tirto.id - “Di hari yang penuh harapan dan penderitaan ini, warga Catalunya telah memenangkan hak untuk sebuah negara merdeka dalam bentuk republik,” kata Pemimpin Catalan, Carles Puigdemont, dalam sebuah pidato televisi.
“Pemerintahan saya, dalam beberapa hari ke depan, akan mengirimkan hasil pemungutan suara hari ini kepada parlemen Catalan, di mana kedaulatan rakyat kita terbengkalai, sehingga bisa bertindak sesuai dengan hukum referendum.”
Oktober menjadi bulan yang panjang bagi wilayah di selatan Spanyol ini. Di bulan itu, Catalunya berupaya merdeka dari Spanyol. Referendum dilakukan dan hasilnya pun menggembirakan. Sebanyak 90 persen dari 2,26 juta warga yang mencoblos memilih "Ya" alias menghendaki kemerdekaan.
Raihan itu lantas dirayakan dengan gegap gempita. Sejumlah besar pendukung kemerdekaan berkumpul di pusat ibu kota Barcelona, melambai-lambaikan bendera, dan menyanyikan lagu kebangsaan. Pesta berlangsung tanpa henti, bersuka cita menyambut hari esok yang sudah lama dinanti.
Diadang Pemerintah Spanyol
Referendum merupakan babak baru dari kebuntuan proses-proses politik antara pemerintah pusat dan Catalunya. Otoritas Catalunya sudah lama menginginkan kemerdekaan dari Madrid. Catalunya beranggapan, Madrid berlaku tidak adil dengan mengeruk kekayaan Catalunya serta menolak hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination).
Wacana untuk merdeka sudah direncanakan sejak Juni 2017 dan disetujui parlemen provinsi tiga bulan setelahnya. Puigdemont mengatakan, Madrid tidak dapat lagi menahan hasrat Catalunya untuk merdeka, terlebih parlemen telah mengetok palu tanda setuju.
Namun, Madrid tak tinggal diam. Perdana Menteri Mariano Rajoy mengecam wacana referendum Catalunya sebagai tindakan melanggar hukum. Ia lantas mendesak Mahkamah Konstitusi menunda keputusan yang telah disahkan parlemen Catalunya.
Selain itu, Madrid juga menempuh langkah-langkah riil: mengontrol penuh anggaran otonomi, memaksa kepolisian daerah untuk menerima komando dari Garda Sipil Spanyol, menangkap para pejabat yang terlibat perencanaan referendum, menyita sekitar 10 juta surat suara, dan menutup situs-situs berisikan informasi referendum.
Penolakan Madrid kian menjadi-jadi saat referendum dilaksanakan. Sebagaimana dilaporkan The New York Times, referendum mulanya berjalan kondusif. Laki-laki, perempuan, muda dan tua, hingga anak-anak saling bernyanyi dan bertepuk tangan jelang pencoblosan. Tapi, situasi berubah panas tatkala aparat dari pusat datang ke tiap TPS dan memaksa membubarkan agenda coblosan.
Bentrok pun tak terhindarkan. Ratusan warga terluka akibat kericuhan tersebut. Banyak pihak menilai, kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian hanya akan meningkatkan militansi warga Catalunya untuk menentukan nasib sendiri—sebuah aspirasi yang telah mengalir sejak abad ke-19.
“Hari ini, Spanyol telah kehilangan lebih banyak dari yang telah hilang dan warga Catalunya telah menang lebih banyak dari yang didapatkan,” ungkap Puigdemont saat berbicara di keramaian Sant Juli de Ramis. “Citra Spanyol telah mencapai tingkat memalukan yang akan melekat bersama mereka selamanya.”
Di saat bersamaan, Soraya Saenz de Santamaria, Wakil Perdana Menteri Spanyol, justru memuji aparat kepolisian karena telah bersikap profesional dengan menghalangi pemungutan suara yang semestinya “tidak boleh dirayakan.”
Kandas Dilibas
Pada 27 Oktober 2017, tepat hari ini setahun lalu, parlemen Catalunya resmi mendeklarasikan kemerdekaan dari Spanyol. Namun, beberapa jam setelahnya, pemerintah Spanyol menggugurkan deklarasi itu dengan membubarkan parlemen serta menyerukan pemilihan lokal untuk menggantikan hasil referendum.
“Pemimpin Catalunya [Carles Puigdemont] memiliki kesempatan untuk kembali ke jalan yang legal dan mengadakan pemilihan umum di wilayah tersebut. Keputusan ini diinginkan oleh mayoritas rakyat Catalunya, namun ia tak menginginkannya. Oleh sebab itu pemerintah Spanyol mengambil langkah yang diperlukan untuk mengembalikan Catalunya ke jalan yang legal,” terang Rajoy.
Intervensi terhadap Catalunya, klaim Rajoy, merupakan “sesuatu yang belum pernah terjadi” dan harus dilakukan demi “memulihkan keadaan.” Tak lupa, Rajoy juga memecat Puigdemont dan anggota kabinet lain yang berada di belakangnya.
Kegagalan Catalunya untuk merdeka tentu bikin Madrid lega. Mereka tak jadi kehilangan wilayah yang selama ini jadi andalan negara dalam menggenjot perekonomian. Kendati hanya menguasai 6 persen wilayah Spanyol dan 16 persen keseluruhan populasi, Catalunya mampu menyumbang 20,1 persen GDP Spanyol pada 2015 dan berkontribusi pada produksi barang ekspor yang mencapai 25,6 persen dari total ekspor Spanyol pada 2016.
Tak sekadar itu, sumbangan pajak dan pendapatan dari sektor pariwisata Catalunya untuk Spanyol juga cukup tinggi: 21 dan 38,8 persen. Di mata para investor, Catalunya adalah wilayah Spanyol yang paling menarik dan cocok dijadikan ladang investasi. Sebanyak 56,3 persen dari investasi di sektor startup di Spanyol pada 2015 mengalir ke Catalunya dengan nilai mencapai 371 juta euro.
Laporan berjudul “Foreign Direct Investment in Barcelona” (PDF) menyebutkan, hampir sepertiga dari seluruh perusahaan asing di Spanyol memilih ibu kota regional Barcelona sebagai basis mereka. Tingginya investasi asing di Barcelona dipengaruhi ekosistem bisnis yang kondusif, biaya tenaga kerja yang kompetitif, transportasi, infrastruktur logistik, bandara, serta pelabuhan Barcelona yang menawarkan peluang perdagangan global yang menguntungkan karena dapat mengakses Amerika dan Asia.
Semua Salah Franco
Gerakan kemerdekaan Catalunya telah dimulai sejak diktator fasis Fransisco Franco berkuasa pada 1939. Di bawah Franco, penggunaan bahasa Catalunya dilarang dan semua institusi pemerintah setempat dihapus untuk mengakhiri regionalisme di Spanyol. Setelah pemerintahan Franco berakhir pada 1975, keadaan perlahan berubah. Pemerintah Spanyol mengembalikan status Catalunya sebagai wilayah otonom.
Pada 2010, sekitar 25 persen masyarakat Catalunya menyatakan ingin merdeka dari Spanyol. Setahun kemudian, menurut Pusat Studi Opini Catalunya, lebih dari 30 persen masyarakat Catalunya mendukung kemerdekaan. Jumlah ini meningkat menjadi 57 persen pada 2012.
Melihat terus naiknya suara pro-kemerdekaan tiap tahunnya, upaya lebih serius pun dilakukan pada 2014. Pemungutan suara informal dilaksanakan pada bulan November. Hasilnya, sekitar 2,25 juta dari total 5,4 juta warga Catalunya memilih merdeka. Mantan Presiden Catalunya, Arthur Mas, memuji hasil tersebut sebagai kesuksesan besar.
Berkaca dari itu, Mas mendorong adanya referendum formal di masa depan dengan membandingkan situasi Skotlandia yang melakukan referendum pada September 2014. Pada 2017, wacana referendum kembali muncul dan didukung 41,1 persen warga Catalunya.
Secara garis besar, terdapat dua alasan mengapa Catalunya getol menuntut merdeka. Alasan pertama ialah krisis ekonomi 2008, yang telah menyebabkan kenaikan angka pengangguran dan utang di Spanyol, tak terkecuali di Catalunya. Berdasarkan data pemerintah dari 2005 hingga 2016, ditemukan korelasi yang tinggi antara dukungan kemerdekaan dan pengangguran di Catalunya.
Masyarakat Catalunya percaya bahwa Madrid punya andil besar dalam krisis tersebut. Asumsi ini diperkuat lagi dengan permintaan Madrid kepada Catalunya untuk membayar pajak lebih tinggi dibanding wilayah lain guna memperkuat perekonomian wilayah miskin di Spanyol. Menurut Reuters, Catalunya membayar pajak senilai 12 miliar dolar per tahun kepada Madrid. Nyatanya, jumlah pajak sebesar itu tidak berkorelasi dengan besarnya imbalan yang diperoleh Catalunya.
Seketika isu pajak, krisis finansial, pengangguran, hingga rasa terabaikan yang dialami Catalunya menghidupkan kembali gejolak separatisme.
Alasan kedua, keputusan Madrid untuk membatalkan pemberlakuan Undang-Undang Peradilan Konstitusi 2010. Dalam perkembangannya, undang-undang tersebut bertujuan untuk meningkatkan kedaulatan dalam Statuta Otonomi Catalunya agar setara dengan konstitusi. Kedua alasan di atas meyakinkan masyarakat Catalunya bahwa kehidupan mereka akan menjadi lebih baik apabila berada di bawah kendali pemerintahan sendiri.
Sejak saat itu, Madrid gigih menentang referendum dengan alasan bahwa tindakan tersebut dilarang konstitusi 1978, yang salah satu pasalnya berbunyi “setiap wilayah merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari Bangsa Spanyol.”
Tuntutan referendum juga didasari politik identitas yang kuat. Budaya, tradisi, hingga bahasa Catalunya telah memberikan identifikasi ataupun karakter yang melekat pada setiap masyarakat Catalunya. Menurut penelitian, dua nilai suci Catalunya dianggap memotivasi gerakan kemerdekaan, yakni menentukan nasib sendiri dan melindungi identitas Catalunya.
Dari studi-studi yang ada, penolakan terhadap aspirasi separatis umumnya hanya akan memperbesar gerakan kemerdekaan lebih jauh. Sampai referendum itu terjadi, masih banyak orang yang bingung memilih. Namun, setelah Madrid menolak referendum mentah-mentah, banyak yang kecewa dan menyatakan dukungan atas kemerdekaan.
Memburuknya situasi di sekitar referendum Catalunya pada 2017 silam menunjukkan satu hal: demokrasi tidak berjalan baik. Hammad Sheikh, Angel Gomez, dan Scott Atran dalam studinya menyebutkan hanya 23 persen orang Spanyol yang menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang sakral.
Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai warga di Spanyol, Hammad Sheikh dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa turunnya kepercayaan masyarakat disebabkan karena pemerintah pusat tidak responsif dalam memenuhi kebutuhan warga.
Bagi masyarakat Spanyol (yang menjadi narasumber dalam studi tersebut), demokrasi Spanyol adalah ketika para pejabat mencuri jutaan uang rakyat, tanpa peduli nasib warganya, dan memprioritaskan kekuasaan pribadi belaka. Partai Rakyat yang saat itu berkuasa, misalnya, terlibat dalam 65 kasus korupsi. Sikap Perdana Menteri Rajoy yang kerap membela para tersangka pun dinilai mengecewakan.
Walaupun rezimnya sudah berakhir, bau amis warisan yang ditinggalkan Franco nyatanya tetap kekal.
Editor: Ivan Aulia Ahsan