Menuju konten utama
Laut Indonesia Timur

Regulasi Penangkapan Ikan Untungkan Perusahaan, Rugikan Nelayan

Pengusaha dan kapal-kapal besar menjadi pihak yang diuntungkan apabila sistem kuota tangkapan ikan diberlakukan.

Regulasi Penangkapan Ikan Untungkan Perusahaan, Rugikan Nelayan
Nelayan mengumpulkan Ikan hasil tangkapannya sebelum dijual di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (8/5/2020). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/wsj.

tirto.id - Artikel sebelumnya: Nelayan Kecil, Kapal Besar, dan Ancaman Hilangnya Kekayaan Laut

Tahun 2015 mungkin jadi salah satu masa paling buruk dalam bisnis dua perusahaan milik konglomerat Tomy Winata, PT Maritim Timur Jaya dan PT Binar Surya Buana. Biang keroknya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan yang ditunjuk Presiden Joko Widodo di tahun 2014, Susi Pudjiastuti.

Susi yang juga pengusaha di bidang perikanan itu menerapkan kebijakan moratorium untuk kapal tangkap eks-asing melalui Peraturan Menteri Kelautan Perikanan (KP) No 56/Permen-KP/2014. Moratorium diberlakukan sejak 3 November 2014 hingga 30 April 2015, lalu diperpanjang sampai Oktober 2015 dengan Permen KP No 10/Permen-KP/2015. Seterusnya, sesuai aturan, kapal eks-asing tak diperbolehkan sama sekali menangkap ikan di Indonesia.

Sembilan kapal eks-asing yang beroperasi di Kota Tual, Provinsi Maluku milik Tomy Winata terkena imbas; terpaksa gantung jangkar. Kapal tersebut berubah tak lebih dari sekadar besi tua karena dipotong-potong dan dihancurkan. Tomy mengaku keputusan menghancurkan kapal karena tak layak jalan lagi.

Perusahaan Tomy kemudian merombak nama jadi PT Samudera Indo Sejahtera (SIS). Perusahaan ini cukup ramai dibicarakan karena muncul dalam rencana proyek Blok Masela. Fokus perusahaan sendiri, selain menangkap ikan dan menyediakan pelabuhan, juga mengolah ikan.

Sampai tahun 2021, kondisi perusahaan tampak belum membaik. Mereka sempat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 300 karyawan dari total 400. Hak pekerja, asuransi, juga belum dibayarkan.

Produktivitas perusahaan jadi alasan. PT SIS mengatakan bahwa untuk melakukan ekspor, mereka butuh sekitar 30 ton ikan per hari. Kenyataannya, yang mendarat di pelabuhan mereka hanya lima ember dengan total tangkapan 200 kg.

Namun, dengan kebijakan baru bernama penangkapan ikan terukur, PT SIS percaya situasi akan berubah.

Dengan sistem ini, nantinya pelabuhan swasta PT SIS boleh jadi rebutan perusahaan-perusahaan pengangkut ikan. Sebab, PT SIS memberi jaminan membeli hasil tangkapan yang siap untuk diekspor ke luar negeri.

Dahulu, kapal-kapal harus mendapatkan Surat Izin Usaha Penangkapan (SIUP) untuk bisa berbisnis. Dengan sistem baru nanti, penangkapan akan berdasar pada output control (kuota yang dimiliki per kapal). Jika kapal menangkap lebih dari kuota, mereka harus membayar denda yang dimasukkan ke Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dengan sistem penangkapan ikan terukur, perusahaan seperti PT SIS bisa mencari mitra atau menyediakan kapal sendiri untuk membeli kuota penangkapan ikan. Skemanya begini: anggaplah ada kuota di Laut Arafura sebanyak 4 juta ton. PT SIS kemudian membeli 1 juta ton. Kapal-kapal besar di atas 30 GT akan membeli izin itu kepada PT SIS sebagai pelabuhan tujuan. Di akhir tahun, jumlah tangkapan kapal-kapal yang dinaungi oleh PT SIS akan dihitung. Jika lebih dari target, maka perusahaan harus membeli kuota lebih banyak--termasuk mungkin dari pelabuhan lain yang tidak berhasil mencapai kuota.

Untuk itulah PT SIS mendukung rencana pemerintah untuk memperbolehkan kapal asing atau eks-asing menangkap ikan di Indonesia. Tidak hanya itu, perikanan tangkap yang diminati oleh investor asing juga bisa menjadi kesempatan bagus agar penggunaan kapal eks-asing menjadi lebih mudah, misalnya lewat kerja sama dengan perusahaan Cina yang senang dengan hasil gelembung renang ikan dari Indonesia.

“Tidak bisa kalau andalkan kapal Indonesia. Kapal Indonesia (untuk penangkapan) total Arafura itu 4 juta ton. Tapi yang realisasi cuma 400 ribu ton. Dari nelayan[...] kapal-kapal Indonesia itu,” kata General Manager PT SIS Dipa Tamtelahitu kepada Tirto ketika dijumpai di kantornya.

Sampai sekarang, Indonesia sebenarnya belum mengeluarkan peraturan khusus untuk kapal asing atau eks-asing dipergunakan atau bahkan diimpor. Namun Dipa percaya dalam waktu dekat ketentuannya akan dikeluarkan oleh pemerintah.

Sisi yang terlihat positif dari kebijakan ini adalah masalah penangkapan ikan bisa dibatasi atau setidaknya tertata dengan lebih baik. Karena pelabuhan menjadi terpusat di tempat terdaftar seperti milik PT SIS, diharapkan tidak ada lagi kapal-kapal yang mengakali timbangan hasil tangkapan. Melalui timbangan digital yang sudah termodernisasi, hasil tangkapan akan langsung tercatat di situs resmi KKP.

Jika mereka berbohong soal jumlah tangkapan, toh tak ada untungnya. Jika PT SIS membeli kuota sebanyak 1 juta ton, dan jumlah tangkapan dikurangi, sama saja memutus tangan sendiri karena telah merogoh kocek yang tak kecil untuk membeli jatah sebanyak itu.

Saat ini PT SIS sedang membangun gedung yang isinya diperuntukkan bagi stakeholder terkait seperti syahbandar dari PPN Tual, termasuk juga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mempermudah proses ekspor. Ketika saya mengunjungi pelabuhan, yang terlihat sangat siap, PT SIS telah menyediakan pabrik khusus pembuatan es batu untuk menjaga kesegaran hasil tangkapan.

PT SIS percaya diri jika tangkapan banyak, keuntungan mereka malah akan semakin besar. Mereka tidak khawatir bila nanti komoditas laut terlalu membeludak di pelabuhan dan tidak laku terjual. “Kalau soal ikan buyer banyak. Cina sekarang yang megang,” tegas Dipa.

Namun kebijakan penangkapan ikan terukur ini ditentang banyak pihak, termasuk salah satunya dari nelayan-nelayan lokal. Mereka khawatir kapal asing atau eks-asing masuk dan jumlahnya makin banyak. Tentu daerah dan hasil tangkapan akan terpengaruh.

“Aktivitas lebih banyak nelayan ini malah tersingkir dorang punya wilayah penangkapan. Ini kebijakan yang juga mengesampingkan nelayan kecil,” kata John Jamanmona dari Kota Dobo. “Nelayan kecil malah tersingkirkan dari daerah operasi, daerah tangkapan. Kalau nelayan kecil dengan alat tangkap sederhana dengan sistem manual dan [melawan] kapal-kapal besar sistem modern, ya, tau sendiri bagaimana efeknya.”

Aspirasi nelayan lokal sebenarnya bukan mengaktifkan peran pelabuhan swasta, tapi pelabuhan pelat merah--agar pemerintah daerah bisa membantu nelayan lokal. Selama ini, pengelolaannya, menurut John, lebih banyak di pemerintah pusat.

Iwan, nelayan 40 tahun asal Kota Tual, mengaku kapal-kapal kecil dan nelayan lokal bukannya tidak mau menyuplai ikan ke perusahaan, tapi terkadang apresiasinya tidak sesuai. Harga ikan yang dijual ke perusahaan biasanya lebih rendah daripada secara langsung disetor ke pasar. Perusahaan seperti PT SIS juga menurutnya sering menawarkan harga lebih murah daripada usaha dagang (UD) yang ada di Tual.

“Jadi kami lebih senang jual ke pasar memang,” kata Iwan sambil tangannya terus saja sibuk membolak-balik ujung subang.

Pengawasan Masih Jadi Masalah

Pada akhir 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sibuk bergerilya untuk menyukseskan program penangkapan perikanan terukur. Kebijakan ini, menurut Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono, adalah upaya untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) di Indonesia.

“Keberhasilan program prioritas KKP tentu memerlukan dukungan dari pemerintah daerah,” kata Trenggono dilansir Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri KKP.

KKP mencatat ada 7.795 kapal yang tersebar di seluruh Wilayah Penangkapan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Sebanyak 1.357 di antaranya mempunyai Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) di WPP 718. Daerah ini meliputi berbagai perairan luas yang terdiri dari Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur. WPP 718 berbatasan dengan tiga negara yakni Timor Leste, Australia, dan Papua Nugini.

Jumlah kapal cenderung mengalami kenaikan setiap tahun. Untuk tahun 2022, kapal dengan ukuran 31-60 gross tonnage (GT) ada 151; ukuran 61-100 GT sebanyak 481; kapasitas 101-150 GT ada 483; ukuran 151-200 GT sebanyak 233; dan 201-400 GT ada 9 kapal.

Fungsionaris Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di wilayah Tual, Irwan Maulana, menyampaikan bahwa meski kapal mencapai ribuan, selama ini pengawasan berjalan dengan baik.

“Selama ini pelanggaran yang kami sering temukan biasa transshipment,” kata Irwan kepada Tirto. “Ada ketentuannya, dan karena aturannya baru (keluar tahun 2020) maka mereka sering kali kurang penerapannya.”

PSDKP Tual punya dua kapal besar ukuran sekitar 30 meter untuk pemantauan penangkapan di Laut Arafura. Menurut Irwan, armada tersebut sudah cukup. Dia juga percaya dengan bantuan dari unit pelaksana teknis (UPT) daerah lain.

Namun dia tidak memungkiri karena perairan Arafura begitu luas, tidak mungkin PSDKP Tual mampu menjangkau semuanya. “Kalau kita [mau] menjangkau seluruh perairan, ya, memang harus banyak kapal juga,” lanjutnya.

Hal sebaliknya dikatakan staf Stasiun Pemantauan Keamanan dan Keselamatan (SPKKL) Badan Keamanan Laut Kota Tual Kapten Helwan Andriansyah. Menurutnya pemantauan tidak bisa terlalu maksimal.

Meski tempatnya di tengah-tengah WPP 714 dan WPP 718, Bakamla Tual hanya punya satu kapal ukuran kecil. Mereka tidak bisa pergi melaut jauh ke Arafura. Radar yang sudah lama rusak juga membuat mereka hanya melakukan pengawasan dengan memanfaatkan aplikasi.

Seluruh kapal yang beraktivitas menangkap ikan sedianya dilengkapi dengan automatic identification system (AIS). Tapi kadang tak semua punya atau menggunakan dengan semestinya. Alasannya beragam: rusak karena gelombang dan semacamnya. Hal ini menyulitkan Bakamla memantau pergerakan kapal di saat penangkapan--agar memenuhi aturan.

Setiap hari, berdasarkan AIS, Helwan mengungkap biasanya ada 200 kapal perikanan yang beraktivitas. Tentu--misalkan kapal mereka mampu ke Laut Arafura pun--dia merasa pengawasan akan tetap sulit karena hanya ada satu armada.

“Susah. Sangat susah sekali,” tegas Helwan. “Tapi kalau ada anomali kegiatan kapal dari pantauan kami, ya tentu kami pantau.”

Dosen asal Universitas Pattimura James Abrahamsz mendukung adanya kuota dalam penangkapan ikan di Laut Arafura. Tapi menurutnya kuota bukan hanya untuk jumlah tangkapan. Armada kapal pun harus dibatasi.

Ini penting karena menurutnya sumber daya di Laut Arafura sudah perlu perhatian lebih. James memandang situasi di Laut Arafura sudah “kolaps” sumber daya perikanan. Ciri-cirinya adalah nelayan harus pergi mencari ikan dengan jarak yang lebih jauh dari biasanya. Hal ini bukan hanya menambah tenaga, tapi juga menghabiskan lebih banyak biaya untuk membeli bensin.

Tanda kedua kolaps adalah ikan yang ditangkap ukurannya mulai mengecil. Artinya, ikan-ikan yang sudah matang bonang, begitu masyarakat sekitar menyebut ikan yang layak, semakin sedikit jumlahnya.

“Jadi sebenarnya dalam konteks pengelolaan perikanan biasa ada standar yang harus diikuti dan dipatuhi: bahwa ada ukuran ikan tertentu yang pada umur atau panjang tertentu dia harus dibiarkan lepas,” kata James. “Kalau kecenderungan itu terjadi pasti berdampak pada stok perairan dan ini yang terjadi sekarang.”

Menurutnya ribuan armada di Laut Arafura sudah terlalu banyak. Belum lagi ada upaya-upaya penangkapan ilegal. Kasus yang biasa terjadi misalnya double flag, yaitu ketika kapal asing berkamuflase dengan memakai bendera dari Indonesia dan menangkap di perairan sini.

Ada pula beberapa kapal yang sengaja dirancang agar kembar identik.

Infografik Penangkapan Ikan

Infografik Penangkapan Ikan. tirto.id/Quita

Peluang melakukan kejahatan tersebut terbuka luas karena menurut James sumber daya pengawasan dari pemerintah memang belum memadai. Untuk program perikanan terukur saja “SDM untuk melakukan pencatatan [muatan ikan] kurang.” Sedangkan pengawasan dari lembaga macam PSDKP sudah dilakukan, tapi tentu ada pihak-pihak yang membandel dan mematikan global positioning system (GPS) kapal. “Mereka (pengusaha perikanan) tidak mau armada terkontrol.”

“Fungsi pengawasan itu menjadi penting karena dari pengawasan itu memang kita tahu benar berapa armada yang bermain di Arafura, tapi tidak bisa kita pungkiri bahwa banyak armada tidak tercatat,” tegasnya.

Tirto sudah mencoba menghubungi Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zaini Hanafi untuk menanyakan soal bagaimana masalah pengawasan di Laut Arafura dan implementasi kebijakan penangkapan ikan terukur. Namun Zaini hanya memberi tanggapan soal perikanan terukur.

“KKP telah menyiapkan para petugas pengolah data dan verifikator, termasuk para syahbandar di pelabuhan-pelabuhan perikanan yang nantinya akan menangani penarikan PNBP pascaproduksi dalam kebijakan penangkapan ikan terukur ini,” kata Zaini akhir September lalu.

Sedangkan Juru Bicara KKP Wahyu Muryadi masih belum menjawab hingga berita ini selesai ditulis. “Bentar ya. Saya masih di G20,” kata Wahyu, Senin (13/11/2022).

(Bersambung...)

==========

Liputan ini merupakan fellowship hasil workshop "Sustainable Management of Marine & Coastal Ecosystems in the ATS Region" yang diselenggarakan Program Arafura & Timor Seas Ecosystem Action (ATSEA) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Baca juga artikel terkait NELAYAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino