Menuju konten utama

Proyek Terakhir Mal Rongsok Depok: Mengolah Kemanusiaan

Setelah Proyek Mal Rongsok, Nurcholis Agi masih menyimpan satu mimpi: proyek nirlaba bernama Yayasan Hidup Menurut Maunya Sang Pencipta.

Proyek Terakhir Mal Rongsok Depok: Mengolah Kemanusiaan
Nurcholis Agi dan Haji Hendra di depan bangunan Yayasan Hidup Menurut Maunya Sang Pencipta, Beji, Depok. tirto.id/Alfian Putra Abdi

tirto.id - Empat besi siku rak dan satu batang besi bulat sepanjang 1,5 meter berada di dekat kaki Lukman. Pria 41 tahun ini berambut gondrong yang nyaris penuh uban itu menyiapkan alat las listrik tempatnya bekerja.

Matahari baru saja tampak di langit, ia sudah bergegas mengerjakan pesanan kursi untuk salah satu rumah makan di Depok.

Lantai 2 Mal Rongsok Depok serupa lokakarya atau ruang produksi, tempat Lukman dan tiga belas karyawan lain beraktivitas. Tempat ini tak berjarak dengan pelbagai barang semisal kursi, meja, lemari, rak buku, hingga kerangka tempat tidur yang semua rongsok, tapi siap jual.

“Pesanan kayak gini sih jarang-jarang. Tapi, kalau ada yang mau, bisa order. Desainnya yang sederhana saja. Kami kebanyakan renovasi,” ujar pria yang sudah lima tahun bekerja di Mal Rongsok Depok itu.

Dengan menggunakan sarung tangan, Lukman berusaha cermat mengolah besi siku rak dan batangan besi bulat menjadi kursi-kursi.

“Pelatihannya di Mal Rongsok, tidak belajar di luar. Di Mal Rongsok tuh harus bisa semuanya, kami jadi belajar,” ujarnya.

Nantinya, produk-produk daur ulang yang ia buat itu akan dijual lagi dengan harga Rp100 ribu sampai Rp250 ribu. Semua tergantung jenis produk, desain, dan materialnya.

“Saya kerjainnya bisa macam-macam. Lemari, meja, dan banyak sih kursi. Bahan bakunya dari yang ada. Kan banyak besi-besi yang kami olah, kira-kra yang bisa dijual,” katanya.

Nurcholis Agi, 52 tahun, sejak awal mendirikan Mal Rongsok Depok pada 2010 memang menerapkan konsep kreativitas terhadap para pekerjanya. Ia tahu tidak setiap hari pembeli datang atau memadati barang rongsok sehingga ia memberi kebebasan berkreasi kepada pekerjanya.

Upaya mendaur ulang bahan-bahan rongsokan menjadi produk bernilai fungsi dilakukan para pekerja, disamping upaya reparasi.

“Awalnya saya arahkan bikin ini-itu. Kalau sudah bisa, tidak perlu lagi arahan, mereka tahu sendiri,” ujar Agi.

Tak hanya itu, Agi mendaku menerapkan azas saling percaya di antara relasi atasan dan bawahan. Ia enggan terlalu ketat membelengu pegawainya meski tetap tegas.

“Saya tidak mau marah-marah. Mereka saya bebaskan. Kalau mereka salah, tidak saya tegur. Kalau mereka memang melakukan kesalahan, nanti juga sadar sendiri. Sudah ada contoh yang begitu,” ujarnya.

Pernah satu kali Agi mendapati pegawainya berbuat salah dan berbohong atas satu hal. Ia bersikap biasa saja, tidak menegur. Beberapa saat kemudian orang itu, menurut Agi, memilih mengundurkan diri atau memperbaiki diri.

“Saya tegur dengan cara tidak menegur. Karena saya belajar ilmu prana. Bisa panggil orang tanpa handphone. Gampang, asal fokus,” ujarnya.

Perangai Agi yang tidak mudah marah dibenarkan oleh Evan, pekerja Mal Rongsok termuda. Sudah setahun terakhir Evan mengais rezeki di antara rongsokan itu dan berkata tak pernah melihat Agi marah. Itu sempat bikin dia terheran-heran.

“Saya kerja di mana-mana, baru menemukan bos kayak bos Agi. Orangnya enggak gampang marah. Mau kecolongan, enggak marah. Pendekatan dengan karyawannya bagus,” ujarnya.

Proyek Terakhir Mal Rongsok

Lukman, pegawai Mal Rongsok Depok, sedang membuat kursi daur ulang untuk dijual lagi. tirto.id/Alfian Putra Abdi

Proyek Terakhir Mal Rongsok

Sebagai penata artisitik untuk salah satu perusahaan dekorasi, Ayusta, 47 tahun, kelimpungan saat kliennya meminta dia merancang acara perayaan tahun baru dengan konsep 'Wild West'.

Pemberitahuan itu datang mendadak. Ia tidak punya cukup waktu produksi untuk menghasilkan interior dan mebel khas film-film Spaghetti Westerns.

Alternatifnya, ia mendatangi Mal Rongsok Depok.

“Makanya gua ke sini, cari kekurangan set yang gua butuhkan. Kebetulan sesuai tema juga, harus cari yang tua dan tidak terurus,” ujarnya.

Ia baru pertama kali mendatangi Mal Rongsok Depok dan mengaku terbantu. Dengan sabar, ia menjelajahi ketiga lantai Mal Rongsok, menelusuri ruang-ruang sempit dan remang.

Ia tidak mempedulikan aroma debu. Ia hanya tahu apa yang dibutuhkan harus didapatkan hari itu juga. Ia cermat mencari kursi kayu bergaya klasik, koper antik, hingga manekin. Beberapa barang sudah ia dapatkan dan masih banyak lagi yang belum.

“Gua cari random, tapi ada list juga. Ini bukan demi nilai fungsi, tapi estetika saja. Nanti gua ‘hancurin’ lagi. Daripada bikin, pasti harga lebih tinggi, mending ke sini,” katanya.

Mal Rongsok Depok memang serupa hamparan samudra penuh dengan harta karun. Kita bisa mendapati apa saja, dari peralatan rumah tangga dan kantor, olahraga, hiburan, restoran, hingga material bangunan.

Tuti, 42 tahun, sedang membangun kontrakan tujuh pintu di daerah Jakarta Timur. Untuk menghemat biaya, ia pergi ke Mal Rongsok Depok.

Belum ada setengah hari ia menjelajah dua tempat milik Agi, di Kukusan dan Beji, ia sudah mendapatkan pipa, lantai keramik, dan roster keramik.

“Harganya bervariasi. Saya dapat pipa Rp20 ribu untuk 5 batang panjang. Roster Rp10 ribuan satunya. Kemarik Rp10 ribu, saya mau ambil banyak soalnya,” ujarnya.

Bahan material yang dicari Tuti tidak ditempatkan Agi di Mal Rongsok Depok, yang berlokasi di Kukusan, melainkan dipisah di tempat lain di Jalan Nusantara Depok.

“Kalau belanja di sini saya bisa menghemat sampai 40 persen. Daripada beli yang baru. Lagi pula, barang-barang di sini kadang masih bagus-bagus,” ujar Tuti.

Meskipun namanya Mal Rongsok, Agi tidak menggunakan metode pasang harga selayaknya di mal pada umumnya. Semua harga dinego di tempat, semua tergantung jenis, kondisi, dan kuantitas pembelian. Rata-rata harganya, menurut Agi, dari Rp5 ribu hingga jutaan rupiah.

“Kalau sudah ketemu [barangnya]. Nego. Bayar,” ujar Agi.

Agi sudah tidak mencari barang seperti dia merintis pada 2010. Seiring pemberitaan tentang Mal Rongsok Depok, orang-orang justru yang datang dan menjual barang kepadanya.

Ia menerima barang-barang dari mana saja, baik rumahan, rumah makan, perkantoran, hingga Dewan Perwakilan Rakyat. Belum lama ini, ia baru saja membeli peralatan dapur sisa restoran Korea Mujigae, rumah karaoke Inul Vista, dan kursi-meja dari DPR.

Dalam sehari Agi bisa kedatangan barang-barang sebanyak 10 truk fuso. Namun, tak semua barang bisa terjual semua; kadang hanya terjual 1 truk dan sisanya menumpuk di Kukusan Depok atau dibawa ke gudang di Bogor.

Meski demikian, omset minimal per bulannya cukup fantastis. Agi bisa meraup ratusan juta.

“Sebulan itu bisa Rp100 juta sampai Rp150 jutaan,” ujarnya.

Hal itu cukup untuk membayar total 22 pegawai dan menghidupi seorang istri dan lima anak.

Meski sudah berpenghasilan cukup dari Mal Rongsok Depok, Agi masih menyimpan satu mimpi: sebuah proyek nirlaba yang didedikasikan untuk masyarakat.

Jika proyek itu rampung, tidak menutup kemungkinan Mal Rongsok akan ia tutup atau dibiarkan bangkrut.

“Saya namakan Proyek 29. Mal Rongsok ini Proyek 28. Insyaallah Proyek 29 tiga bulan lagi bisa launching,” ujarnya.

Proyek Terakhir Mal Rongsok

Situasi di Mal Rongsok Depok. tirto.id/Alfian Putra Abdi

Gerbang Kemakmuran

Ketika usia Nurcholis Agi masih 25 tahun, ia sempat menjadi pengajar agama dan merasakan turun-naik mimbar dakwah. Ia menyampaikan pesan-pesan ilahi dan kenabian.

Hingga pada suatu waktu, seorang kawannya menegur Agi usai ceramah di salah satu majelis taklim. Kawannya itu menegur isi ceramah Agi.

“Saya ditanya kawan, ‘Lo ngomongin ayat Al-Quran, tapi lo ngerti enggak?’ Saya diminta baca dan mengartikan. Kesalahan saya, saya dari ‘katanya’,” ujar Agi.

Isi ceramah Agi ketika itu seputar kemahiran seseorang yang sudah dibuktikan dan dijalaninya sendiri. Hal itu membikin Agi gamang. Ia tidak mau lagi menyampaikan sesuatu yang belum ia lakukan. Hingga saat itu ia mengikrarkan diri sebagai pembelajar. Pembelajar apa pun.

Agi pernah mendirikan studio musik, salon, pangkas rambut, membuka bengkel motor dan mobil, bekerja di apotek, terima jasa servis elektronik, hingga warung nasi. Total usaha yang sudah ia geluti sebanyak 28 kali; terakhir dan masih berjalan hingga kini adalah Mal Rongsok Depok.

“Kalau saya belajar dari 'katanya', itu tidak objektif dan ilmiah. Harus asli,” ujar Agi.

Mal Rongsok Depok dibangun Agi pada 2010 setelah dua tahun sebelumnya membuka jasa servis elektronik sembari menjual suku cadang bekas untuk motor dan mobil, tepat di depan usahannya sekarang.

Berkutat dengan barang bekas atau rongsok sudah ia lakoni sejak usia 10 tahun dan ia mulai serius sejak 1998. Ia mendaku awalnya hobi bermain di tempat rongsokan, menjajal menjual barang, dan uangnya dipakai untuk makan di mal.

“Lalu idenya [Mal Rongsok] muncul, tapi waktu itu belum ada duitnya. Barulah ketika saya buka usaha dan begitu besar, saya beri nama Mal Rongsok,” ujarnya.

Selama menjalani Proyek Mal Rongsok, Agi teringat kembali dengan peristiwa ia ditegur kawannya soal isi ceramahnya. Ia sempat mendirikan komunitas nirlaba bernama Rumah Tanpa Pintu pada 2014. Namun, karena tidak solid, proyek itu bubar pada 2016.

“Saya benahi dulu konsep hidupnya. Lalu sembilan bulan lalu, saya mulai lagi. Mulai pembangunan tanpa investor. Hasilnya dari Mal Rongsok,” ujarnya.

Agi masih berupaya menyelesaikan Proyek 29, yakni mendirikan tempat komunal yang bisa dihuni oleh siapa pun tanpa memandang identitas suku dan agama. Tempat itu rencanannya akan bernama Yayasan Hidup Menurut Maunya Sang Pencipta.

“Saya buat satu konsep hidup yang di dalamnya menjamin kemakmuran. Mereka yang hidup di dalamnya akan nyaman hidupnya. Makan gratis, tempat tinggal gratis, dan apa pun yang mereka butuhkan gratis,” ujar Agi.

Proyek 29 sudah berdiri di atas lahan 500 meter persegi di daerah Beji, Depok.

Saat ini sudah dalam tahap pembangunan pondasi tiga lantai. Lantai pertama untuk kolam ikan, yang nantinya para penghuni bisa memanfaatkannya untuk kebutuhan bersama; lantai dua untuk hunian; lantai ketiga untuk tanaman hidroponik dan mini kolam ikan.

Agi mendaku terilhami oleh kisah hidup Nabi Muhammad sewaktu melaksanakan hijrah dari Kota Makkah ke Yatsrib. Ia juga menyerap pembelajaran dari beberapa kitab antara: Weda, Tripitaka, Bhagavad Gita, Injil, dan Al-Quran.

Namun, ia belum bisa menjelaskan mekanisme dan tata aturan yang akan diterapkan pada Proyek 29. Ia masih menunggu sampai proyek itu benar-benar rampung.

“Ini untuk semua agama. Siapa pun dan dari kalangan apa pun boleh. Plural,” ujarnya.

“Ini proyek contoh untuk bangsa ini. Kalau mau masuk pintu gerbang kemakmuran, ini contoh dan caranya. Kalau Anda mau, ayo bareng-bareng. Kalau tidak mau, tidak apa-apa.”

Ia menyebut Proyek 29 sebagai proyek terakhir dalam hidupnya karena ia sudah mendapatkan semuanya. Ia sudah mendapatkan penghasilan dari Mal Rongsok. Kini, saatnya ia mendedikasikan untuk hidup itu sendiri.

“Bisa dibilang, itu proyek ikhlas saya,” kata Agi.

Proyek Terakhir Mal Rongsok

Nurcholis Agis, istri, dan anak nomor duanya di Mal Rongsok Depok. tirto.id/Alfian Putra Abdi

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz