Menuju konten utama

Putus Mata Rantai 'Virus' FoMo dengan VOMO

Beda dengan FoMo, 'virus' VOMO akan mengurangi kebiasaan konsumen melakukan pembelian impulsif dan menghindarkan mereka dari penipuan online.

Putus Mata Rantai 'Virus' FoMo dengan VOMO
Virus VOMO. FOTO/Blibli

tirto.id - Mulanya adalah pesan berantai yang masuk di grup WhatsApp alumni SMP, kemudian diikuti ikhtiar melakukan pencarian barang di e-commerce dan grup Facebook. Hasilnya, Miftah, pekerja swasta berusia 28 tahun, terjerat aksi penipuan online.

“Dede, teman lama yang jarang muncul di grup, tiba-tiba mengirimkam tautan yang isinya promo produk-produk Adidas,” ujar Miftah kepada tirto, akhir September 2023.

Inti tautan tersebut: barangsiapa menyebarkan dan mengeklik tautan barusan, ia berhak mendapatkan berbagai produk Adidas secara cuma-cuma. Miftah sempat curiga bahwa tautan tersebut berisi tipu-tipu belaka. Namun, terusan testimoni bahwa si pengirim pesan berhasil mendapatkan reward setelah ia mengunjungi situs tersebut tak pelak membuatnya teperdaya juga.

“Sebetulnya lebih ke penasaran, sih. Walau sudah yakin itu penipuan, ya saya klik juga. Siapa tahu beneran. Saya kan ngidam Adidas Samba Adv Black,” ungkap Miftah, tersipu.

Dari tautan yang dibagikan kawan sekolahnya itu, Miftah diminta mengunjungi beragam tautan yang lain lagi. Ujung-ujungnya ia diminta daftar akun dan mengisi kolom kartu kredit. Miftah tak meneruskan aktivitasnya sebab keburu yakin di akhir nanti yang ia temukan adalah kerugian.

Masalahnya, selamat dari satu jebakan ternyata malah membuat penggemar Jenny Blackpink ini mencari cara ketemu jebakan lainnya.

Miftah terkenang akan keinginan lamanya mengoleksi Adidas Samba Adv Black—sepatu yang pernah dikenakan sang idola—dan hal itu membuatnya intens melakukan beragam pencarian di internet. Dari e-commerce hingga grup Facebook, Miftah menjajal lapak demi lapak untuk menemukan sepatu idamannya itu.

Mengapa tidak beli di toko resmi?

“Buat saya, harganya masih kelewat tinggi. Dan sering kali mesti menggunakan kartu kredit. Di Facebook dan beberapa marketplace, yang jual begituan banyak. Dapat sekennya pun tak mengapa, asal masih bagus,” beber Miftah.

Terpikat dengan keterangan harga yang setengahnya di bawah standar (750 ribu rupiah saja) plus barangnya masih gres, Miftah pun melangsungkan transaksi dengan salah seorang pelapak di e-commerce. Hanya, alih-alih diminta melakukan transaksi via rekening e-commerce, Miftah malah disarankan menunaikan pembayaran dengan cara manual.

“Si penjual bilang, barangnya sudah habis dan kalau memang minat, saya mesti menunggu. Ia minta dikirimi dp dulu, ke rekening pribadinya, dan berjanji akan menghubungi saya beberapa hari lagi.”

Akhir cerita, sebagaimana hal yang mungkin sudah Anda duga, uang Miftah tidak kembali lagi. Miftah memang menyadari keteledorannya dalam bertransaksi, tapi di hadapan perasaan takut ketinggalan tren—istilah kekiniannya FoMo, fear of missing out—akal sehatnya tidak berdaya.

Penelitian (pdf) Riky Adi Kurniawan mengenai Pengaruh FoMo terhadap Impulse Buying Behavior dengan Purchase Intention sebagai Pemediasi (2001) menunjukkan, variabel Perceived Sociability (pendeknya: keinginan diterima oleh lingkungan sekitar) berpengaruh positif terhadap FoMo.

“Ketika individu tidak memiliki suatu produk, misalnya, seperti barang-barang yang branded agar masuk ke dalam circle atau lingkaran pertemanan sebuah kelompok, hal ini akan membuat seseorang merasa khawatir jika tidak diterima dalam kelompok tersebut,” tulis Riky, merujuk penelitian pendahulunya, Arzeno (2018).

Dominasi Penipuan Online

Senada dengan temuan di atas, pakar media sosial Indrawan Nugroho menyebutkan bahwa FoMo merupakan salah satu penyebab utama seorang konsumen terjerat penipuan online. “Banyak konsumen tidak berhati-hati dalam membagikan data pribadi saat berbelanja dengan tergesa-gesa,” ungkap Indrawan.

Laman resmi Direktorat Jenderal Aplikasi Teknologi (Aptika) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan, sepanjang 2017-2022, kasus fraud alias penipuan dalam transaksi online mendominasi laporan aduan yang masuk via CekRekening.id, dengan total aduan 486 ribu kasus.

“Dari jumlah 486 ribu, jenis fraud yang mendominasi adalah penipuan transaksi daring dengan jumlah kurang lebih 405 ribu laporan. Setelah itu diikuti dengan jenis fraud investasi daring fiktif dengan jumlah kurang lebih 19 ribu laporan, jenis fraud jual beli daring sebanyak 12 ribu laporan,” ungkap Penanggung Jawab Layanan Aduan Tindak Pidana ITE Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Syamsul Arifin, Kamis (20/10/2022).

Sedangkan pada periode Agustus 2018-Februari 2023, Kominfo mencatat ada 1.730 konten penipuan online. Adapun total kerugian dari penipuan online selama 2017-2021 mencapai 18,7 triliun rupiah.

Angka di atas menunjukkan, jika kasus penipuan online adalah penyakit, diakui atau tidak, salah satu virus penyebabnya adalah kecenderungan FoMo di atas.

Salah satu gejala FoMo, dilansir dari situs Kementerian Keuangan Republik Indonesia, adalah mengeluarkan uang melebihi kemampuan dan membeli hal yang sebenarnya tidak penting dengan dalih agar tidak ketinggalan zaman.

Dalam kasus Miftah—sangat mungkin lelaki asal Kota Kembang itu tidak sendirian—FoMo tidak hanya membuatnya mengeluarkan uang melebihi kemampuan, tapi menjeratnya hingga ke lembah penipuan.

Lebih Aman dengan VOMO

Belakangan, Indrawan Nugroho menekankan, orang-orang seperti Miftah yang kadung mudah FoMo mesti lebih berhati-hati lagi dan coba lebih perhatikan ‘virus’ VOMO.

Disinyalir, virus yang satu ini akan mengurangi kebiasaan konsumen melakukan pembelian impulsif dan dalam tahap yang lebih jauh bakal menghindarkan mereka dari penipuan online. Pada saat bersamaan, VOMO juga dapat menjaga data pribadi konsumen tetap aman.

“Bagaimana cara kerja ‘virus’ VOMO dalam melindungi konsumen digital, hingga saat ini sejumlah pihak tengah meneliti dan mendalaminya lagi,” pungkas Indrawan.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis