Menuju konten utama

Putusan IPT 1965 akan Diserahkan ke Jokowi

IPT 1965 telah mengeluarkan laporan yang memaparkan temuan pelanggaran HAM berat yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965–1966. Hasil keputusan akhir itu akan diserahkan kepada Presiden Jokowi usai sidang di Den Haag, Belanda.

Putusan IPT 1965 akan Diserahkan ke Jokowi
Sidang IPT 1965. Foto/Youtube

tirto.id - IPT 1965, sebuah Pengadilan Rakyat Internasional untuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 1965, akan menyerahkan keputusan akhir kepada pemerintah selepas sidang yang digelar di Den Haag, Belanda.

Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (20/7/2016), Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi.

"Putusan ini secara resmi akan diserahkan pula kepada Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kantor Staf Presiden," ujar Nursyahbani.

Adapun laporan yang nantinya diserahkan ke Presiden Jokowi merupakan temuan pelanggaran HAM berat dalam wujud 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965-1966 terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), terduga PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI) beserta keluarga mereka.

Tindakan kejahatan kemanusiaan tersebut meliputi, pertama, pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar UU KUHP pasal 138 dan 140 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kedua adalah hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang. Ketiga, perbudakan, yaitu tahanan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930.

Keempat, penyiksaan yang dilakukan dalam skala besar terhadap tahanan pada masa terjadi pembunuhan massal dan pemenjaraan. Kelima, yaitu penghilangan secara paksa, dilakukan dalam skala besar dan banyak nasib korban tidak pernah diketahui.

Keenam adalah kekerasan seksual secara sistemik yang tercatat pada laporan Komnas Perempuan, baik secara lisan maupun tulisan. Ketujuh, terjadi pengasingan, yaitu warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya.

Kedelapan, tentang propaganda tidak benar atas versi resmi yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya. Kesembilan, adanya keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam kejahatan kemanusiaan di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965 meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda.

Terakhir, Indonesia dituduh telah melakukan genosida, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.

Padahal, Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional.

Para pegiat IPT 1965, kata Nursyahbani, akan menggunakan semua jalur yang tersedia dalam mekanisme HAM PBB untuk menyosialisasikan putusan ini.

“Termasuk pada tanggal 17 April 2017, laporan pelaksanaan HAM di Indonesia akan ditinjau dalam Universal Periodic Review di Dewan HAM Jenewa Swiss. Kami akan memasukkan putusan IPT 1965 sebagai laporan dari LSM di Indonesia," ujar Nursyahbani.

Sidang IPT 1965 dilakukan di Den Haag Belanda pada 10-13 November 2015, dan dipimpin oleh Hakim Ketua Zak Yacoob, pernah menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM

Sumber: Antara
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari