informasi keliru, bahwa TKA itu dari Jakarta dan pekerja lama.
Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto menyatakan aparat penegak hukum tidak boleh merilis informasi yang tidak benar.
"Kepolisian tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan yang didasarkan kepada informasi yang validitasnya belum bisa dipertanggungjawabkan," katanya kepada reporter Tirto, Rabu (18/3/2020).
Jika sumber informasi salah, sambung Didik, maka kapolda bisa salah dalam mengambil keputusan. Kepolisian harusnya menjadi pengayom masyarakat, sebaliknya, bisa meresahkan publik akibat informasi salah.
"Secara pribadi Kapolda harus mempertanggungjawabkan pernyataannya ke publik, bila menyadari kesalahannya. Secara kelembagaan, Mabes Polri harus mengambil langkah-langkah cepat yang diperlukan, kalau memang ada unsur pelanggarannya maka kapolda harus diberikan sanksi,"tegas Didik.
Merdisyam sendiri sudah mengaku kalau informasi awal yang ia katakan keliru. Ia lantas meminta maaf ke media, bukan publik. "Permohonan maaf kepada rekan-rekan sekalian dari saya sebagai Kapolda Sultra," kata Brigjen Merdisyam di Media Center Mapolda Sultra, Selasa (17/3/2020).
Bagi Hinca Pandjaitan, Sekjend Partai Demokrat, pernyataan maaf itu kurang dan tidak menaati asas semua sama di mata hukum. "Jika label hoaks hanya disematkan pada rakyat, sedangkan aparat dan penguasa memberi informasi yang salah hanya disebut keliru," katanya via Twitter.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino