tirto.id - Meminta karyawan untuk mengundurkan diri atau resign adalah cara paling ‘licik’ perusahaan untuk melepas hubungan kerja dengan pegawainya.
Jika permintaan mengundurkan diri tidak diindahkan karyawan, perusahaan biasanya punya trik lain untuk membuat pekerjanya tidak nyaman. Salah satunya dengan cara yang disebut “quiet firing”.
Quiet firing adalah tindakan perusahaan yang menggunakan berbagai cara untuk memaksa karyawan mengundurkan diri. Mulai dari memberikan beban kerja yang berlebih, penugasan yang tidak sesuai dengan posisi atau kompetensi, menolak memberikan kenaikan gaji atau promosi.
Selain itu, beberapa perusahaan juga melakukan mutasi kerja atau memindahkan tempat kerja pegawainya. Cara-cara tersebut, tentu bertujuan untuk membuat karyawan merasa frustasi atau tidak nyaman dengan lingkungan kerja. Alhasil mereka terpaksa memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaan.
Secara regulasi, karyawan yang mengundurkan diri tidak mendapatkan uang pesangon. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Karyawan hanya mendapatkan uang pisah dan uang penggantian.
Sesuai dengan Pasal 50 PP 35/2021, pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf i, berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 b. Sementara uang pisah besarannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Baru-baru ini, sebuah perusahaan periklanan yang berbasis di Xian di provinsi Shaanxi, Tiongkok Tengah memutuskan pindah dari kawasan bisnis di pusat kota ke daerah pegunungan terpencil.
Perusahaan diduga melakukan hal tersebut karena mengetahui bahwa keputusan relokasi akan membuat karyawan mengundurkan diri. Perusahaan pada akhirnya tidak perlu memberhentikan dan memberikan kompensasi.
Seorang mantan karyawan bermarga Chang, menggambarkan lokasi baru di Pegunungan Qinling sebagai lokasi yang sangat terpencil dengan waktu tempuh 2 jam. Terlebih lagi akses transportasi umum juga terbatas.
Jika menggunakan taksi dari stasiun kereta terdekat, pegawai harus merogoh kocek hingga 60 yuan, setara Rp132 ribu (kurs Rp2.200/yuan). Meskipun pegawainya kesulitan untuk akses transportasi, perusahaan enggan memberikan subsidi perjalanan.
Banyak karyawan kemudian curiga perusahaan sengaja menciptakan kondisi yang keras untuk memaksa mereka mengundurkan diri. Meskipun begitu, perwakilan perusahaan, Zhang, membantah klaim tersebut. Ia beralasan bahwa tindakan yang diambil hanyalah sementara untuk mengurangi biaya.
Relokasi dan mutasi kerja sejatinya diperbolehkan. Di Indonesia, Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi landasan dan payung hukum perusahaan untuk melakukan mutasi.
Pasal 32 ayat 1, menyatakan penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
Selanjutnya dalam ayat 2 dijelaskan penempatan tenaga kerja diarahkan untuk memposisikan tenaga kerja pada jabatan yang tepat. Sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
PHK dalam Angka
Studi yang dilakukan oleh Pew Research Center pada 2021 lalu membenarkan fenomena quite firing. Hasil temuan mereka menggarisbawahi bahwa sebagian besar pekerja keluar dari pekerjaannya disebabkan oleh beberapa alasan khusus seperti upah yang rendah, kurangnya peluang naik jabatan, atau merasa tidak dihargai.
Beberapa karyawan juga merasakan hadirnya tanggung jawab dan pekerjaan baru yang berada di luar job-desk mereka. Itu tentunya membuat para karyawan kewalahan hingga merasa satu-satunya jalan keluar adalah mengundurkan diri.
Sejatinya memang tidak ada pekerja yang berharap atau menginginkan untuk di PHK. Namun, kondisi ekonomi global pasca pandemi Covid-19 memang belum pulih sepenuhnya. Dampaknya banyak perusahaan yang harus memutuskan hubungan kerja demi efisiensi.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), jumlah tenaga kerja ter-PHK yang terdaftar selama tahun 2023 sebanyak 63.806 orang. Nilai ini naik lebih dari dua kali lipat dari tahun 2022 yang sebesar 25.114 orang.
Nilai yang terjadi di lapangan besar kemungkinan lebih tinggi dibandingkan dengan data yang disajikan pemerintah. Pasalnya, banyak pegawai yang tidak memiliki dokumen kontrak kerja. Alhasil, mereka tidak dapat menggugat hak pesangon mereka ke perusahaan atau pemberi kerja.
Mahalnya Pesangon
Membayar pesangon memang salah satu hal yang sangat dihindari oleh perusahaan. Jadi, wajar saja jika banyak prakti-praktik quite firing seperti yang terlihat pada contoh kasus di China.
Bahkan, perusahaan yang telah memutuskan PHK pun masih mencari celah untuk tidak langsung melunasi pembayaran pesangon. Penelitian yang dilakukan I Kadek Krisnandika menyebutkan Kerap kali pemberi kerja berusaha memberi uang pesangon dengan cara dicicil.
Hal ini biasanya dikarenakan kondisi keuangan perusahaan yang tidak memadai. Peraturan perundangan kita sayangnya memang tidak menegaskan prosedur pembayaran pesangon. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pemberi kerja.
Terlebih lagi, studi mencatat Indonesia termasuk salah satu negara dengan kebijakan pembayaran pesangon yang cukup tinggi.
Secara rata-rata, perusahaan di Indonesia perlu membayarkan 58 minggu gaji tenaga kerja ketika terjadi pemutusan kontrak. Sedangkan di perusahaan di Tiongkok atau Vietnam hanya membayar 23-24 minggu gaji.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, pemerintah mengatur besaran kompensasi bagi pekerja yang di-PHK.
Dalam pasal 156 ayat 1 dijelaskan, kompensasi yang dimaksudkan tidak hanya pesangon (UP). Para pekerja yang di PHK berhak mendapatkan juga uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH).
Misalnya dalam perhitungan pesangon UU Cipta Kerja, untuk masa kerja satu tahun atau lebih tapi kurang dari dua tahun, mendapatkan uang pesangon dua bulan upah. Angka ini berlaku untuk kelipatan masa kerja seterusnya, seperti delapan tahun lebih mendapat sembilan bulan upah.
Sementara perhitungan besaran UPMK, berlaku bagi masa kerja tiga tahun atau lebih dari kurang enam tahun akan mendapatkan dua bulan upah. Begitu seterusnya berlaku untuk kelipatan tertinggi semisal 24 tahun lebih mendapat 10 bulan upah.
Perlu dicatat bahwa besaran pemberian UP, UPMK, UPH didasarkan pada alasan terjadinya PHK. Pemerintah memberikan keringanan pembayaran pesangon dengan kondisi-kondisi khusus.
Ambil contohnya, jika PHK sebagai imbas efisiensi akibat kerugian, force majeure yang membuat perusahaan tutup, dan pailit, maka jumlah UP yang dibayarkan hanya setengah dari ketentuan. Sementara UPH dan UPMK tetap dibayar sesuai aturan.
Lebih lanjut, kebijakan pesangon di dalam negeri tentu berbeda dengan negara lainnya. Secara sederhana tingkat pembayaran pesangon dapat di cek di situs International Labor Organization (ILO).
Ambil contoh kasus di Tiongkok, berdasarkan UU Ketenagakerjaan RRT, pesangon di Tiongkok setara dengan gaji penuh satu bulan untuk setiap tahun masa kerja seorang karyawan.
Masa kerja antara enam bulan sampai satu tahun dianggap satu tahun penuh. Bekerja terus-menerus kurang dari enam bulan setara dengan pesangon setengah bulan.
Contoh saja, pekerja A yang bekerja selama empat tahun empat bulan akan menerima pesangon sebesar empat setengah bulan. Sedangkan seseorang yang bekerja selama 10 tahun delapan bulan akan mendapat pesangon sebesar 11 bulan.
Ada fakta unik, yakni bila gaji bulanan seorang pegawai melebihi tiga kali lipat rerata gaji bulanan di daerah atau kota tempat usahanya berada, perhitungan pesangon dapat disesuaikan. Uang pesangon dibayarkan sebesar tiga kali rata-rata gaji bulanan di daerah tersebut dan hanya sampai dengan 12 tahun kerja.
Lain hal dengan peraturan pesangon di Australia. Di Negeri Kangguru, penghitungan uang pesangon bergantung pada durasi masa kerja berkelanjutan. Perhitungannya didasarkan pada jam kerja reguler.
Pegawai yang telah mengabdi minimal satu tahun namun kurang dari dua tahun berhak mendapatkan pesangon selama empat minggu. Jika masa kerjanya mencapai minimal dua tahun namun tetap di bawah tiga tahun, mereka menerima uang pesangon selama enam minggu.
Bagi karyawan yang telah bekerja di perusahaan minimal tiga tahun tetapi kurang dari empat tahun, diberikan pesangon selama tujuh minggu. Struktur ini memastikan bahwa uang pesangon sebanding dengan masa kerja karyawan.
Meskipun demikian, masih banyak negara yang sejatinya tidak menyediakan aturan khusus pembayaran pesangon, terutama negara-negara dengan kondisi ekonomi yang cukup rentan. Sistem pembayaran pesangon diserahkan sepenuhnya sebagai kesepakatan bersama antara pemberi kerja dan penerima kerja.
Editor: Dwi Ayuningtyas